DIHITUNG-hitung belum genap benar 100 hari kepemimpinan kepala daerah Hidayat Arsani- Hellyana yang baru dilantik pada 17 April lalu. Namun, gegap gempita perseteruan politik Gubernur dan Wakil Gubernur Bangka Belitung (Babel) yang baru tersebut begitu riuh di awal-awal kepemimpinan mereka, tepatnya tidak lama setelah mereka resmi dilantik dan diambil sumpahnya. Beberapa masalahnya, mulai dari sulit dan buntunya komunikasi politik keduanya, adanya perebutan media publikasi publik, termasuk juga begitu ruwet dan gaduhnya mobilitas perjalanan dinas mereka sebagai pejabat publik. Dari interaksi dan relasi konfliktual tersebut, bisa dibayangkan betapa tidak sehat dan kurang harmonisnya pucuk pimpinan rakyat Babel tersebut menjelang 100 hari periode kepemimpinan politik mereka. Bisa dibayangkan juga betapa mahal dan besarnya energi anggaran yang sudah terkuras hingga puluhan milyar rupiah untuk membiayai proyek-proyek elektoral Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Babel akhir tahun lalu.
Momentum Krusial 100 Hari Pertama
Jika dipikir-pikir fenomena kurang harmonisnya hubungan kepala daerah pilihan rakyat Babel yang baru menjabat seumur jagung tersebut memang agak anomali dan menyedihkan kita semua. Jika biasanya fenomena pecah kongsi kerap terjadi menjelang berakhirnya masa jabatan hingga menuju kontestasi Pilkada berikutnya. Ini malah berlangsung di masa-masa krusial sebelum 100 hari kepemimpinan mereka untuk lima tahun ke depan atau baru berjalan sekitar 80-an hari saat tulisan ini dibuat.
Inilah paradoks politik lokal yang pada satu sisi memperlihatkan betapa buruknya pola koordinasi dan komunikasi politik antara gubernur dan wakil gubernur, sementara di sisi lain juga merefleksikan adanya kontradiksi antara ekspektasi transformatif dengan realitas struktural pucuk pemerintahan daerah di Babel yang tentunya jauh dari harapan publik.
Di saat mayoritas kepala daerah pilihan rakyat dari berbagai daerah baru saja dilantik, kemudian segera berpacu melakukan gebrakan spektakuler melalui kerja keras siang malam di periode 100 hari kepemimpinannya– demi mendarmabaktikan janji-janji politik mereka sejak awal kampanye. Kemudian, di saat para kepala daerah terpilih lainnya begitu sibuk dengan kerja-kerja inovatif dan visioner demi menghadirkan sesuatu yang baru dan berbeda dari kepemimpinan politik sebelumnya. Nah, yang terjadi di Babel jusru malah sebaliknya, banyak sekali yang cemas, gusar dan istigfar sambil mengelus dada. Bahkan, salah seorang putra daerah Babel yang berkiprah sebagai pejabat komisioner di pusat sempat beberapa kali mengutarakan kegelisahannya jika sampai para elit pejabat di Babel tidak mampu harmonis, apalagi pada detik-detik penting masa kepemimpinan mereka baru saja dimulai.
Alih-alih mencapai target kemajuan yang lebih kongkret bagi kemaslahatan publik rakyat, para elit kita malah sibuk pada perseteruan tak berkesudahan, adu argumen dan saling tuding di media massa hingga telah membuat kesal dan malu rakyat yang telah memilihnya.
Padahal kedua sosok pejabat yang menjalankan amanah rakyat untuk lima tahun ke depan tersebut bukanlah sosok amatiran ataupun baru dalam percaturan politik pemerintahan lokal. Terlebih sang gubernur yang telah dikenal sebagai panglima, bapak pembangunan, dan juga pengusaha terkenal dan pernah menduduki jabatan strategis sebagai Wakil Gubernur Babel (periode 2014-2017). Begitu juga sosok sang wakil gubernur yang merupakan salah satu politisi senior yang cukup lama berkiprah dalam percaturan politik lokal.
Semestinya, harmonisasi kepemimpinan politik jadi lebih mudah dikonsolidasikan bersama? Jika tidak, kekecewaan publik tentu akan semakin menjadi-jadi dan menganggap kampanye politik bareng selama ini tak lebih dari sekedar omon-omon atau dalam bahasa lokalnya disebut lebih banyak dan besak umong.
Akibatnya hal ini telah menimbulkan pertanyaan spekulatif publik terkait apa yang sebenarnya terjadi dan sedang diperebutkan sehingga belum 100 hari berjalannya pemerintahan sudah begitu bising dan gaduh. Lalu, bagaimana nasibnya nanti di hari-hari panjang ke depan yang kurang lebih masih ada sekitar 1.735 hari lagi? Bagaimana mungkin visi-misi dan janji kampanye bisa terealisasi jika para elit pemegang pucuk pimpinannya tidak tertib, tidak akur dan malah sibuk ‘bertengkar’?
