Resah di Negeri Timah: Harapan WPR, Asa yang Tertunda

Avatar photo
Penulis: Nurul KurniasihEditor: Admin Laspela
Ponton tambang inkonvensional (ti) milik warga Desa Cupat yang sandar di pesisir Pantai Lampu Merah tampak beberapa ponton belum selesai dan masih dalam tahap pembuatan.

PANGKALPINANG, LASPELA – “Kalau tambang berhenti, apa lagi yang bisa kami lakukan?” keluh Sap seorang warga Desa Cupat, Bangka Barat.

Suaranya lirih, namun sarat kegelisahan. Sejak aktivitas tambang rakyat melemah akibat isu razia, kehidupan masyarakat di pesisir desa itu berubah drastis.

Selama ini ia menggantungkan hidupnya dari pertambangan, hingga bisa menyekolahkan anaknya dan memenuhi urusan perut lima kepala yang ia hidupi.

Bukan hanya soal penghasilan, tapi juga soal dapur yang tak lagi mengepul. Anak-anak pun ikut merasakan. Ada yang tak bisa berangkat sekolah karena orang tuanya tak mampu membayar biaya transportasi. Dalam seminggu tanpa tambang, sudah ada warga yang datang mengetuk pintu kepala desa, meminta bantuan sekadar untuk makan.

Ekonomi Lumpuh, Warga Terhimpit

Mayoritas masyarakat Desa Cupat menggantungkan hidup pada tambang. Meskipun ada juga yang aktif di sektor pertanian. Ketika aktivitas berhenti, ekonomi pun seolah ikut terhenti.

“Dengan berhentinya tambang, warga susah. Ada yang berkebun, tapi rasa takut tetap menghantui. Perkebunan kemarin juga ada soal Satgas PKH, takut tanah disita negara, takut ditangkap, padahal mereka hanya ingin menghidupi keluarga,” ungkap Kepala Desa Cupat, Gegha Khris Kharisma.

Di wilayah pesisir, para penambang mayoritas adalah warga lokal. Mereka bekerja dengan peralatan sederhana, menyelam di laut dangkal 2–3 mil, dengan kedalaman 2–3 meter. Hasilnya pun pas-pasan. Bukan untuk beli fortuner hanya untuk makan sehari-hari, dengan standar konsumsi minyak fortune.

“Kalau pulang bawa 2–3 kilo timah, mereka sudah bersyukur. Bisa makan, bisa kasih anak sekolah, itu sudah bahagia, warga kami bukan cari kaya, hanya cari untuk makan dan kebutuhan sehari-hari,” sebut Gegha.

Di Antara Legalitas dan Kenyataan
Masalahnya, aktivitas tambang rakyat seringkali dianggap ilegal. Masyarakat sebenarnya ingin dilindungi, bukan dihantui ketakutan.

Gegha menceritakan, masyarakat juga ingin bekerja secara legal, dilindungi dan tak dihantui razia yang membuat mereka takut dan resah untuk bekerja.

“Kami pernah bertanya ke PT Timah, kenapa tidak bisa bermitra? Jawabannya karena tidak masuk spesifikasi, tidak safety, modalnya kurang karena untuk menjadi mitra itu otomatis modal yang disiapkan juga mulai dari Rp100 juta. Padahal kami cuma penambang tradisional. Kalau begitu, bagaimana kami bisa naik kelas?” urainya lirih.

Situasi inilah yang mendorong desa dan masyarakat berharap ada solusi nyata. Bukan sekadar larangan, tapi pendampingan.

“Kalau bisa, masyarakat diberdayakan. Jangan hanya dibilang melanggar hukum,” tambah Kades Cupat.

Ia berharap, PT Timah juga turun melakukan sosialisasi ke masyarakat dan membantu masyarakat. Ia menyadari, jika PT Timah memang memiliki hak untuk melakukan tindakan tegas atau melarang aktivitas ilegal di wilayah IUP tersebut, karena memang PT Timah yang memiliki IUP resmi. Hanya saja, Gegha berharaap, masyarakat pesisir dan warga desa juga mendapatkan dampak positif yang dirasakan.

“Inikan lokasinya di wilayah kita tempat tinggal warga, selama ini mereka mengambilnya juga di sini, paling tidak harusnya ada lah dampak yang dirasakan masyarakat,” harapnya.
Ia juga berharap, pemerintah bisa mengajukan atau mengusulkan skema lain agar tambang rakyat ini bisa menjadi legal, sah secara hukum sehingga masyarakat bisa menambang dengan tenang.

