EKONOMI dan keuangan syariah Indonesia terus menunjukkan geliat dan terus menunjukkan kemajuan yang membanggakan di kancah global. Menurut State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report 2024–2025, Indonesia tetap berada di posisi ketiga teratas dunia di bawah Malaysia dan Arab Saudi. Prestasi Indonesia semakin lengkap dengan memimpin sektor fashion muslim, peringkat kedua dalam pariwisata ramah muslim dan farmasi halal, serta peringkat keempat untuk makanan halal.
Fakta ini makin mantap dengan laporan OJK tahun 2025, di mana aset keuangan syariah nasional sudah menembus Rp2.883 triliun atau tumbuh lebih dari 11% dari tahun sebelumnya. Indeks saham syariah nasional pun ikut melonjak seiring naiknya kapitalisasi pasar ISSI. Semua data ini menunjukkan sinyal kuat bahwa kepercayaan publik, daya dukung regulasi, dan infrastruktur pasar terhadap ekonomi syariah semakin menguat.
Namun, memperkuat ekonomi dan keuangan syariah tak cukup hanya bersandar pada satu sektor saja. Pendekatan holistik dan kerja sama lintas sektor—mulai dari industri halal, teknologi digital, pendidikan, hingga kebijakan negara—adalah kuncinya. Keuangan syariah harus hadir sebagai penggerak utama ekonomi Indonesia yang adil dan berkelanjutan, bukan hanya sekadar pelengkap bagi sistem konvensional. Penguatan kelembagaan, peningkatan literasi, regulasi yang inovatif, hingga penciptaan ekosistem untuk UMKM menjadi bagian tak terpisahkan agar manfaat keuangan syariah bisa dirasakan lebih luas.
Meski pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah menjanjikan, sayangnya manfaatnya belum sepenuhnya dirasakan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, saat ini ekonomi dan keuangan syariah masih ditopang oleh institusi keuangan besar dan industri halal berskala nasional.
Selain itu, ekonomi dan keuangan syariah masih kerap “nongkrong” di acara seminar dan diskusi formal, belum benar-benar hadir di lapak pasar, kebun petani, atau warung-warung kecil rakyat. Banyak pelaku UMKM, petani, serta pedagang kecil masih belum tahu cara mengakses pembiayaan syariah atau mendapatkan sertifikat halal. Padahal, UMKM Indonesia yang jumlahnya lebih dari 65 juta dan menopang lebih dari 60% PDB nasional, semestinya menjadi penerima manfaat utama ekonomi dan keuangan syariah.
Lalu, di mana letak peluang besarnya? Salah satunya justru di lingkungan pondok pesantren. Selama ini pesantren lebih dikenal sebagai penjaga nilai-nilai spiritual dan pendidikan keagamaan, pesantren sejatinya menyimpan potensi luar biasa dalam penguatan ekonomi komunitas. Faktanya banyak pesantren memiliki lahan produktif, koperasi, unit usaha, hingga jaringan alumni dan simpatisan yang tersebar di berbagai wilayah.
Di tengah meningkatnya kebutuhan akan sistem keuangan yang lebih inklusif, pesantren sesungguhnya telah berada di posisi strategis untuk menerjemahkan prinsip-prinsip syariah ke dalam praktik ekonomi yang membumi—praktik yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.
Sejumlah pesantren telah berhasil mengembangkan berbagai unit usaha, mulai dari pertanian hortikultura berbasis greenhouse, minimarket, perkebunan, hingga koperasi santri yang dikelola secara profesional. Inisiatif-inisiatif ini tidak hanya membekali santri dengan keterampilan kewirausahaan dan kemandirian ekonomi, tetapi juga memberi manfaat nyata bagi masyarakat sekitar pesantren. Menyadari besarnya potensi tersebut, Bank Indonesia secara aktif mendorong replikasi bisnis model serupa melalui program Lomba Kemandirian Ekonomi Pesantren yang menjadi bagian dari rangkaian Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF), serta melalui penguatan peran Himpunan Ekonomi dan Bisnis Pesantren (HEBITREN).
HEBITREN merupakan wadah penguatan kemandirian pesantren yang ditujukan untuk mendorong akselerasi penguatan ekonomi dari unit usaha yang ada di pondok pesantren. Di Bangka Belitung, Bank Indonesia telah memfasilitasi pembentukan HEBITREN pada tanggal 18 Februari 2025 dan dikukuhkan pada tanggal 25 April 2025 bersamaan dengan penyelenggaraan Bangka Belitung Ekonomi Keuangan Syariah (BEKISAH) ke-4 tahun 2025 di Masjid Agung Kubah Timah, Pangkalpinang. HEBITREN Bangka Belitung merupakan HEBITREN yang ke-12 di Indonesia yang terbentuk dari gabungan 12 pondok pesantren yang masing-masing memiliki unit usaha agar saling bersinergi untuk kesejahteraan umat.
Bank Indonesia terus membimbing dan memfasilitasi pesantren yang berkomitmen membangun usaha mandiri, serta mempertemukan mereka dengan pelaku industri halal nasional. Dengan begitu, pesantren kini tak hanya jadi pusat pendidikan dan spiritual Islam, tapi juga motor utama pertumbuhan ekonomi syariah yang inklusif, memberdayakan, dan membawa manfaat nyata bagi masyarakat sekitarnya.
Membumikan ekonomi dan keuangan syariah berarti membuatnya hidup dalam ruang-ruang nyata: di toko kelontong pesantren, di koperasi santri, di pertanian atau perkebunan pesantren, hingga dalam cara bermuamalah di pasar tradisional. Ketika pesantren mampu menunjukkan bahwa prinsip-prinsip syariah dapat berjalan selaras dengan profesionalitas, produktivitas, dan transparansi, maka ekonomi syariah tidak lagi menjadi wacana, melainkan solusi nyata yang bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat.
Di sinilah peran bank sentral sebagai “penjahit sinergi” menjadi penting. Bukan sebagai pelaku utama, tetapi sebagai fasilitator, penghubung, dan penjaga arah agar ekonomi syariah tumbuh tidak hanya ke atas, tetapi juga ke dalam dan ke bawah. Ekonomi syariah tidak cukup dibangun dari meja-meja kebijakan. Ia harus hidup di lahan pertanian dan perkebunan, menyapa pasar rakyat, dan menguatkan pelaku UMKM.
Syariah akan membumi ketika ia menjadi bagian nyata dari aktivitas ekonomi umat sehari-hari. (*)
Leave a Reply