Sebegitu berbahayanya konteks ketidaktertiban politik sebenarnya sudah pernah diingatkan sejak lama oleh seorang ilmuwan politik terkenal, sekaligus Guru Besar dan Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Harvard- Amerika; Profesor Samuel P.Huntington. Menurutnya ketidaktertiban politik dan situasi konfliktual merupakan penghambat utama pembangunan ekonomi, termasuk juga pemicu terjadinya ketidakstabilan dan kekacauan politik (lihat:Huntington, 1968).
Lalu pertanyaan, Bagaimana sebenarnya peran dan tanggung jawab moral Parpol pendukung (Golkar, PDIP, PKS, dan PPP), termasuk juga sudah sejauhmana ikhtiar dan kerja-kerja para staf khusus yang selama ini telah secara sukarela membantu kerja-kerja gubernur dan wakil gubernur?
Itulah beberapa pertanyaan reflektif yang beberapa hari ini begitu menggelayut di benak publik rakyat di negeri Serumpun Sebalai. Fenomena cepatnya pecah kongsi antara gubernur dan wakil gubernur tentu berpotensi menumpulkan kompetensi dan juga nalar logis para eksekutif kita yang pada gilirannya bisa berpengaruh terhadap kualitas kerja birokrasi pemerintahan kita di Babel dalam mengurus nasib dan kepentingan hajat hidup rakyat.
Guncangan Ekonomi dan Defisit Anggaran Kita
Memang kalau boleh jujur, fase kepemimpinan Hidayat-Hellyana sedang dalam posisi yang kurang baik dan menguntungkan karena ada banyak beban yang harus ditanggung. Ada kompleksitas dan guncangan ekonomi lokal yang juga bersamaan dengan beban hutang dan anggaran pemerintah nasional yang sedang tidak baik-baik saja. Terlebih, dalam beberapa tahun terakhir– pasca musibah Covid-19 sejak tahun 2020 yang lalu, lanskap sosial-ekonomi lokal begitu problematis, banyak daerah terjerat hutang dan defisit anggaran, termasuk yang dialami Pemprov Babel saat ini yang mengalami defisit cukup signifikan yaitu sebesar Rp 70 miliar, bahkan bisa terus melejit hingga mencapai Rp 271 sampai dengan Rp 273 miliar (Kompas, 5/52025).
Belum lagi dampak efisiensi anggaran pusat yang sedikit banyak akan cukup menyulitkan dan membebani politik anggaran daerah. Memang tidak bisa dipungkiri terdapat tren politik anggaran daerah yang dalam praktiknya selama ini cenderung ‘lebih besar pasak daripada tiang’. Kecenderungannya, selama ini banyak terjadi pemborosan yang membahayakan keuangan daerah.
Tentu sudah tepat sekali dan sangat perlu diapresiasi bersama spirit hemat anggaran yang terus-menerus digaungkan Gubernur Hidayat Arsani sejak awal, termasuk misalnya ketika rapat bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang menginstruksikan kepada seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemprov Babel untuk benar-benar serius mengencangkan ikat pinggang di tengah defisit anggaran yang akan terus berlangsung di tahun 2025 ini (lihat: Laspela, 5/5/2025).
Inilah momentum penting untuk menghentikan berbagai tindak-tanduk elit pejabat kita yang kerap melakukan pemborosan anggaran yang membebani duit rakyat.
Belum lagi dengan realitas pelambatan ekonomi di Babel yang cukup serius. Misalnya di tahun 2024 tercatat pertumbuhannya secara akumulatif dari Triwulan I hingga IV hanya mencapai 0,77 persen. Performa ini jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 4,38 persen (lihat BPS Babel, 2025).
Dari catatan statistik tersebut menempatkan posisi Kepulauan Babel sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi terendah di Sumatera. Kemudian, terus meningkatnya kemiskinan (dari data BPS Babel, pada tahun 2024 tercatat kurang lebih sekitar 78,58 ribu orang tergolong miskin), serta gelombang PHK yang sedikit banyak juga diperparah akibat turbulensi ekonomi pertimahan yang selama ini jadi tumpuan penting warga Babel di samping sawit.
Ini juga bersamaan di saat semakin rusak dan hilangnya ruang atau ekosistem lada putih dan karet akibat ekspansi perkebunan sawit perusahaan skala besar. Padahal praktik ekonomi lada dan karet rakyat terbukti bertahun-tahun telah membuat warga Babel tetap kuat dan tangguh dari terpaan krisis.
Nah, di tengah ancaman resesi ekonomi dan dinamika geopolitik global yang terus bergejolak, di saat terjadinya guncangan sosial dan ekonomi lokal-nasional yang tidak menentu akhir-akhir ini hingga berpotensi membahayakan nasib rakyat, tentu diperlukan sekali hadirnya sosok kepemimpinan yang kuat dan stabil demi menjaga stabilitas sosial-ekonomi dan politik kita.
