PANGKALPINANG, LASPELA — Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Reda Manthovani, menegaskan bahwa kehadiran Sistem Jaga Desa bukanlah alat represif yang ditujukan untuk menakut-nakuti para kepala desa, melainkan sebuah sistem pendampingan berbasis teknologi yang dirancang untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa.
Dalam penjelasannya di hadapan para kepala daerah dan perangkat desa, Reda menyampaikan bahwa sistem ini memungkinkan setiap kegiatan yang bersentuhan dengan penggunaan keuangan negara diinput secara rinci, lengkap dengan laporan perkembangan (progres) yang dapat dipantau langsung oleh lembaga berwenang.
“Sistem Jaga Desa ini adalah sistem informasi teknologi yang memuat semua kegiatan yang berkaitan dengan keuangan negara yang dikelola oleh kepala desa. Kami ingin setiap progres dicatat, agar penggunaan anggaran tepat, tidak salah sasaran, dan tidak salah penggunaan,” ujar Reda.
Tak paham keuangan negara akan dibimbing
Reda menyadari bahwa tidak semua kepala desa memiliki pemahaman mendalam soal administrasi keuangan negara. Untuk itu, kata dia, sistem ini justru hadir sebagai pendamping digital, yang dapat membimbing kepala desa agar tidak terjerumus pada kesalahan administratif maupun penyimpangan hukum.
“Rata-rata kepala desa kita ini belum sepenuhnya paham soal administrasi keuangan negara. Lewat sistem ini, kita bimbing mereka agar tidak keliru. Ini seperti peran dokter. Kalau kita sakit, kita harus terbuka. Jangan batuk tapi bilangnya sakit perut, nanti dikasih obat yang salah. Jadi jujurlah dalam input data, kami akan dampingi,” jelasnya.
Jaminan Perlindungan Kepala Desa dari Intimidasi
Tak hanya bicara teknis, Jamintel juga menegaskan bahwa Kejaksaan menyediakan mekanisme perlindungan kepada para kepala desa dari potensi intimidasi oknum aparat penegak hukum di daerah. Ia membuka ruang pelaporan langsung ke pusat jika ditemukan tindakan yang tidak sesuai prosedur dari pejabat seperti Kajari, Kasi, ataupun jaksa di lapangan.
“Kalau ada kepala desa yang merasa diintimidasi oleh Kajari, Kasi, atau jaksa lain, bisa lapor langsung ke pusat. Ada kolom pelaporan khusus yang tidak bisa diakses oleh mereka di daerah. Jadi jangan takut, jangan khawatir. Kami jaga desa, bukan cari-cari kesalahan,” tegas Reda.
Sistem ini, lanjut Reda, dikembangkan dengan semangat kolaboratif, bukan koersif. Kejaksaan, kata dia, hadir sebagai mitra pembangunan, bukan momok bagi kepala desa.
Jaga Desa menjadi bagian dari ikhtiar nasional untuk memperbaiki tata kelola dana desa yang selama ini rentan terhadap penyimpangan. Dengan sistem digital ini, pemerintah berharap terjadi perubahan budaya birokrasi desa yang lebih transparan dan profesional.
Upaya Kejaksaan ini juga mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah dan Tertinggal (Kemendes PDT), serta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Diharapkan, dengan sistem ini, desa-desa tidak hanya mandiri secara ekonomi, tapi juga mandiri dalam tata kelola yang bersih dan berintegritas. (rul)
Leave a Reply