Bambang Patijaya: Hilirisasi Jadi Daya Ungkit Bawa Indonesia Keluar dari Jebakan Negara Berpendapatan Menengah

Bambang Patijaya ketika menjadi narasumber di acara diskusi bertema ‘Masa Depan Hilirisasi Nikel di Indonesia: Penguatan Kelembagaan dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan Untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat’ di DPP Partai Golkar, Jakarta, Jumat, 25 Oktober 2024. Foto: Ist

JAKARTA, LASPELA–Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya mengungkapkan hilirisasi bisa menjadi daya ungkit Indonesia untuk terlepas dari middle income trap atau keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah, dan menuju negara maju.

Ekonomi Indonesia bisa bertumbuh 8 persen dari hilirisasi, asalkan beberapa persyaratan bisa dipatuhi dan dipenuhi.

Salah satunya berupa harus hadirnya industri manufaktur di hilirisasi lanjutan.

Tokoh politik nasional asal Bangka Belitung yang di DPR RI periode 2024-2029 ini, tak mau program hilirisasi hanya sekadar hilirisasi yang berhenti di tahapan pertama saja.

Hal demikian, disampaikan Bambang Patijaya ketika menjadi narasumber di acara diskusi bertema ‘Masa Depan Hilirisasi Nikel di Indonesia: Penguatan Kelembagaan dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan Untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat’ di DPP Partai Golkar, Jakarta, Jumat, 25 Oktober 2024.

“Kita ingin menjadi negara maju. Kita perlu mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen untuk keluar dari zona middle income trap. Jadi, daya ungkit di dalam menuju itu salah satunya kita lakukan hilirisasi. Ini memberikan berkali lipat manfaat ekonomi,” ujar Bambang Patijaya.

Manfaat sepenuhnya dari hilirisasi itu bisa terjadi, menurut BPJ kalau diikuti oleh investasi lanjutan. Tidak boleh lagi terjadi hanya ekspor komoditas saja.

Indonesia harus ekspor produk jadi atau setengah jadi. Industri manufaktur harus bertumbuh.

Bila hilirisasi lanjutan melalui bertumbuhnya industri manufaktur itu terjadi, maka lanjut BPJ, akan menciptakan circular economy.

“Akan tercipta peluang-peluang ekonomi lainnya, lapangan pekerjaan, investasi dan sebagainya. Terjadinya circular economy,” ujar dia.

Sehingga, menurut politisi asal Dapil Bangka Belitung ini, tidak ada lagi cerita kalau hilirisasi nikel hanya berupa ekspor produk komoditas berupa ore atau bahan mentah saja.

Sebagai contoh, dia menyebutkan ekspor produk nickel pig iron atau NPI yang kandungan nikelnya hanya 5 persen saja. Padahal, di dalam NPI kandungan mineral ikutannya yang justru lebih banyak. “Di situ ada cobalt, ada magnesium, ada silica. Ada semuanya, karena itu sifatnya gelondongan,” ujar dia.

Fenomena yang sama, menurut BPJ juga terjadi pada produk feronickel.

“Bahkan pada bursa komoditas di Shanghai, feronickel ini jackpot. Karena beli nikel, jackpot-nya mineral yang lain,” lanjut BPJ.

Karena itu, ketika pemerintah telah menetapkan ada 26 mineral kritis dan strategis yang salah satunya termasuk nikel, BPJ menegaskan harus diikuti dengan blue print-nya produk ini harus jelas.

“Barang ini jumlahnya terbatas. Sebelum habis, nilai tambahnya harus jelas. Regulasi harus link and match dengan kebutuhan industri,” demikian kata Bambang Patijaya. (*)