BELITUNG, LASPELA — Masyarakat Air Gede, Kecematan Membalong melakukan aksi “Bebaskan 11 Pejuang Membalong dan Hukum PT Foresta si Perampas Tanah Rakyat” atas dasar protes penangkapan 11 warga akibat bersinggungan dengan perlakuan PT Foresta Lestari Dwikarya, kemarin (01/11/2023).
28 tahun masyarakat di Kecamatan Membalong, terkhusus di Dusun Air Gede diam atas penderitaan yang mesti ditanggung dari keberadaan dan perlakuan PT Foresta Lestari Dwikarya. Namun sekali bergerak menuntut PT Foresta, 11 pejuang dari masyarakat Membalong (10 dari Desa Kembiri dan 1 dari Desa Perpat) malah ditimpa proses kriminalisasi oleh perusahaan, yang kemudian diproses oleh Kepolisian Resor Kabupaten Belitung dan Kepolisian Daerah Provinsi Bangka Belitung. Terhitung sejak 24 Agustus 2023, penangkapan dan penahanan dilakukan secara kilat, cacat prosedural, dan dan mengandung kekerasan oleh Polres Belitung. Dengan kecepatan proses hukum yang terburu-buru juga, Polda Babel mengambil alih kasus dengan mengirim 11 pejuang tersebut ke Rutan Mapolda Babel.
Berdasarkan keterangan dan pengakuan para petani yang kini lahan garapannya diduduki oleh PT Foresta, pembukaan lahan oleh perusahaan tersebut melibatkan ancaman, intimidasi, dan penggusuran tanpa kompensasi terhadap para petani tersebut. Selanjutnya mereka mengadakan penanaman secara berkala di 7 desa (Kembiri, Simpang Rusa, Lasar, Cerucuk, Membalong, Perpat dan Perawas) dari tahun 1995 – 1998, dimana proses itu dapat diduga terjadi lebih dulu daripada penerbitan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang dikeluarkan Bupati Belitung pada 2003 dan Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan Kementerian Alokasi Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), yaitu HGU 06 tahun 2001 dan HGU 07 tahun 2005.
Pada akhirnya terungkap oleh masyarakat, bahwa perusahaan telah merambah hutan lindung di Perpat dan Simpang Rusa, lahan pribadi 17 warga yang dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Perpat.
Tidak mengherankan apabila terdapat perbedaan jumlah luasan yang cukup timpang antara IUP sebesar 12.232,24 ha dengan data HGU seluas 11,337,58 ha, yang selisihnya mampu diperkirakan berasal dari lahan di luar hak perusahaan.
Kecurigaan menguat, bahwa mulanya PT Foresta tidak memiliki legal standing, kecuali relasi kuasa dengan pemerintah kala itu untuk memanipulasi aturan hukum dan mengakali masyarakat. Ibarat asal ayam pulang ke lumbung, asal itik pulang ke pelimbahan, PT Foresta yang sedari awal menduduki tanah Membalong dengan cara represif, pada gilirannya perusahaan tersebut juga menunjukkan wataknya yang rakus dan pelit terhadap kepentingan masyarakat.
Wakil Korlap dalam aksi Gede Never Die, Ricky Kuswanda, menyebut PT Foresta mangkir dari kewajiban pemenuhan plasma 20 persen; melanggar komitmen yang tertera di dalam Analisis Dampak Lingkungan Hidup senilai Rp41.280.000 per tahun untuk memajukan peradaban masyarakat sekitar, misalnya, sektor pendidikan; subsidi obat-obatan; bantuan sosial pembangunan desa; dan Corporate Social Responsibility (CSR) di seluruh desa terdampak.
“Kekeliruan sikap dan kepasifan peranan kunci dari pemerintah dan wakil rakyat tidak berarti tanpa konsekuensi. Ialah krisis kepercayaan sebagai efek tidak langsung bagi masyarakat Membalong atas nasib dan masa depannya. Dengan demikian, tidak mengherankan jika masyarakat mengandalkan agensi massa sebagai kekuatan utama untuk menuntut hak-haknya, ” ujarnya, dalam siaran pers yang diterima negerilaskarpelangi.com.
Sebelumnya, terjadi aksi-aksi demonstrasi yang berkelanjutan mulai dari 5 Juli 2023, yang mana sedikit demi sedikit memperbesar peluang kemenangan masyarakat Membalong, misalnya, keterungkapan fakta-fakta sebagaimana dijelaskan di atas. Namun, kemarahan massa yang putus asa dan jenuh menghadapi situasi tanpa keadilan dari pemerintah dan “wakil rakyat” untuk segera memenuhi tuntutan masyarakat pada 16 Agustus 2023 mengakibatkan perusakan aset yang tak terhindarkan. Masyarakat semakin tersudutkan setelah perusahaan dan pihak kepolisian lebih memilih cara represif dengan mengkriminalisasi 11 pejuang masyarakat Membalong.
“PT Foresta abai untuk menjaga pelestarian alam dan lingkungan, dimana daerah aliran sungai di Desa Kembiri terdampak limbah perusahaan. Selain itu, saluran irigasi di seluruh desa terdampak mengalami luapan ke sawah-sawah petani akibat penahanan serapan DAS. Terlebih jika memasuki musim kemarau, karena perusahaan tersebut membutuhkan pasokan air yang melimpah untuk dialiri ke seluruh luasan lahan yang dimanfaatkan, imbasnya kepada masyarakat ialah kekeringan,” tambah Ricky.
Sinyal kecurangan yang mengarah pada pola sistematis terkait monopoli bisnis perkebunan kelapa sawit oleh PT Foresta menjadi catatan penting bagi pemerintah, bahwa fungsi pengawasan dan distribusi keadilan kepada lapisan sosial paling lemah, yakni masyarakat yang tidak memiliki akses langsung ke dalam kekuasaan dan kebijakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Karena ketidakadilan yang semakin tidak karuan dan minimnya keberpihakan pemerintah, wakil rakyat, dan aparat penegak hukum, Air Gede Never Die menyatakan sikap.
Pertama, ditujukan kepada Polres Belitung, masyarakat mendesak untuk membebaskan 11 pejuang Membalong atas nama kawan Martoni, Sonika, Zulkifli, Arto, Resiman, Handi, Aruni, Andrin, Salman, Taupik, dan Romelan melalui cara mediasi dengan perusahaan, agar pihak terkait mencabut laporan pengaduannya.
Pihaknya juga mendesak pihak kepolisian segera menindaklanjuti laporan pengaduan perihal 7 Sertifikat Hak Milik yang diserobot oleh PT Foresta secara transparan dan berkeadilan.
Sementara untuk Kejaksanaan Negeri Belitung, massa mendesak untuk membatalkan tahapan P-21, kemudian menolak berkas-berkas penyidikan yang telah dilimpahkan kepolisian; dan mendesak untuk ikut terlibat dalam upaya mencari jalan perdamaian mengenai konflik ini, sebagaimana yang dapat dilakukan oleh pihak kejaksaan. (yak/rls)