Cerpen  

Jiwa yang Sunyi

Oleh : Sius

Avatar photo
Rubrik Pelangi Budaya Koran Laskar Pelangi Edisi 341

MALAM ini sunyi. Sesunyi jiwaku yang merana. Tanpa pasti khayalku mengarah kemana. Menggantung. Mengambang. Serampangan. Aku tersadar hari sudah larut. Senja di sini berkabut. Di sana gelap sekali. Sepi sungguh terasa. Ingin kutatap sesuatu, wanitaku yang terbaring di sisiku, tetapi semuanya terasa hampa. Sepertinya sia- sia. Tanpa apa-apa. Tanpa suara. Tanpa tawa.

Di bilik ini pun, hanya kami berdua, aku bersama wanitaku. Sekali lagi hening berkata. Tanpa berita. Berucap di balik telinga. Memeluk tubuh. Mengelus kuduk. Jam di sana berdetak. Sunyi memekar tanpa apa. Tanpa sesuatu. Aku bergulat dengan diri dan pikiranku, ketidaktenanganku sendiri. Aku kemudian tertidur pulas, karena keletihan pikirku membawa aku ke alam mimpi. Aku lelap dalam kesendirian jiwaku, tanpa terasa ada wanitaku di sampingku hingga pagi merekah, menjemput datangnya sang fajar. Aku bergulat dengan rasa penyesalan, tetapi terlambat.
***

Sinar mentari jatuh tepat di pelupuk mataku. Hangat belaiannya segera menyontak tidur pulasku. Serentak bersama keterjagaanku, kesadaranku pun mulai bekerja.

Matahari yang telah meninggi, menebarkan cahaya dan menempa setiap sudut, lalu mengusir gulita yang telah semalam suntuk mendiami kamar kecil ini. Aku terbangun dan mendapati terang yang sudah berkuasa di dalam kamar.
Lalu kulihat dia yang masih tergolek di sisiku, pada ranjang sumpek ini. Seonggok tubuh halus yang terkesan rapuh. Rambutnya yang panjang terurai berserak di atas bantal. Kain kecilku masih menyelimuti tubuh itu yang setengah telanjang. Apakah dia ini isteriku?

Pertanyaan itu langsung menjajah pikiranku. Untaian kata itu yang lalu menggaung dalam kelam nubariku. Apakah dia itu istriku? Pertanyaan yang sama menggema. Dan selalu, pertanyaan ini muncul setiap kali aku terbangun ketika matahari menguasai siang. Aku bosan. Aku muak. Aku sudah mulai lelah. Jiwaku rapuh seperti sebentang pantai resah, yang rusuh diterjang gelombang karena dibekap badai kekal. Aku tidak pernah tenang, apa lagi tenteram.

Binar matanya membahasakan dirinya yang tak berdaya dalam sayu lembut pancarannya. Ia pun turut terjaga setelah aku lama terpaku di sudut ranjang, bertualang bersama diriku sendiri. Makhluk itu mulai bergiat.
Petrik…kok pagi sekali bangunnya? Lagi mikirin apa?
suaranya lembut memecah keheningan atas bungkamku yang sepi.

Hari ini kuliah apa? Jangan lupa uang belanjanya? Rentetan pertanyaan ini muncul, mengalir dari mulut manisnya. Sayangnya, pertanyaan itu yang selalu rutin diulang setiap pagi ketika bangun tidur. Hal ini makin mempertebal rasa jengkelku dari kobosanan terhadapnya. Menyuburkan rasa penyesalannku.
Ayo, bangun, mandi. Jangan diam terus. Lanjutnya.

Aku masih membisu. Tetap duduk di ranjang, tepat berada di sisinya. Laki-laki memang egois. Ia lebih asyik dengan dirinya sendiri. Ia justru lebih senang memikirkan dirinya dan bergulat dengan pikirannya, tanpa peduli bahkan dengan orang yang hanya berada beberapa inci jauhnya daripadanya.
Petrik, kamu gak kuliah ya hari ini?
Wanita itu terus mengoceh. Terus. Lagi. Dan lagi.
Lalu Plakkkkkkkkk kkkkkkkkkkkkkkkkk!!!

Suara itu lalu menciptakan sunyi yang agung. Tanpa sadar, dengan spontan, tanganku terayun dan tepat mendarat di wajahnya. Aku menamparnya pada pagi secerah itu. Aku menampar dengan tangan yang dibalut rasa bosan, kesal bercampur penyesalan.
Penyesalan mendalam kemudian merambati jiwaku. Wanita itu terkulai lemas.

Kesegaran yang dicurinya dari malam ketika beristirahat tadi lalu hilang lenyap ditelan diam agung yang tercipta itu. Isaknya penuh kesedihan lalu mengiringi air matanya yang menetes dari pelupuk indah matanya.

