News, Opini  

Capres Tak Lebih dari Dealer Politik

Oleh : Saifuddin

FORUM Dosen Indonesia
Direktur Eksekutif Centrum Arete Institute
Penulis buku Politik Tanpa Identitas
Penulis Obituari Demokrasi
________________________

 

Kontekstasi politik nasional tahun 2024 suhunya semakin panas. Media sosial seakan menjadi tolak ukur siapa yang seharusnya dan sepantasnya harus menjadi pilihan politik rakyat. Pemilu 2019 seakan menyisakan dendam yang panjang bagi kubu yang berseberangan di Pemilu 2019, walau pada akhirnya Koalisi Merah Putih di barisan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno kini menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi yang sempat menjadi rivalitasnya. Bergabungnya Prabowo dan Sandiaga Uno di kabinet kerja Jokowi oleh sebagian orang menganggap sebagai penghianatan bagi kubu oposisi yang di dominasi dari kelompok islam seperti FPI, HTI dan kelompok-kelompok yang anti pemrintahan Jokowi. Fenomena ini kemudian Prabowo mengalami distrust di kalangan sebagian kelompok islam.

Prasangka politik ini kemudian berlanjut kepada sosok Anies Baswedan (Mantan Gubernur DKI) setelah Nasdem melalui ketua umumnya Surya Paloh mengumumkannya sebagai Capres 2024 mendatang pada tanggal 3 oktober 2022 yang lalu. Tiada yang menyangka Nasdem dengan lugas melakukan langkah politik yang berani—disaat kelompok tertentu termasuk rezim berkuasa tidak menyukai sosok Anies Baswedan. Pasca pengumuman tersebut menyita perhatian publik dan membuat shock politik di kalangan elit. Berbagai carapun dilakukan untuk menjegal Anies Baswedan dengan melibatkan institusi negara seperti KPK untuk mentersangkakannya di Formula E. Dan ini pun mendapat perlawanan dari berbagai elemen publik untuk menjaga nama besar dan ketokohan Anies Baswedan.

Sikap politik Nasdem pada akhirnya memunculkan berbagai spekulasi istana agar terjadi resuffle, karena Nasdem dianggap beroposisi dan tidak lagi sejalan dengan pemerintahan Jokowi. Bahkan isu resuffle muncul dari politisi PDIP Saiful Djarot yang mendorong agar pemerintahan Jokowi segera melakukan resuffle terhadap menteri-menteri yang berasal dari Nasdem karena dianggap tidak bisa lagi diajak berkomitment dalam pemerintahan. Jokowi mengalami dilematis ; sebab resuffle itu adalah hak prerogatif presiden dan itu dijamin oleh undang-undang, sementara di pihak yang lain Jokowi adalah bagian dari PDIP (dianggap sebagai petugas partai).

Spekulasi pun mulai berkeliaran dan berkelindan diruang publik setelah Johnny G Plate (Sekjen Nasdem) yang kebetulan Menteri Kominfo RI menjadi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan sinyal 4G untuk masyarakatdi wilayah terdepan, terluar dan tertinggal BTS G4 dengan kerugian negara sebesar 8 Trilyun. Peristiwa ini kemudian menciptakan berbagai opini publik. Ada yang bilang ini adalah skenario untuk menghantam Nasdem, atau satu alasan untuk melakukan resuffle yang selama ini bergulir. Apakah ini petanda rezim menyisikan rivalitas politiknya—semua menjadi tanda tanya. Terkesan ini rintangan Nasdem untuk mencalonkan Anies Baswedan walau PKS dan Demokrat juga sudah memproklamasikannya. Sehingga persepsi publik Anies Baswedan dianggap sebagai endorsment partai politik—lebih santunnya disebut sebagai dealer politik. Atau sebaliknya partai pendukung numpang ketenaran dari nama besar dan ketokohan Anies Baswedan. Ini bisa disebut sebagai political speculation of forces.

Bagaimana dengan Ganjar Pranomo?

Sebagian publik juga penasaran menanti siapa yang bakal di usung oleh Partai Moncong Putih. Berbagai spekulasi juga muncul antara puteri mahkota Puan Maharani atau Ganjar Pranomo (Gubernur Jateng). Apakah Megawati Soekarnoputeri akan memilih kader ideologisnya atau faktor biologisnya. Para pengamat menanti bahwa peta politik sangat mungkin berubah setelah PDIP mengumumukan capresnya 2024 mendatang.

