Opini  

Wakil Itu Sebenarnya Siapa ?

(Catatan Relasi Kepala dan Wakil Kepala Daerah)

Prof. Dr. Bustami Rahman, M.Sc
Bustami Rahman, Guru Besar Emeritus UBB

Oleh : Prof. Dr. Bustami Rahman, M.Sc

Guru Besar Emeritus Universitas Bangka Belitung

 

PILKADA yang normal di Bangka Belitung sudah berlalu. Tinggal dua Pilkada susulan akan digeber beberapa bulan lagi.

 

Alhamdulillah, di tingkat Provinsi, Gubernur dan Wakil Gubernur telah mulai menjalankan roda pemerintahannya. Jika kita menyebut konteks Pemerintahan Provinsi, maka etika nomenklatur menerangkan tentang adanya dua sosok pemimpin. Gubernur dan Wakil Gubernur yang secara bersama mengendalikan pemerintahan.

 

Mengapa harus bersama? Karena mereka mendaftar bersama. Kampanye juga bersama. Dana juga mungkin bersama terhitung besar kecilnya saja. Setelah menang, disumpah juga bersama dengan bahasa sumpah yang sama. Lantas kantornya juga umumnya di satu atap atau halaman gedung yang sama.

 

Jika kalimat di atas diketik ulang dan ditanyakan kepada Artificial Intelligence atau Meta AI, hubungan apakah yang tepat disebut untuk menggambarkan fenomena itu? Hubungan antara ‘Tuan dan Pembantu’, ataukah hubungan antara
‘Suami’ dan ‘Isteri’? Yakinlah AI akan menjawab pilihan jawaban terakhir, yakni hubungan antara ‘Suami’ dan ‘Isteri’.

 

Dalam sejarah kepemerintahan Indonesia, hubungan antara Presiden dan Wakil Presiden berjalan secara jatuh bangun, tidak selamanya mulus. Presiden Soekarno pernah didampingi wakil Mohammad Hatta. Namun, pernah beberapa lama tidak memiliki wakil. Presiden Soeharto demikian juga. Wakilnya juga pernah jatuh bangun. Presiden Habibie tidak sempat mempunyai wakil.

 

Tradisi wakil dipertegas setelah reformasi. Alasan politiknya, demokrasi bangkit kembali. Era Presiden Gusdur dan wakilnya Megawati mulai memastikan jejak Presiden dan Wakil Presiden sebagai ‘dwi tunggal’. Perkara apa yang dimaksud, diterjemahkan nanti sambil jalan. Apakah dwi tunggal akan menjadi dwi tanggal, lihat saja nanti kedepan.

 

Di tingkat daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota juga sama saja. Di awal mencari pasangan, tentu pendekatan bermacam cara. Ada yang lama dapat jodohnya, ada pula yang super cepat. Tergantung situasi, kondisi, syarat, janji, jodoh, macam-macam.

 

Dulu, sebelum reformasi, para Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak berwakil. Tunggal saja. Cukup didampingi Sekretaris Daerah. Di dalam peraturan perundang-undangan, memang seorang Sekda fungsinya membantu Kepala Daerah dengan segala tugas pemerintahan. Mulai dari keuangan, kepegawaian, administrasi umum, sampai dengan mengkordinasi kepala dinas. Apakah berjalan dengan baik? Umumnya ya.

 

Berjalan baik saja. Apakah tidak menjadi otoriter? Ya tergantung Kepala Daerahnya. Jika karakternya otoriter, kepemimpinannya akan cenderung otoriter. Ada wakil ataupun tidak ada wakil, jika karakternya otoriter, maka kepemimpinannya akan sulit bersifat demokratis.

 

Jadi, ingat saja bahwa kita sudah punya wakil. Wakil itu sebagaimana arti katanya berfungsi mewakili jika berhalangan atau diminta mewakili. Jika tidak berhalangan atau diminta mewakili, ya kerja rutin saja sesuai komitmen pembagian kerja.

 

Rasanya nyaman kalau posisi kepala daerah dan wakilnya itu bagaikan suami dan isteri. Bukan dalam makna sebenarnya tentu saja. Hanya analogi. Yang penting intinya adalah kemitraan. Memang sebagai pasangan suami isteri yang baru menikah, pasti ada yg terasa ganjil. Tunggulah barang sebentar dan bersabarlah. Semoga semua berjalan mulus. (*)

Leave a Reply