Tidak seharusnya aku bersikap demikian. Namun benar. Tubuhku ini hanya menerima isyarat nurani yang keras berontak. Aku bosan terhadapnya, karena ketika kesegaran sepagi itu sementara kunikmati, ia lalu serta-merta membebaniku dengan kata-kata manis yang sebenarnya menyobek hatiku.

Pedih dan sakit.
Aku sementara muak lalu ia muncul dan memicu kejenuhanku lagi. Tangan ini sigap dan lancang menampar. Pipinya kemudian terlanjur merona. Sakit hati langsung saja menganga terbuka. Persetan!
***

Memang terlalu cepat hubungan yang kami rajut. Secepat tanganku yang terayun menampar pipinya. Setelah berkenalan, kami langsung berpacaran. Tanpa pertimbangan, seminggu kemudian, kami sudah tinggal serumah.

Korban kondisi pergaulan bebas. Ia pindah dari kostnya dan tinggal sekost denganku. Kami memang tidak peduli pada dunia. Karena memang dunia juga tidak peduli dengan apa yang terjadi antara kami. Semua mengurus dirinya masing-masing. Termasuk ibu kost pun tak banyak mencaritahu status hubungan kami. Yang penting biaya kost selalu diterimanya tepat waktu. Kami lalu tinggal berdua. Ada pada kami hayalan cinta. Sebuah cinta kilat dan terbuai oleh kenikmatan cinta.

Atas nama cinta itu kami nekat hidup bersama. Walaupun aku harus masih menuntaskan belajarku yang sudah tujuh semester, sementara wanitaku baru memasuki semester ke lima.

Hari-hari kami lalui bersama. Kesempatan yang ada kami pakai bersama. Hanya kami berdua. Dalam ruang seluas 3 x 4 meter itu. Perabotan memang minim, namun kebahagian adalah milik kami berdua.

Biaya kuliah yang dikirim orangtua, harus juga digunakan untuk biaya hidup kami berdua. Orangtua ku maupun orangtua wanitaku tak tahu kalau kami berdua sudah hidup bersama, serumah, sekamar. Kami merahasiakan semuanya. Bahkan teman-teman seasalku dan kawan sekampung wanitaku pun tak peduli, meski mereka tahu dan sering keluar masuk di kost kami berdua. Karena yang seperti ini, banyak terjadi di kalangan kami, sesama teman kuliah. Alhasil, ketika pulang kuliah, tidak hanya membawa ijazah, tetapi juga membawa wanita yang tidak bisa dipisahkan lagi. Bahkan kadang bayi tanpa dosa yang merupakan hasil hubungan gelap selama kuliah.

Kami berdua sunggung menikmati kebebasan. Bebas melakukan apa saja. Tak ada yang mengganggu.
Kami senang dan bangga hidup atas nama cinta. Kesenangan semu. Terserah apa kata orang. Tak peduli dengan restu orangtua.

Tak menghiraukan segala aturan moral dan etika. Karena ternyata kami yang memikul beban hidup kami. Aku dan wanitaku. Persetan dengan semua norma dan aturan. Aku hanya mau hidup, hidup dengan perempuanku. Sekiranya itu yang aku pikirkan dulu!

Lama-kelamaan kebosanan datang menghampiriku. Kejenuhan pun tak luput hinggap atas diriku. Ternyata hidup tanpa ikatan itu sulit. Aku menyesal. Tapi penyesalan selalu datang terlambat. Banyak hubungan bisa kandas hanya karena diikat kebahagiaan semu seperti ini. Omelan dunia yang selalu aku hindari, justeru meremas jiwaku sendiri. Sungguh rumit hidup berseberangan dengan norma.

Aku muak hidup sendiri. Aku capek hidup menyimpang. Litani penderitaan itu pun tercipta dan mulai mendera kelanjutan hidupku. Yang memuncak di pagi ini.

Ketika kesegaran seharusnya merambati jiwaku. Ketika fajar selalu menjadi pertanda hidup bahagia bagi kebanyakan orang. Malah ternyata berganti kekalutan yang mengobarkan amarah lalu rasa belas kasih hangus. Dan tangan itu terayun cepat. Lebih cepat dari matahari yang sebentar lagi akan meninggi.
Hidup tanpa berkat akan berujung duka. Sungguh mengerikan membangun sebuah cinta terlarang. Karena setiap kesegaran dan kecerahan pagi adalah kabut yang kelabu untuk dihidupi. Karena aku dan wanitaku menghidupi cinta terlarang. Dan kini yang ada hanyalah sebuah penyesalan. (*)

 

 

 

Leave a Reply