PANGKALPINANG, LASPELA – Sandra Aulia, ahli yang dihadirkan pemohon Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024 di sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan kritik keras terhadap kebijakan batas tarif minimum Pajak Barang dan/atau Jasa (PBJT) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Dikutib dari laman MK, Dosen Program Studi Akuntansi Universitas Indonesia (UI) ini menilai, sebagaimana pasal yang diuji para Pemohon berpotensi menimbulkan efek domino hingga menyebabkan bertambahnya pengangguran. “Efek dominonya akan banyak multiplier effect-nya (efek berganda), misalnya penjualannya berkurang tapi beban-beban yang harus ditanggung tetap ada,” terang Sandra di hadapan delapan hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
“Misalnya kalau kita break down, di-fix cost, variable cost itu tetap harus ditanggung. Fix cost kita kurangi karena penjualan berkurang sehingga ketika fix cost-nya dikurangi ya berarti ketika punya karyawan, karyawannya di-layoff (pemutusan hubungan kerja karyawan) gitu, sehingga efeknya adalah ya mungkin kita akan menyumbang pengangguran kalau dari sisi multiplier effect,” ujar Sandra.
Sandra melanjutkan, ketika variable cost-nya yang berkurang, maka multiplier effect-nya berpengaruh terhadap rantai pasok seperti rempah-rempah yang digunakan dalam usaha SPA. Sehingga, menurut dia, dengan pengenaan tarif pajak terendah 40 persen, maka multiplier effect yang ditimbulkan dapat lebih dari 40 persen.
Sandra juga mempertanyakan dasar atas pengelompokkan dan tarif yang dikenakan. Menurutnya, kebijakan pengenaan tarif PBJT terhadap jasa hiburan tidak melibatkan partisipasi masyarakat, stakeholder, serta mengabaikan prinsip-prinsip kebijakan publik atau kebijakan pajak yang baik, termasuk juga tanpa adanya sinkronisasi kebijakan daerah yang optimal, fungsi pajak sebagai sosial, politik, dan ekonomi teknik, serta justifikasi penerapan asas keadilan/netralitas.
Dengan demikian, Sandra merekomendasikan agar kebijakan PBJT atas hiburan perlu dikaji kembali dasar penetapan tarifnya dengan melibatkan stakeholders terkait dan didukung dengan naskah akademik melalui kajian analisis terhadap implikasinya atas kehidupan masyarakat dan negara.
Selain itu, Sandra menuturkan kategorisasi dan ketidaksesuaian pemungutan PBJT atas jasa hiburan karena SPA termasuk jenis pelayanan kesehatan yang tradisional yang diatur Undang-Undang Kesehatan sehingga kebijakan dan regulasi PBJT atas SPA perlu diselaraskan dengan kebijakan lainnya. Kemudian, kebijakan pemungutan perpajakan atas jasa hiburan perlu dirumuskan secara komprehensif holistik dan imparsial dengan mempertimbangkan multiplier effect, baik secara ekonomi maupun sosial.
Sedangkan Ahli Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan berpendapat, Pasal 58 ayat (2) UU HKPD terkait penetapan tarif PBJT terhadap lima jasa hiburan telah mencederai konstitusi dan juga melemahkan otonomi daerah yang menjadi reformasi sehingga layak dibatalkan oleh MK. Sementara, pemberian insentif fiskal yang diatur Pasal 101 UU HKPD pada praktiknya dengan prosedur berbelit-belit sehingga dianggap tidak akan banyak membantu kepala daerah dalam mewujudkan pajak daerah yang berkeadilan.
“Karena itu, mohon kiranya MK dapat membatalkan dan menyatakannya tidak mengikat,” tutur Djohermansyah. Selanjutnya keterangan para ahli diperkuat dengan keterangan saksi.(mja)