JAKARTA, LASPELA – Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya menyoroti persoalan tata kelola pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung yang hingga kini masih menyisakan masalah, terutama terkait aspek legalitas bagi masyarakat penambang.
Menurutnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa proses menambang seringkali lebih cepat dibanding proses perizinannya.
Akibatnya, masyarakat bekerja tanpa kepastian hukum yang jelas.
“Terkait dengan apa yang terjadi di lapangan ketika dalam proses menambang, memang kita akui bahwa kegiatan menambangnya itu lebih cepat daripada perizinannya. Karena itu, penting sekali menghadirkan aspek legalitas supaya masyarakat bisa bekerja dengan tenang,” kata Bambang Patijaya saat tampil live di Program Closing Bell CNBC Indonesia, Kamis (2/10/2025).
Tokoh politik nasional asal Bangka Belitung ini menjelaskan, sejak tahun 2022, pemerintah telah menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di tiga kabupaten, yaitu Belitung Timur, Bangka Tengah, dan Bangka Selatan.
Namun, saat itu Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) belum juga diterbitkan.
Kemudian, pada Maret 2024 Komisi VII DPR RI yang saat itu membidangi pertambangan dan energi membahas hal tersebut bersama Penjabat Gubernur Babel, Safrizal.
Saat itu ditemukan adanya kendala, meskipun WPR sudah ditetapkan, tapi dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 ternyata norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK) di dalam mengeluarkan IPR belum ada.
“Walaupun WPR sudah ditetapkan, ternyata NSPK untuk mengeluarkan IPR belum ada. Sehingga kita urus bersama-sama dengan kementerian ESDM, kemudian keputusan NSPK itu sudah ada,” jelasnya.
Selain itu, ia juga mengakui adanya praktik penyelundupan timah yang dibawa ke luar negeri. Hal itu juga dibuktikan oleh pihak kepolisian dan angkatan laut yang melakukan penangkapan.
“Kita harus akui ada penyelundupan. Presiden sendiri menyebut angkanya cukup besar, mencapai Rp22 triliun. Ini menjadi peringatan serius. Karena pertama, sumber daya kita dibawa keluar, dan kedua, negara sama sekali tidak mendapat PNBP,” katanya.
Ia juga menyoroti dampak penegakan hukum bagi masyarakat penambang. Menurutnya, langkah penegakan hukum memang penting, namun harus dibarengi dengan kebijakan yang memberi ruang legal bagi masyarakat.
“Pada 2024 ekonomi Babel sempat down. Tapi Januari sampai Juli 2025, BPS merilis pertumbuhan ekonomi sudah mencapai 4,9 persen. Saya pikir dengan adanya penegakan hukum ini kita harus bijaksana bagaimana menyikapinya, jangan sampai dalam penegakan hukum ini memberikan situasi lagi yang kemudian ekonomi bukannya bangkit malah down. Karena solusi yang harus kita berikan adalah bagaimana memberikan aspek legalitas kepada masyarakat, sehingga mereka bekerja itu lebih tenang,” tukasnya. (mah)
Leave a Reply