Beragama atau tidak beragamanya seseorang selalu saja diukur dari tingkat kepenganutannya dalam beribadah; shalat, puasa dan juga haji misalnya.
Aspek-aspek lain dalam komprehensifitas keagamaan faktanya tidak menjadi ukuran. Lebih-lebih atribut keagamaan yang bernuansa simbolik terkadang mempengaruhi penilaian terhadap agama dan juga penganut agama tertentu.
Bila religiusitas seseorang dianggap aman hanya dengan keterpenuhan norma-norma agama, maka hal tersebut adalah bentuk dimensi eksoterik keagamaan (shuuratul-Ibaadati), akan tetapi optimalisasi dirinya dalam beragama, khususnya ibadah, disebut esoterik.
Dimensi kedua ini adalah hakikat keagamaan ( haqiiqatul-Ibaadati). ‘alaa kulli haal, kedua dimensi tersebut tetap menyertai proses penghambaan seseorang kepada Tuhannya (zhaahirul-iimaan wa baathinuhu waahidun).
Islam misalnya, sebagai agama samawi (divine religion/ diinun samaawiyyun) setidaknya menyentuh tiga hal, yaitu: pertama, sistem keyakinan ( system of belief); kedua, sistem peribadatan (system of worship); ketiga, sistem hubungan kemasyarakatan ( system of social relation). Singkatnya Islam tidak sebatas normatifitas.
Berikutnya ia mesti dipahami dan dikaji secara mendalam, maka diperlukan pendekatan keilmuan (scientific approach); pendidikan, budaya, sejarah, ekonomi, politik dan lainnya dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal ini merupakan pengamalan aspek historisitas agama. Maksudnya Islam adalah agama dinamis, sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia.
Ketika Al-Qur’an merupakan sumber primer, maka kitab suci tersebut menjadi rujukan dan pedoman kehidupan. Sumber kedua yang detail (tafshiil) adalah Sunnah (Hadits Nabi)–“maa udhiifa ‘anin-Nabiy, qaulan, fi’lan aw taqriiran” (segala sesuatu yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan dan atau ketetapannya).
Sumber berikutnya adalah ijma’ berupa ijtihad ulama dalam menghasilkan ketetapan hukum Islam, namun tetap bersandarkan kepada sumber primer dan sumber sekunder diatas. Dengan sumber ketiga tersebut, persoalan umat secara bertahap akan terjawab.
Adapun sumber keempat adalah qiyas (analogi). Contoh: korupsi yang dalam Bahasa Arab adalah,”ikhtilas” tak tersurat dalam Al-Qur’an, sementara hal tersebut menjadi fenomena tertentu yang mesti diselesaikan secara hukum, maka rujukan awalnya adalah ayat tentang pencurian (sariqah); “wassaariqu wassaariqatu, faqtha’uu aidiyahumaa jazaa’an ….”, dalam QS.Al-Maidah 5):38–artinya: “Dan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya sebagai balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksa dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana). Berikutnya sumber-sumber hukum lain yang akurat ( mu’tabarah) sebagai penguat.
Korupsi adalah tindakan melawan hukum, disebut tindak pidana korupsi, dianalogikan ke perbuatan mencuri karena keduanya mengandung arti mengambil hak milik orang lain. Merujuk kepada QS.Al-Maidah5):38 dan kitab ,”Tafsir fi Zhilaalil-Qur’an”, bahwa pencuri, baik laki-laki maupun perempuan diklasifikasikan menjadi tiga hal yang menyatu, yaitu: pertama, status pencuri.
Apakah ia sengaja mencuri atau terpaksa mencuri dan atau dibawah kendali orang lain sehingga mencuri?; kedua, nilai barang yang dicuri. Apakah ia mencuri 5 ekor ayam senilai 1 juta rupiah atau ia korupsi 1 milyar rupiah?; ketiga, intensitas perbuatan mencuri. Apakah ia terbiasa, berkali-kali mencuri atau sebaliknya baru pertama kali mencuri?
Bagaimana dengan korupsi ketika metode mengambil hak orang lain itu berbeda? Pastinya diperlukan beberapa pertimbangan yang mendukung hal tersebut. Begitu juga tindak pidana pembunuhan dan isu-isu lainnya yang mesti disikapi.
Agama, terutama Islam, tidak sebatas normatifitas apakah ia sistem keyakinan, sistem peribadatan dan atau sebagai sistem hubungan kemasyarakatan. Pemahaman yang terlalu normatif; rigid, kaku dan tekstual tidak juga dapat dijadikan rujukan. Begitu banyak kitab tafsir, hadits dan berbagai sumber pengetahuan dari para ulama dan intelektual lain untuk bersandar sehingga persoalan umat dapat dipecahkan bersama.
Ketika persoalan kehidupan umat teratasi dengan pendekatan normatif dan historis, terdapat satu pendekatan lain, yaitu transenden.
Tak semata mata kepenganutan dan objektifikasi, namun mukasyafah sangat diperlukan. Agama hakikatnya privat menyangkut hubungan manusia sebagai makhluk beragama menuju Tuhannya, Allah Swt. (*)
Leave a Reply