21 April 2023 yang bertepatan Hari Kartini—Megawati Soekarnoputeri mengumumkan Ganjar Pranomo sebagai Capres dari PDIP. Peta politik pun berubah, sebab PDIP sebagai pemenang Pemilu 2019 (Partai penguasa) tidak membutuhkan koalisi untuk mencalonkan capresnya. Tetapi bagi Megawati Soekarnoputeri tetap memandang Ganjar Pranomo sebagai petugas partai sama seperti Jokowi yang disetiap kesempatan selalu menyebutkan bahwa Jokowi adalah petugas partai, tanpa PDIP Jokowi tak bisa apa-apa. Kalimat ini sesungguhnya bukan hanya merendahkan posisi Jokowi sebagai presiden tetapi juga merendahkan martabat PDIP sebagai institusional. Karena figur sentral PDIP memang terletak di Megawati Soekarnoputeri yang juga sebagai ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Dari tinjauan sosial dapat ditarik benang merahnya kalau kedua sosok capres ini baik Anies Baswedan maupun Ganjar Pranomo tak lebih sebagai dealer politik bukan leader politik. Asumsinya sederhana dengan membaca fakta-fakta tersebut diatas. Anies Baswedan di berbagai kesempatan dalam hal ini safari politiknya—selalu membawa nama besar Koalisi Perubahan yakni Partai Nasdem, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu artinya suara dan keterwakilan politiknya masih di dominasi oleh partai-partai pendukungnya.

Begitu pula dengan Ganjar Pranomo sebagai petugas partai. Terminologi petugas ; mengandung makna ketidak-bebasan, keterkungkungan, serta kepatuhan dan ketundukan kepada atasan secara mutlak. Sehingga posisi Ganjar pun cendrung mengalami terbatasi dengan tugas yang diberikannya tanpa harus melampaui kebijakan dari pimpinan atau atasan dalam hal ini ketua umum partai. Keterbatasan Ganjar pada akhirnya membuatnya juga tampil sebagai dealer politik. Tak bisa berbuat banyak karena kontrol politik dari partai pendukungnya demikian besar, sehingga Ganjar hanya mampu mengerjakan apa yang diinginkan atasannya—bukan karena yang diinginkan oleh publik atas ketokohannya. Sangat dilematis.

Dealer politik adalah model Partycarcy yang pernah berlangsung di Spanyol tahun 1950-an, walau pada akhirnya sistem ini dianggap cacat dan gagal. Model Partycracy adalah sistem yang di dominasi oleh partai politik. Posisi ketua dalam partai politik begitu kuat, memiliki hak prerogativ untuk melakukan/bertindak atas nama partai. Fenomena ini sepertinya akan berlangsung di kontekstasi Pemilu 2024 dalam Pilpres. Bukan figur yang memiliki posisi baegaining tetapi partai politik lah yang menentukan. Figur akan terdepak keluar ketika ia tidak patuh pada kebijakan partai. Sehingga Anies Baswedan dan Ganjar Pranomo seperti telur di ujung tanduk—peluang untuk jatuh lebih besar ketimbang tetap bertahan.

Karena itu setidaknya Pemilu 2024 dijadikan momentum dalam menemukan jati diri bangsa atas lahirnya pemimpin secara demokratis. Pemimpin diberikan ruang secara lebar untuk berkontekstasi ide, gagasan ,pikiran tanpa harus ter-patron klien dari partai politik. Hegemoni partai politik minimal diminimalisir untuk memperkecil ketergantungan pemimpin yang di hasilkan dalam proses Pemilu. Sehingga siapa pun yang menjadi presiden 2024 mendatang mereka adalah pilihan rakyat bukan klaim partai politik secara berlebihan. Sekaligus menghindari keterbelahan civil society sebagaimana Pemilu 2019 yang lalu.

Dealer No. Leader Yes.

Penulis, Saifuddin
Direktur Eksekutif Centrum Arete Institute
Penulis buku Politik Tanpa Identitas
Penulis Obituari Demokrasi