PANGKALPINANG, LASPELA–Penyataan Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya, soal pentingnya aspek legalitas bagi penambang timah di Bangka Belitung yang disampaikan di forum nasional mendapat apresiasi Dosen Universitas Pertiba (Uniper), Eddy Supriadi.
Pasalnya, apa yang disampaikan politisi nasional asal Bangka Belitung tersebut langsung menyentuh persoalan yang dialami masyarakat penambang saat ini.
Bambang Patijaya sendiri selaku anggota DPR RI Dapil Bangka Belitung selama ini dikenal memberikan perhatian serius terhadap negeri penghasil timah tempat asalnya.
“Pernyataan pak Bambang Patijaya selaku Ketua Komisi XII DPR RI asal Bangka Belitung, patut dicatat sebagai langkah politik yang signifikan. Argumentasinya sederhana: proses menambang lebih cepat daripada perizinannya, sehingga masyarakat bekerja tanpa kepastian hukum,” ungkap Eddi Supriadi, Sabtu (4/10/2025).
Menurutnya, apa yang disampaikan Bambang Patijaya tersebut langsung menyentuh jantung persoalan.
Selama ini, tambang rakyat berjalan di ruang abu-abu.
Sejak tahun 2022 pemerintah menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Belitung Timur, Bangka Tengah, dan Bangka Selatan.
“Namun, izin turunan berupa Izin Pertambangan Rakyat (IPR) baru bisa dibicarakan setelah pemerintah pusat menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pada 2024. Akibat jeda panjang ini, masyarakat terjebak dalam situasi serba tidak pasti: mereka butuh penghidupan, tetapi regulasi tidak memberi kepastian. Di sisi lain, Presiden pernah menyinggung penyelundupan timah yang nilainya mencapai Rp22 triliun. Angka fantastis ini menggambarkan betapa lemahnya pengawasan dan tata kelola rantai pasok. Negara dirugikan karena tidak memperoleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP), sementara masyarakat tetap hidup dalam kerentanan sosial,” jelas Eddy Supriadi.
Lebihlanjut ia mengatakan, BPJ mencoba menempatkan Babel dalam percakapan strategis nasional.
Ia mendorong agar penegakan hukum tidak dipisahkan dari kebijakan legalisasi.
Masyarakat penambang tidak cukup hanya ditertibkan dengan aparat, tetapi juga perlu diberi ruang legal untuk bekerja dengan tenang.
Pendekatan ini memiliki dua dimensi: menjaga kedaulatan sumber daya negara dan melindungi penghidupan masyarakat lokal.
“Namun, di balik gagasan tersebut, ada sejumlah pekerjaan rumah besar. Pertama, memastikan legalisasi benar-benar berpihak pada penambang kecil, bukan sekadar formalitas bagi pemodal besar. Kedua, menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan kelestarian lingkungan. Ketiga, menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah yang kerap berjalan tidak sinkron, sehingga kebijakan di atas kertas tidak terjebak dalam tarik-menarik kepentingan,” pungkasnya.(wan)
Leave a Reply