JAKARTA, LASPELA – Fendi Haryono, S.H., M.H., resmi menyandang gelar Doktor Hukum ke 245 di Universitas Trisakti. Gelar doktor diraihnya dalam Ujian Promosi Doktor Program Studi Doktor Ilmu Hukum.
Ujian Promosi Doktor tersebut digelar pada Kamis, 23 Januari 2025 yang dilaksanakan di Kampus Trisakti ini diketuai oleh Prof. Dr. Dra. Siti Nurbaiti.
Pada Ujian Promosi Doktor, Fendi Haryono berhasil meraih gelar doktor dengan hasil sangat memuaskan dan berhak menyandang Gelar Doktor dengan Judul Disertasi: Rekonstruksi Regulasi Energi Baru Terbarukan Bidang Biomassa Untuk
Menjamin Kepastian Hukum Investasi.
Adapun disertasi yang disidangkan pada Promosi Ujian Doktor Ilmu Hukum ini adalah “Rekonstruksi Regulasi Energi Baru Terbarukan Bidang Biomassa Untuk Menjamin Kepastian Hukum Investasi” dengan Co Promotor dan Penguji Dr. Wiratno.
Dalam kesempatan tersebut, Fendi Haryono mengucapkan rasa syukur karna dirinya telah menyandang gelar Doktor.
“Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi kemajuan Indonesia khususnya dibidang Hukum Investor Energi Baru Terbarukan (EBT),” ujar Fendi Haryono di Universitas Trisakti, Kamis (23/1/2025).
“Tak lupa saya ucapkan terima kasih atas kesempatan dan waktu yang diberikan kepada promovendus pada hari ini untuk menyampaikan ringkasan disertasi Indonesia adalah Negara yang memiliki keaneka-ragaman Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah, termasuk sumber daya energi,” tambahnya.
Kekayaan tersebut lanjut Fendi sebenarnya merupakan modal untuk menjadi negara besar. Namun demikian, sampai saat ini, permintaan energi di Indonesia masih didominasi oleh energi yang tidak terbarukan/energi fosil sebesar 88,8 persen sedangkan pemanfaatan EBT masih rendah atau sekitar 11,2 persen dari keseluruhan.
Dengan kondisi tersebut, ia berujar ketahanan energi Indonesia tentu menjadi sangat rentan terhadap gejolak yang terjadi di pasar global.
Fendi Haryono juga memaparkan berdasarkan perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), tanpa penemuan cadangan yang baru, minyak bumi di Indonesia akan habis dalam sembilan tahun ke depan, gas bumi akan habis 22 tahun lagi, dan batubara akan habis 65 tahun mendatang, oleh karena itu peralihan penggunaan energi fosil menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan.
Menurutnya penelitian yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), investor energi baru terbarukan (EBT) kabur dari Indonesia sejak 5 tahun terakhir dan selanjutnya berinvestasi di negara negara tetangga Indonesia, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai hal tersebut terjadi karena rendahnya daya saing Indonesia dalam menarik Investor Energi Baru Terbarukan (EBT).
Fabby menyebut investor yang masuk pada 2017 pun mayoritas keluar dari Indonesia di tahun 2020 dan selanjutnya berinvestasi di negara-negara tetangga Indonesia salah satunya Vietnam.
“Tidak dapat dipungkiri masih terdapat banyak tantangan dan hambatan bagi Investor untuk melakukan investasi EBT di Indonesia,” jelasnya.
Sementara itu, kata Fendi Haryono hasil pemeriksaan BPK RI terhadap efektivitas program peningkatan kontribusi Energi Baru dan Terbarukan dalam Bauran Energi Nasional menunjukkan masih adanya sejumlah permasalahan baik dari:
aspek kebijakan dan regulasi, aspek penyediaan data yang akurat, aspek finansial untuk pengembangan EBT bagi investor swasta, dan aspek penyediaan teknologi dan infrastruktur untuk mendukung investasi swasta di sektor EBT.
Keberadaan aturan mengenai EBT, yang dilihat belum jelas dan memadai di Indonesia, membuat ,investor ragu untuk mengambil keputusan, padahal, bisnis pembangunan dan pengembangan EBT di Indonesia, terbilang baru ada risiko tinggi di kemudian hari, yang mungkin akan ditanggung investor.
“Para investor negara maju sering mengeluh, Indonesia belum mempunyai UU yang mengatur pemanfaatan EBT, khususnya tenaga biomassa. Pengaturan setingkat permen saja tidak cukup, untuk mencegah risiko dan kerugian yang mungkin mereka hadapi di masa depan,” terangnya.
Dia menjelaskan, dari segi investasi, disharmonisasi regulasi yang diterbitkan Kementerian ESDM sendiri maupun disharmonisasi regulasi yang bersifat lintas sektoral, merupakan, salah satu faktor penghambat upaya peningkatan investasi di bidang Energi Baru dan Terbarukan.
Alhasil lanjut Fendi Haryono berdasarkan uraian di atas promovendus melakukan penelitian, dengan judul “Rekonstruksi Regulasi Energi Baru Terbarukan Bidang Biomassa Untuk Menjamin Kepastian Hukum Investasi
Perumusan Masalah di dalam disertasi ini asalah, bagaimanakah peraturan perundang-undangan, yang mengatur sektor energi baru terbarukan, bidang biomassa pada saat ini? Bagaimanakah, implementasi peraturan ,di sektor energi baru terbarukan bidang biomassa, saat ini? Bagaimana rekonstruksi regulasi di sektor energi baru terbarukan bidang biomassa, untuk menjamin, kepastian hukum investasi?
Selanjutnya saran penulis Fendi Haryono dalam disertasinya kepada pemerintah dalam menyusun UU Energi Baru dan Energi Terbarukan ini, dapat memuat beberapa materi diantaranya:
Proses transisi energi dapat dilakukan melalui pengembangan EBT dan konservasi energi, pengembangan sumber energi baru terbarukan yang berkelanjutan, penetapan wilayah pengusahaan EBT oleh pemerintah melalui perizinan berusaha, penguatan riset dan inovasi teknologi EBT untuk optimalisasi pemanfaatan EBT, dan harga keekonomian EBT yang memerhatikan kapasitas dan lokasi pengembangan.
“Sekiranya begitu saran saya kepada pemerintah dalam menyusun UU Energi Baru dan Energi Terbarukan ini. Kepada seluruh tim penguji yang terhormat dan terpelajar, demikianlah presentasi yang dapat promovendus sampaikan, atas perhatian tim penguji dan seluruh hadirin yang hadir,” tutupnya. (*)