SIMPANG TERITIP, LASPELA — Aktivitas empat Kapal Isap Produksi (KIP) timah milik mitra PT Timah di perairan Bembang dan Batu Berlayar menuai keluhan dari para nelayan Desa Air Nyatoh, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung.
Para nelayan mengaku pendapatan mereka menurun drastis akibat pencemaran dan sedimentasi yang ditimbulkan oleh kapal-kapal isap tersebut.
Ketua Koperasi Produsen Persatuan Nelayan Air Nyatoh, Asbaru, menyebut aktivitas kapal-kapal itu telah berlangsung sekitar dua pekan terakhir. Menurutnya, limbah dan endapan lumpur dari operasi kapal terbawa arus hingga mencemari wilayah tangkapan ikan nelayan lokal.
“Kapal-kapal isap ini beroperasi di perairan Bembang, Desa Sungai Buluh, Kecamatan Jebus. Sejak mereka mulai beroperasi, lumpur dari hasil isapan masuk ke wilayah kami, dan hasil tangkapan pun langsung menurun,” ujar Asbaru, Senin (2/6/2025).
Ia menyebut, dampaknya bukan hanya air yang keruh, tetapi juga sedimentasi berat yang terjadi sepanjang perairan Bembang. Lumpur terbawa arus hingga ke kawasan Air Nyatoh, memperparah kondisi laut tempat nelayan menggantungkan hidup.
Berbagai langkah telah dilakukan, termasuk berkoordinasi dengan Pemerintah Desa Air Nyatoh, Polsek Simpang Teritip, hingga Polres Bangka Barat. Asbaru juga mengaku sudah menyampaikan keluhan ini kepada anggota DPRD kabupaten dan provinsi, namun belum ada tindakan konkret dari pihak manapun.
“Kami sangat berharap ada kepedulian. Laut adalah sumber penghidupan utama masyarakat Air Nyatoh. Kalau ini terus dibiarkan, kami tidak tahu lagi bagaimana harus bertahan hidup,” tegasnya.
Kondisi ini juga dirasakan oleh kelompok nelayan pencari cacing laut — yang sebagian besar adalah perempuan — di kawasan pesisir. Mereka mengaku hasil tangkapan cacing laut yang biasa mencapai 4–5 kilogram per hari kini tinggal 1–2 kilogram.
Koordinator Kelompok Nelayan Perempuan Rembe Desa Air Nyatoh, Sapari, mengatakan dampak lumpur dari kapal isap menyebabkan lubang-lubang tempat cacing laut hidup tertutup endapan.
“Laut kami ini bentuknya teluk, jadi kalau limbah masuk saat air pasang, lumpurnya tertahan. Ketika surut, lumpur itu tidak keluar lagi. Di situlah tempat kami mencari cacing laut,” katanya.
Mewakili para perempuan nelayan, Sapari berharap perhatian serius dari para pemangku kepentingan—dari kepala daerah hingga aparat penegak hukum.
“Kami ini orang kecil. Banyak dari kami sudah lanjut usia, tidak mungkin lagi bisa bekerja di perusahaan. Laut adalah satu-satunya tempat kami mencari nafkah,” ucapnya lirih.
Ia juga menyampaikan harapannya kepada Bupati Bangka Barat Markus, anggota DPRD kabupaten dan provinsi seperti Amin, Didit, dan Cuncun, hingga Gubernur Kepulauan Bangka Belitung agar turut membantu mencarikan solusi atas persoalan ini. (oka)
Leave a Reply