Baca Juga  Tingkatkan Produktivitas Hasil Tangkapan Nelayan, PT Timah Serahkan Bantuan untuk Kelompok Samudera Pesisir di Kundur

“Turun dan lihatlah kami, hadir di tengah masyarakat berikan solusi, jangan sampai masyarakat merasa ketakutan,” pintanya.

Suara di Gedung Dewan

Keresahan warga akhirnya sampai ke telinga wakil rakyat. Pada Senin (8/9/2025), DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menggelar audiensi dengan perwakilan penambang dan pelaku perkebunan dari Bangka Barat. Hadir pula perwakilan PT Timah Tbk.

Ketua DPRD Babel, Didit Srigusjaya, menegaskan bahwa tidak ada razia maupun penangkapan penambang rakyat. Menurutnya, isu itu harus diluruskan.

“Tidak ada razia, itu clear. Satgas yang hadir bukan untuk menangkap, melainkan mendukung data yang diminta Presiden. Tujuannya memperbaiki tata kelola timah agar negara dan masyarakat sama-sama diuntungkan,” jelasnya.

 

Satgas Timah: Melindungi, Bukan Menakuti

Penjelasan senada datang dari PT Timah Tbk. Departement Head Corporate Communication PT Timah, Anggi Siahaan, menegaskan bahwa Satgas Timah dibentuk bukan untuk menakuti masyarakat.

“Hadirnya Satgas justru untuk memperbaiki ekosistem tambang dan melindungi penambang. Tidak ada niat menangkap masyarakat. Ke depan, Satgas akan melakukan edukasi dan konseling agar penambang bisa bekerja lebih legal, aman, dan nyaman,” tegas Anggi.

Menurutnya, pembenahan tata kelola pertambangan harus mengedepankan masyarakat. “Ekosistem pertambangan ini harus lebih baik, dan manfaatnya kembali ke masyarakat. Itu komitmen kami,” tambahnya.

Antara Harapan dan Kenyataan
Meski penegasan itu menenangkan, masyarakat tetap menuntut kepastian. Mereka berharap PT Timah dan pemerintah hadir lebih dekat, bukan hanya melalui regulasi, tetapi juga dengan solusi nyata.

“Jangan sampai masyarakat merasa ditakuti. Hadir di tengah kami, bantu kami. Anak-anak kami butuh sekolah, keluarga kami butuh makan,” ujar Kades Cupat.

Di desa itu, ketika ada warga sakit, tetangga menggalang donasi untuk meringankan beban. Solidaritas menjadi penopang, sementara tambang yang mereka andalkan masih menggantung nasibnya di meja kebijakan.

Jalan Tengah: WPR sebagai Harapan

Wacana Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) muncul sebagai harapan baru. Jika dijalankan dengan serius, WPR bisa menjadi jalan tengah: masyarakat tetap menambang secara legal, negara mendapat pemasukan, lingkungan lebih terjaga, dan PT Timah tidak lagi berhadap-hadapan dengan penambang rakyat.

Namun hingga kini, jalan itu masih panjang. Sudah sejak lama digadang-gadang tapi tak kunjung terealisasi. Regulasi, modal, teknologi, dan pendampingan adalah pekerjaan rumah bersama.

Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Hidayat Arsani menegaskan Pemprov Babel sebenarnya berencana membentuk Satgas sendiri, yang berbeda dengan Satgas PT Timah. Satgas versi pemerintah daerah itu difokuskan untuk melindungi masyarakat agar bisa menambang secara legal melalui skema WPR.

“Kita ingin bentuk Satgas untuk WPR, supaya rakyat bisa bekerja dengan izin resmi, seperti di Bangka Tengah, Bangka Selatan, dan Belitung Timur. Rancangan perdanya diusulkan ke DPRD, tinggal menunggu proses harmonisasi,” jelasnya.

Targetnya, perda tentang WPR ini rampung pada akhir 2025, atau paling lambat Maret–April 2026, sehingga Satgas rakyat bisa berjalan.

Hidayat menegaskan, pemerintah daerah tetap berpihak kepada masyarakat. “Asas Satgas itu bukan menakuti, tapi menyelamatkan rakyat. Dengan adanya WPR nanti, masyarakat bisa bekerja dengan tenang, legal, dan tidak dianggap ilegal lagi,” tukasnya.

