Opini  

KPID, Penjaga Layar Penyiaran Bangka Belitung agar Tetap Terkembang

Oleh : Joko Setyawanto, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Bangka Belitung

Avatar photo

DUNIA penyiaran televisi dan radio era 20 sampai 30 tahun lalu menjadi sangat flamboyan dan eksklusif, tidak lagi demikian dewasa ini.

Terjangan digitalisasi yang memberikan akses penuh bagi siapapun, di belahan bumi manapun, selagi ditunjang dengan gawai yang juga relatif sangat terjangkau, mampu menggantikan peran radio dan televisi sekalipun dengan memangkas beberapa fungsi.

Alhasil setiap hari, setiap jam, setiap detik, berbagai tayanganan indie memenuhi ruang publik dengan nyaris tanpa kendali. Mungkin ini memang akhir masa bagi industri penyiaran dengan segala kerumitannya yang terkadang mengada-ada dan merepotkan diri sendiri.

Bagaimana dengan peran penyiaran sebagai benteng informasi dan validasi berita melawan hoaxs?.

Hingga detik ini, satu-satunya kebanggaan yang tersisa di industri yang sedang sekarat ini adalah kemampuan dan mekanisme meja redaksi dalam memverifikasi informasi dan berita sebelum ditayangkan ke publik. Sehingga meski jarang disadari, penyiaran khususnya televisi, masih menjadi benteng sekaligus tempat bagi publik untuk memvalidasi informasi dan berita.

Pertanyaannya, sampai kapan tanggungjawab ini mampu diemban oleh dunia penyiaran profesional? Sementara sekedar bertahan hidup saja sulit.

Indikatornya, saat ini tidak ada satupun televisi lokal di Bangka Belitung. Satu per satu lembaga penyiaran gulung tikar. Demokratisasi dan desentralisasi penyiaran baru sebatas retorika tanpa realita.

Kita tidak sedang berdiri menentang arus perubahan yang memaksa redup dunia penyiaran, pasalnya zaman sudah berganti, tuntutan waktu tak lagi mampu dipenuhi oleh platform-platform penyiaran tradisional konservatif.

Penyiaran harus mampu berimpovisasi dan membelah diri mengikuti perubahan minat dan kemudahan zaman. Hal ini pun tidak mudah dan niscaya tidak akan terjadi jika ruang untuk tumbuh dan hidup itu sendiri tidak tesedia dan terpelihara.

Sayangnya, kondisi ini tidak sepenuhnya mampu diciptakan secara swadaya oleh lembaga-lembaga penyiaran. Mengingat dalam koridor bernegara ada peran yudikatif, eksekutif, dan legislatif yang menjadi regulator.

Lalu masih ada juga sebuah institusi yang dinamai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki perpanjangan tangan di tiap provinsi, dengan nomenklatur Komisi Penyiaran Indonesia Daerah.

Baik KPI maupun KPID memiliki peran untuk mengawasi isi siaran lembaga penyiaran dengan menerapkan standarisasi dalam wujud Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Peran ini seyogyanya mencakup upaya membangun iklim penyiaran yang kondusif dan bermartabat belum nampak diikuti langkah kongkret, belum terimplementasu dalan jejaring penyiaran dengan stakeholder.

Perlu adanya tafsir dan pemahaman yang komprehensif terkait tugas dan kewenangan KPID yang tentu saja bukan sekedar polisi penyiaran. Dimana kedewasaan dan ketatnya mekanisme meja redaksi serta banyaknya instrumen pendukung lain, memberi jaminan minimnya pelanggaran aturan dan kaidah di dunia penyiaran khususnya televisi.

Bagaimanapun KPI maupun KPID di daerah hanyalah sebuah benda mati, sebuah institusi yang diberi kewenangan cukup untuk menebar manfaat sebesar-besarnya bagi terselenggaranya iklim penyiaran yang berkeadilan dan demokratis.

Butuh personil-personil yang memang memahami nafas penyiaran untuk menahkodainya. Bukan sekedar insan yang pernah menjadi penyiar atau pekerja di industri penyiaran di masa lampau.

Pengalaman singkat bersinggungan dengan industri yang relatif kompleks ini, tidak memberi jaminan pemahaman yang baik tentang dapur penyiaran.

Bola panas kini berada ditangan Panitia Seleksi dan Komisi I DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Apakah produk politik kali ini hanya akan menampung para pencari kerja (job seekers) atau menjaring calon-calon yang memang memiliki kompetensi.

Proses inilah yang akan sangat menentukan apakah penyiaran di Bumi Laskar Pelangi bersinar terang atau sedang menuju Sunset di Tanah Anarkhi. (*)

 

Leave a Reply