Konteks kepemimpinan ini relevan dengan apa yang dibahasakan Francis Fukuyama (1995) sebagai the trusted leader atau sosok kepemimpinan yang kuat dan bisa dipercaya publik rakyatnya sehingga bisa lebih fokus melakukan transformasi pada ragam sektor serta berikut kelembagaannya.
Puber Kekuasaan Pemicu Turbulensi
Dalam konteks pubertas, jika fase pertama menggambarkan proses biologis alamiah dari tubuh seorang remaja yang bertransisi ke dewasa yang ditandai perubahan fisik dan hormonal. Nah, dalam konteks politik, juga berkembang pubertas sebagai istilah kiasan untuk menggambarkan bagaimana perubahan signifikan naluri alamiah dan hasrat berkuasa dalam diri para politisi. Istilah ini relevan sekali untuk mempotret sekaligus mengkoreksi kinerja dan praktik buruk pemerintahan yang dijalankan para politisi kita. Hal tersebut acapkali muncul akibat banyaknya sosok politisi dan para elit eksekutif yang belum matang, emosional atau masih labil dalam menjalankan kekuasaan.
Ini juga relevan dengan kerangka teoritik klasik Max Weber (1964) soal legitimasi kekuasaan yang beririsan kuat dengan fenomena puber kekuasaan yang kerap menghinggapi para elit politisi yang sedang menjabat. Di level politik lokal kita misalnya, puber kekuasaan bisa dimaknai sebagai gejala kemunculan elit politik atau pejabat yang begitu berupaya menguji otoritas politiknya, namun acapkali tanpa mengindahkan etika dan perasaan publik yang telah bersusah-payah memilihnya.
Puber kekuasaan juga menggambarkan fenomena di mana para elit politik yang kembali berkuasa, lalu menggunakan tahta dan otoritas kekuasaannya secara berlebihan, impulsif, dan tak jarang tanpa mempertimbangkan etika kepentingan publik. Berbagai tindakan impulsif tersebut misalnya melalui keputusan terburu-buru atau ‘grasak-grusuk’ yang menimbulkan kegaduhan publik. Masing-masing akan saling menyerang dan sibuk mencari pembenaran untuk kepentingan politiknya. Ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari cara mereka menegaskan bahwa mereka merasa ‘berhak atas kekuasaan yang telah diperolehnya sejauh ini.
Gejala ini sebenarnya telah banyak menjangkiti para elit pejabat kita di sejumlah daerah. Hal ini misalnya ditandai gaya prilaku kurang dewasa dalam berkuasa, misalnya sibuk dengan hal-hal yang kurang substansial dan berkaitan erat dengan kepentingan nasib rakyat, termasuk misalnya ada elit pejabat yang sibuk pencitraan atau sibuk berjoget ‘berlenggak-lenggok’ di ruang publik demi meraih perhatian publik, alasannya demi mengikuti tren gen-Z, dan juga demi mengumpulkan insentif elektoral demi kontestasi berikutnya.
Padahal pada saat bersamaan, tak banyak yang berubah, publik warganya tetap saja banyak yang hidup miskin dan susah, masih tingginya angka putus sekolah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi yang masih rendah dan bermasalah, stunting masih banyak, dan berbagai persoalan hidup rakyat lainnya.
Akhirnya, sudah saatnyalah menghentikan perseteruan politik yang tidak sehat dan merugikan rakyat. Pemprov Babel rasanya perlu segera menginisiasi regulasi pembagian tugas dan wewenang yang lebih jelas dan rigid lagi, misalnya bisa lewat Peraturan Gubernur (Pergub) untuk mengatur apa yang menjadi tugas dan wewenang gubernur dan wakil gubernur. Bisa jadi regulasi yang sudah ada masih multitafsir dan ambigu. Pun begitu, mau sebagus apapun regulasi yang dibuat, jika tidak ada nawaitu dan komitmen moral yang kuat dari elit maka percuma saja. Apalagi gubernur dan wakil gubernur itu dipilih satu paket sehingga secara akuntabilitas politik mereka berdualah yang akan menanggung beban dunia-akhirat jika tidak benar menjalankan amanah rakyat.
Bagaimanapun juga, publik rakyat tentu akan selalu mendo’akan dan menantikan agar semua elit pejabat kita semakin matang dan bijaksana ketika berkuasa sehingga tak membuat cemas banyak orang selama periode kepemimpinan mereka. Sudah saatnya para elit pemimpin daerah kita bisa lebih tulus dan Ikhlas mewakafkan hidupnya untuk kepentingan hajat hidup rakyat banyak. Dengan begitu kelak, insyaAllah semua pemimpin kita kelak bisa betul-betul paripurna dan husnul khatimah di akhir hidupnya, sehingga publik rakyat akan selalu mengenang dan mendo’akannya sekeluarga. Toh, hidup ini juga begitu singkat dan sementara saja. Jadi bagi para politisi dan pejabat kita, ingatlah selalu pesan penting Baginda Nabi Muhammad SAW (HR.Tirmidzi no.2307; Ibnu Majah no.4258) bahwa perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan yaitu kematian. (*)
Leave a Reply