Komitmen PT Timah: Antara Angka dan Tanggung Jawab

Baca Juga  Ini Lima Rekomendasi Pansus Tata Kelola dan Niaga Timah Bentukan DPRD Babel

Di tengah tarik-menarik kepentingan, PT Timah menegaskan perannya sebagai BUMN yang tak hanya mengejar keuntungan. Medio Januari–Juli 2025, perusahaan ini telah menyetorkan pajak dan PNBP sebesar Rp839,991 miliar, melonjak tajam dari periode sama 2024 yang hanya Rp286,242 miliar.

Corporate Secretary PT Timah, Rendi Kurniawan, menyebut kontribusi itu bukan sekadar kewajiban. “Sebagai BUMN, PT Timah memastikan setiap kewajiban kepada negara dipenuhi tepat waktu dan transparan. Ini adalah komitmen Perusahaan untuk mendukung pembangunan nasional,” ujarnya.

Dalam lima tahun terakhir, kontribusi pajak dan PNBP PT Timah relatif stabil:

2020: Rp677,9 miliar
2021: Rp776,657 miliar
2022: Rp1,51 triliun
2023: Rp888,729 miliar
2024: Rp848,020 miliar
2025 (hingga Juli): Rp839,991 miliar

Dana ini masuk ke kas negara untuk membiayai infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga program kesejahteraan masyarakat.

Selain kontribusi keuangan, PT Timah juga rutin menjalankan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) di wilayah operasional: mulai dari pemberdayaan UMKM, pendidikan, kesehatan, hingga pelestarian lingkungan.

Di sektor pendidikan, sejak diluncurkan tahun 2000, Pemali Boarding School telah melahirkan 880 siswa berprestasi , dalam tiga tahun terakhir, 69 alumni diterima di perguruan tinggi ternama seperti ITB, UGM, dan UNPAD.

Sementara reklamasi, secara kumulatif yang telah dilakukan sejak 2015 – 2025 teralisasi 2.395,90 hektar. Reklamasi ini juga tak hanya sekedar menanam kembali dengan pohon bermanfaat tetapi juga disulap menjadi tempat wisata seperti di Air Jangkang, Sirkuir Grasstrack di Bangka Barat, hingga pemakanan umum.

Reklamasi laut, dilakukan fish shelter yang disebar sebanyak 33.105 unit, transplantasi karang 31.475 unit, serta articicial reef 160 hektar atau 9.600 unit sejak 2016- Juni 2025.

 

Kebijakan dan Kehidupan Nyata

Dengan izin usaha pertambangan (IUP) seluas 288.716 hektare di darat dan 184.672 hektare di laut, PT Timah menguasai lahan strategis. Namun, sekitar 31% wilayah itu tidak bisa digarap maksimal karena tumpang tindih dengan kawasan hutan produksi.

Sementara itu, produksi timah bijih timah tahun 2023 sebanyak 14.855 ton/metrik ton,dan pada tahun 2024 meningkat menjadi 19.437 ton/metrik ton, produksi logam timah tahun 2023 sebesar 15.340 dan pada tahun 2024 19.915 ton/metrik ton.

Angka-angka ini menunjukkan betapa kompleksnya tata kelola timah di negeri ini. Di satu sisi ada kepentingan negara, di sisi lain ada realitas masyarakat yang menggantungkan hidup dari pasir timah.

Bagi masyarakat Cupat dan desa-desa lain di Babel, tambang bukan sekadar profesi—melainkan denyut kehidupan. Harapan mereka sederhana: diberi ruang untuk tetap bekerja, legalitas regulasi tanpa rasa takut, dengan perlindungan hukum yang jelas.

Di hadapan negara, PT Timah telah membuktikan komitmennya melalui setoran triliunan rupiah dan program sosial yang menyentuh banyak sektor. Namun di hadapan masyarakat, yang dibutuhkan adalah wajah perusahaan yang lebih membumi—hadir dalam keseharian, mendengar keluh kesah, sekaligus menawarkan jalan keluar.

WPR mungkin bisa menjadi jembatan. Tapi jembatan itu hanya akan kokoh jika dibangun dengan keadilan, keberpihakan, dan keberanian untuk menjadikan rakyat bukan sekadar objek, melainkan mitra sejajar dalam mengelola anugerah timah di bumi Serumpun Sebalai. (**)

Leave a Reply