“Surga berada di bawah telapak kaki ibu.” (HR. Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah)
Kalimat ini bukan sekadar untaian hadis populer, melainkan fondasi teologis dan psikologis yang dalam. Ia menegaskan bahwa peran ibu tidak hanya bersifat biologis, tetapi juga spiritual-eksistensial. Dalam perspektif komunikasi Islam, ibu adalah mursyidah al-awwalah — komunikator pertama yang menanamkan nilai, membentuk jiwa, dan mengarahkan fitrah anak agar tetap dalam cahaya iman.
Ibu dan Kasih yang Menembus Kutukan
Apakah Anda mengenal tokoh Maleficent? Sosok yang digambarkan keras, dingin, dan menakutkan — tetapi ternyata memiliki cinta yang mampu melunturkan kutukan. Gambaran itu seringkali tepat bagi banyak ibu: tampak galak, tegas, dan kadang menakutkan, tetapi justru di balik “ketegasan” itu bersemayam cinta yang mushlihah (memperbaiki). Demikian pula ibu saya. Ia tidak selalu lembut dalam kata, tapi setiap tegurannya adalah bentuk kasih yang menyelamatkan. Ia tidak selalu tersenyum, tetapi setiap amarahnya adalah doa agar saya kembali pada jalan yang benar. Seperti Maleficent yang mencabut kutukan dengan kasih, ibu mampu menyembuhkan luka jiwa — bahkan yang tidak terlihat mata.
Krisis Emosional Generasi Muda
Kita hidup di zaman yang oleh para sosiolog disebut sebagai era post-truth dan over-stimulation, di mana generasi muda — khususnya Gen Z dan Generasi Strawberry — mengalami tekanan psikologis berlapis. Mereka hidup dalam pusaran teknologi, narsisisme digital, dan keletihan emosional.
Riset Indonesia Gen Z Report 2024 menunjukkan bahwa:
– Sekitar 58% Gen Z Indonesia mengaku mudah merasa cemas dan kehilangan arah hidup.
– Lebih dari 1 dari 5 remaja (21,2%) menunjukkan gejala depresi sedang hingga berat.
– 3 dari 5 anak muda mengaku sulit tidur karena beban pikiran dan tekanan sosial.
Psikologi modern menyebut ini sebagai emotional dysregulation — ketidakmampuan menyeimbangkan emosi akibat minimnya kelekatan (attachment) dan empati dalam keluarga. Padahal dalam pandangan Islam, kelekatan itu adalah bagian dari rahmah — kasih sayang yang berakar dari nama Allah, Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Komunikasi Ibu sebagai Ruang Tumbuh Psikologis
Dalam ilmu komunikasi Islam, keluarga disebut madrasah al-ula — sekolah pertama bagi anak. Di dalamnya, ibu menjadi mursalah ar-rahmah, pembawa pesan kasih yang paling otentik. Ibu bukan sekadar komunikator, tetapi mediator spiritual antara dunia anak dan nilai-nilai ilahiah. Ia mengajarkan dengan bahasa hati (communication of the heart) yang disebut al-tafahum wa al-ta‘atuf — komunikasi empatik yang menumbuhkan rasa aman dan keberhargaan diri. Psikologi komunikasi menjelaskan, kehadiran ibu yang penuh kasih dapat menurunkan kadar hormon stres (kortisol) dan meningkatkan hormon oksitosin yang berhubungan dengan perasaan nyaman, tenang, dan bahagia. Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan ibu sebagai sosok yang penuh rahmah (QS. Al-Isra: 24).
Ibu Sebagai ICU Spiritual Generasi
Bila rumah sakit memiliki ICU (Intensive Care Unit) untuk menyelamatkan nyawa dari kematian fisik, maka kasih ibu adalah ICU rohani yang menjaga anak dari “koma spiritual”. Di saat anak kehilangan arah, ketika semangatnya runtuh, ibu adalah yang pertama memberi napas harapan. Ia menatap bukan dengan penilaian, tapi dengan pengampunan. Ia menegur bukan untuk menjatuhkan, tetapi mengembalikan kesadaran.
Secara psikologis, hubungan positif dengan ibu terbukti menurunkan risiko depresi hingga 35% pada remaja (Journal of Family Psychology, 2023). Dalam konteks Islam, peran ini disebut al-ri‘ayah al-nafsiyyah — perawatan jiwa, yang merupakan bagian dari maqasid al-syari‘ah: menjaga akal, jiwa, dan keturunan (hifzal-nafs wa al-nasl).
Dimensi Ilmiah: Sinergi Komunikasi dan Psikologi Islam
Dalam kerangka Komunikasi Islam, fungsi ibu mencakup tiga lapisan:
1. Al-Tawsil al-Ruhani – komunikasi spiritual yang menanamkan tauhid, sabar, syukur, dan ridha.
2. Al-Tafahum al-Insani – komunikasi empatik yang mengajarkan anak memahami dan menghargai diri serta orang lain.
3. Al-Ta‘lim wa al-Tarbiyah – komunikasi edukatif yang menuntun perilaku dan moral anak sesuai fitrah.
Dari sudut Psikologi Islam, ketiganya melahirkan konsep al-sakinah al-‘atifiyyah (ketenangan emosional). Inilah energi penyembuh luka batin generasi muda — karena banyak dari mereka sesungguhnya tidak kekurangan gadget, tetapi kekurangan pelukan.
Menghadirkan Ibu di Tengah Krisis Zaman
Di tengah budaya serba instan dan ketergantungan digital, kehadiran ibu bukan sekadar fisik. Kehadiran yang dimaksud adalah kehadiran emosional dan spiritual: mendengar tanpa menghakimi, menasihati dengan kelembutan, dan mendidik dengan doa.
Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh sahabat: “Siapakah yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?”
Beliau menjawab: “Ibumu.”
“Lalu siapa lagi?” “Ibumu.”
“Lalu siapa lagi?” “Ibumu.”
“Lalu siapa lagi?” “Barulah ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tiga kali Nabi menyebut ibu, karena tiga kali pula kasih ibu menjadi perisai bagi jiwa manusia — sejak rahim, masa kecil, hingga dewasa.
Ibu adalah simbol kasih Ilahi yang hadir dalam bentuk manusia. Kasihnya bisa melunturkan “kutukan” zaman — depresi, kehilangan makna, kesepian digital, dan krisis identitas. Ia adalah madrasah kehidupan, ICU spiritual, dan cermin kasih Allah di dunia. Maka, ketika dunia terasa bising, kembalilah kepada ibu. Karena di balik ketegasannya, tersimpan doa yang tak pernah padam. Dan di balik cintanya, ada penyembuhan yang tak dimiliki obat manapun.
“Ridha Allah terletak pada ridha orang tua, dan murka Allah terletak pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi)



Leave a Reply