Pemerintah pusat baru saja mengumumkan alokasi Dana Transfer Umum (DTU) 2026 untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar Rp 8,093 triliun.
Angka itu tampak gemuk, namun ibarat tubuh yang kelebihan lemak: berat, sesak napas, tapi tak bertenaga.
Sebab di balik angka fantastis tersebut, tersimpan paradoks fiskal yang membuat daerah hanya jadi “tukang bayar gaji” birokrasi, sementara pembangunan infrastruktur dan layanan publik lebih banyak dikendalikan pusat melalui kementerian dan balai-balainya.
Makro Ekonomi: Pusat Kaya, Daerah Jadi Satelit
Secara makro, transfer pusat ke daerah mestinya jadi instrumen pemerataan. Tetapi pola yang kini terjadi menyerupai “re-kolonisasi fiskal”.
UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD memang menegaskan belanja pegawai maksimal 30 persen dari APBD. Faktanya, banyak kabupaten/kota di Babel sudah mendekati 40 persen.
Ketika pusat menyalurkan Rp 8 triliun, daerah tidak benar-benar bebas mengelola. Proyek strategis tetap digenggam kementerian.
Jalan nasional, irigasi, bendungan, bahkan infrastruktur dasar lainnya dikomandoi dari Jakarta. Kepala daerah pun berubah fungsi: dari “pemimpin pembangunan” menjadi “kepala cabang kementerian”.
Alhasil, dana transfer sebesar apa pun hanya menambah angka, bukan menambah daya.
APBD Babel seperti balon besar yang diisi angin dari pusat, tapi mudah kempis ketika jarum regulasi menyentuh.
Mikro Ekonomi: Pegawai Tersenyum getir, Rakyat Mengeluh
Di level mikro, belanja pegawai yang membengkak berarti dua hal:
1. Aparatur sipil negara aman dengan gaji dan tunjangan ala kadarnya.
2. Rakyat harus puas dengan janji pembangunan yang terus ditunda.
Ambil contoh Bangka Selatan. Dengan PAD yang kecil, nyaris semua napas fiskalnya bergantung pada DAU dan DBH.
Ironisnya, dana itu lebih banyak terserap untuk gaji pegawai ketimbang membangun sekolah, pasar, atau jalan desa.
Maka, jangan heran jika warga kerap mendengar jargon “pembangunan inklusif” tetapi merasakan jalan berlubang dan layanan publik seadanya.
APBD Babel, dalam banyak kasus, lebih mirip slip gaji kolektif ketimbang instrumen pembangunan.
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah: Siapa yang Sebenarnya Dilayani?
Secara sosiologis, ada benturan kepentingan yang nyata. Masyarakat menginginkan fasilitas publik, sementara birokrasi ingin kepastian gaji.
Dengan ruang fiskal yang sempit, kepala daerah terjepit di tengah dan sering memilih “jalan aman”: memuaskan birokrasi ketimbang menanggung amarah pegawai.
Celakanya, publik tetap menuding kepala daerah gagal membangun. Padahal, banyak belanja pembangunan sudah “ditarik” pusat lewat kementerian. Otonomi fiskal pun berubah menjadi fatamorgana.
Filosofi yang Terkikis: Otonomi atau Dekorasi?
Filosofi otonomi daerah adalah kemandirian. Namun, kemandirian tanpa sumber daya adalah mitos.
Dengan belanja pembangunan ditarik pusat, belanja pegawai dibatasi aturan, dan PAD terbatas, kepala daerah hanya bisa memainkan peran dekoratif: hadir di acara seremonial, tanda tangan dokumen, dan meresmikan proyek yang dananya datang dari pusat.
Pertanyaannya: apakah ini masih otonomi, atau sekadar desentralisasi kosmetik?
Jalan Keluar: PAD atau Mati Perlahan
Bagi daerah seperti Bangka Selatan yang miskin basis pajak dan industri, pilihan hanya dua:
1. Berani menggali PAD baru lewat wisata bahari, hilirisasi,Pertanian, perikanan, atau investasi jasa.
2. Tetap nyaman jadi penonton dengan APBD yang habis untuk gaji pegawai, sementara rakyat menunggu infrastruktur dari pusat.
Opsi pertama membutuhkan kepemimpinan berani dan kreatif. Tidak cukup menjual ikan mentah, tapi perlu hilirisasi: industri pengolahan ikan, udang, hingga rumput laut.
Tidak cukup hanya bangga dengan timah,sawit dan lada, tapi perlu pabrik turunan hilirisasi timah, minyak goreng hingga rempah premium berlabel “Babel”.
Dengan hilirisasi, daerah bisa menambah nilai tambah, memperluas lapangan kerja, dan yang terpenting memperkuat PAD.
Jika ini digarap serius, Babel tidak lagi hanya “penonton” pembangunan pusat, tapi pemain utama dalam ekonominya sendiri.
Opsi kedua, sebaliknya, hanya memperpanjang status quo: otonomi yang sesak napas, birokrasi yang standar, dan rakyat yang semakin skeptis.
Anggaran Sesak Napas
Rp 8 triliun untuk Bangka Belitung adalah angka besar, tetapi jangan terkecoh. Tanpa reformasi belanja dan keberanian menggali PAD melalui hilirisasi pertanian, perkebunan, dan perikanan, dana ini hanya menjadikan APBD mesin gaji raksasa.
Pusat boleh mendominasi, kementerian boleh berbangga dengan proyeknya, tetapi di daerah rakyat tetap bertanya: “Mana janji otonomi yang menjanjikan kesejahteraan?”
Jika kondisi ini dibiarkan, otonomi daerah di Babel tak lebih dari dekorasi demokrasi: indah di atas kertas, sesak napas.(*)
Leave a Reply