Opini  

Diskrepansi Implementasi Hukum Lingkungan dalam Transisi Energi dan Krisis Polusi

Oleh : Muhammad Syaiful Anwar (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung / Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto)

Avatar photo

INDONESIA saat ini berdiri di persimpangan jalan yang genting, terombang-ambing antara penurunan emisi lingkungan dengan realitas pahit krisis lingkungan domestik. Kerusakan lingkungan yang kronis di kota-kota besar bukan sekadar masalah teknis, melainkan sebuah kegagalan struktural dalam tata kelola.

 

Kemandekan transisi energi hijau dan penanganan masalah lingkungan bersumber dari diskrepansi fundamental antara norma hukum lingkungan yang progresif dengan implementasi di level lapangan.
Transisi yang adil tidak seharusnya hanya berfokus pada aspek sosial-ekonomi, namun juga harus menjamin keadilan intergenerasi, dengan tujuan bahwa generasi mendatang memiliki hak untuk menikmati udara bersih dan lingkungan hidup yang sehat.

Kegagalan mencapai keadilan lingkungan ini diperparah oleh penerapan instrumen perencanaan. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan, seringkali dijadikan formalitas prosedural belaka, sehingga kehilangan fungsi substansialnya sebagai alat untuk menolak atau merevisi kebijakan yang merusak lingkungan.
Kerugian lingkungan dan kesehatan publik yang ditimbulkan oleh pencemaran masif jauh melampaui sanksi denda yang dijatuhkan.

 

Selain itu, upaya hukum melalui mekanisme ganti rugi perdata, baik melalui legal standing organisasi lingkungan maupun gugatan citizen lawsuit (gugatan warga negara), sering terhambat oleh proses pembuktian kausalitas yang sangat kompleks dan berlarut-larut di pengadilan. Hambatan ini secara nyata menciptakan impunitas struktural bagi pihak pencemar besar yang berhadapan langsung dengan masyarakat.

Secara prinsip, Citizen lawsuit dalam hukum lingkungan adalah mekanisme hukum di mana warga negara atau kelompok masyarakat mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk menuntut pemerintah agar melakukan atau tidak melakukan tindakan yang melanggar hak warga negara atas lingkungan yang baik dan sehat. Mekanisme ini juga dapat digunakan untuk mengawasi kebijakan pemerintah terkait lingkungan hidup dan memastikan adanya keadilan bagi masyarakat.

Secara khusus, pemerintah harus meninjau ulang ambang batas baku mutu lingkungan. Baku mutu saat ini cenderung disesuaikan dengan kapasitas industri, bukan dengan standar kesehatan publik yang optimal. Secara hukum, kegagalan menetapkan standar protektif maksimum adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia atas lingkungan yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan penguatan pidana lingkungan yang tidak hanya menyasar individu, tetapi secara tegas menerapkan doktrin tanggung jawab korporasi (corporate criminal liability), termasuk melalui pembekuan, penundaan, maupun pencabutan izin dan denda progresif yang melampaui keuntungan ilegal mereka.

Transisi energi bukan hanya isu lingkungan, melainkan juga isu ekonomi yang besar. Kegagalan impelemtasi hukum lingkungan dalam mengelola transisi ini akan berdampak secara sistemik terhadap aspek-aspek yang bergantung kepada lingkungan, salahsatunya manusia itu sendiri.
Regulasi hukum harus mewajibkan pengungkapan risiko kerusakan lingkungan sebagai alat bantu ukur dalam kelayakan lingkungan dengan pola yang transparan dan mandatory bagi semua pihak yang terlibat, hal ini sejalan dengan prinsip due diligence lingkungan. Tanpa penegakan hukum yang kuat, transisi energi justru berisiko menjadi peluang bagi munculnya ‘kartel hijau’ baru, di mana teknologi energi terbarukan hanya dikuasai oleh pemain lama yang bermodal besar, mengabaikan aspek keadilan energi dan partisipasi publik yang sejati.

Komitmen untuk energi hijau dan penanganan polusi lingkungan terperangkap dalam kerangka hukum yang lemah dalam eksekusi dan penegakan, yang secara efektif menciptakan regulatory capture oleh kepentingan industri.
Untuk menuntaskan diskrepansi ini, diperlukan sebuah impmentasi dalam tataran aksi maupun dalam level yuridis untuk melakukan perubahan mendasar pada beberapa aspek, diantaranya:

Pertama, (Legislasi): UU PPLH perlu direvisi secara komprehensif untuk mengintegrasikan Prinsip Keadilan lingkungan secara eksplisit dan menetapkan Baku Mutu Lingkungan yang bisa diimplementasi sebagai batas minimum proteksi kesehatan manusia.

Kedua, (Penegakan Hukum): Menerapkan denda berbasis kerusakan (Restorative Justice in Environmental Law) yang reformis, progresif dan proporsional. Hal ini diperlukan sebagai bentuk penegakan hukum lingkungan yang menyeluruh.

Ketiga, (Pengawasan): Mewajibkan transparansi data kerusakan lingkungan secara real-time dari sumber-sumber pencemaran besar yang dapat diakses publik. Hal ini memungkinkan citizen monitoring. Hal ini penting sebagai bukti tranparansi kinerja stakeholder dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Hanya melalui penegakan pertanggungjawaban eko-yuridis yang tegas, terstruktur, dan berlandaskan pada keadilan, Indonesia dapat menuntaskan diskrepansi ini. Ini adalah salah satu jalan dan upaya menuju transisi energi yang benar-benar adil dan untuk mewujudkan hak konstitusional warga negara atas lingkungan hidup yang sehat. (*)

Leave a Reply