SALAH satu janji politik sekaligus jadi agenda serius rezim pemerintahan Prabowo-Gibran, selain membereskan sengkarut bisnis ekonomi ‘bawah tanah’ skala besar yang banyak memicu ‘kebocoran’ negara– yaitu juga sedang berupaya membongkar berbagai praktik korupsi yang dianggap telah menggerogoti banyak anggaran ‘duit’ rakyat melalui APBN maupun APBD. Korupsi tentunya bukan sekedar problem penyimpangan, melainkan juga bagian dari penyakit moral kronis yang bisa mengjangkiti siapa saja yang sedang berkuasa sehingga bisa jumawa dan lupa diri melanggar amanah janji sumpah mereka sebagai pejabat publik. Hal ini sebenarnya sudah pernah diingatkan sejak lama oleh seorang ilmuwan sejarah terkemuka dari Universitas Cambridge sejak abad ke-19 Lord Acton (1833-1902) bahwa yang namanya kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang tanpa batas itu akan korup secara tanpa batas juga. Dari adagium tersebut jelas sekali yang namanya kekuasaan akan selalu berpotensi tinggi melakukan korupsi, terlebih jika tidak diawasi secara memadai. Oleh karena itu, tentu ini menjadi peringatan keras bagi setiap pejabat ataupun siapapun aparatus negara yang memegang amanah dan harusnya sepenuh hati mengabdi demi melayani rakyat, jangan pernah ‘main-main’ dan tidak serampangan menggunakan anggaran ‘duit rakyat’ dari hasil dari keringat mereka membayar pajak.
Mobilitas penegakan hukum yang begitu masif dan diorkestrasi secara serentak di berbagai provinsi dan kabupaten/ kota seluruh Indonesia sebenarnya bisa dimaknai sebagai bagian dari komitmen hukum (lihat: Setkab RI, 15/10/2025) rezim pemerintahan Prabowo-Gibran yang hendak pelan-pelan merekonfigurasi ulang praktik tata kelola pemerintahan yang benar-benar bersih dari korupsi, dan bisa dipercaya publik. Pihak Kejaksaan Agung RI dengan berbagai lapis struktural birokratisnya menjadi ujung tombak yang paling nampak dalam upaya rezim pemerintahan ini menegakkan berbagai tindak pidana korupsi, sekaligus pada saat bersamaan berupaya membangun kepercayaan publik yang terus menurun akibat apatisme publik terkait pemberantasan korupsi pada beberapa tahun terakhir ini.
Berbagai upaya pengungkapan kasus hukum oleh pihak Kejaksaan Tinggi Negeri (Kejari) terkait ragam tindak pidana korupsi, mulai dari praktik suap dalam pemberian konsesi perizinan ekstraktif skala industrial oleh pejabat daerah, hingga yang terbaru yaitu adanya indikasi korupsi dalam kasus dana hibah KONI di sejumlah di Indonesia, termasuk juga di lingkungan kabupaten/kota di Kepulauan Bangka Belitung merupakan bagian dari ikhtiar serius sekaligus komitmen moral para aparat penegak hukum, khususnya di lingkungan Kejaksaan RI. Bagaimanapun juga, inilah sebagai upaya menjaga konsistensi marwah institusi penegak hukum Kejaksaan dari yang sebelumnya sempat jatuh dan terpuruk, lalu beberapa tahun belakangan mulai naik drastis, bahkan pada 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran awal tahun ini tercatat oleh hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebagai bagian institusi penegak hukum paling dipercaya publik (lihat: Harian Kompas, 9/22025). Konteks ini tentunya perlu diapresiasi dan disyukuri bersama.
Arena Korupsi Dana Hibah
Kasus korupsi dalam penggunaan dana hibah memang bukan isu baru, namun telah lama menjadi bahan ‘bancakan korupsi’ sejak lama. Temuan hasil riset lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2024 lalu bahkan mengungkapkan bahwa pemberian dana hibah pemerintah menjadi salah satu modus penggelapan uang negara yang paling banyak ditemukan. Konteks penyimpangan tersebut acapkali berlangsung berdekatan dengan momentum menjelang Pilkada. Nah, mereka yang terlibat biasanya bagian dari jejaring tim sukses bersama broker pemenangan pasangan kepala daerah. Dalam gejala korupsi dana hibah biasanya lumrah terjadi praktik ‘berbagi rente’ antara kepala daerah, kepala dinas, pihak anggota dewan, dan kontraktor atau pengusaha.
Pada tahun 2010, ditemukan korupsi dana hibah hingga Rp40 miliar di lingkungan KONI Bangka Selatan yang sudah menjerat para oknum pengurus KONI (lihat: Bangka Pos, 2010). Lalu, baru-baru ini kembali muncul kasus yang sudah naik dalam tahap penyidikan terkait korupsi miliaran rupiah Dana Hibah KONI Bangka Selatan tahun anggaran 2023. Sementara itu, baru-baru ini kasus korupsi dana hibah yang menjerat Ketua KONI Belitung dalam kurun waktu 2016-2020 telah divonis 5 tahun penjara. Kemudian, kasus lainnya yaitu kasus dugaan korupsi Dana Hibah KONI Bangka Barat tahun anggaran 2020-2024 (lihat: Laspela, 26/11) yang sebelumnya juga sempat diproses Penyidik Tipidkor Ditreskrimsus Polda Bangka Belitung, dan yang terbaru yaitu adanya dugaan kasus korupsi dan penggelembungan Dana Hibah KONI Tahun Anggaran 2023-2024 Kota Pangkalpinang yang tentunya ini semakin menambah daftar panjang betapa lembaga KONI kita di daerah ternyata sebegitu rawannya jadi arena berlangsungnya praktik korupsi.
Korupsi dan Kembalinya Uang Negara.
Berdasarkan UU No.31 Tahun 1999 jo.UU No.20 Tahun 2001, korupsi dimaknai sebagai perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, sekaligus merugikan keuangan negara. Namun, dalam praktik peradilan muncul kondisi dilematisnya yaitu ketika unsur ‘menguntungkan atau memperkaya diri’ sulit dibuktikan, hakim acapkali menyandarkan putusannya berdasarkan perhitungan ‘kerugian keuangan negara’. Di sinilah kemudian persoalannya karena tidak jarang terjadi perbedaan signifikan dalam penghitungan kerugian negara antara BPKP, Jaksa Penuntut Umum, dan pihak Inspektorat. Hal ini misalnya pernah terjadi dalam tiga kasus perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Pertanyaannya: dengan dasar apa hakim memilih satu angka di antara perhitungan yang berbeda-beda tersebut? ketiadaan standar objektif ini bisa menciptakan ruang spekulatif yang berbahaya, bukan hanya sekedar membuat terdakwa merasa terzalimi atau justru diuntungkan, tetapi juga berpotensi menghasillkan putusan yang tidak adil dalam penentuan besaran uang pengganti yang harus dikembalikan. Inkonsistensi metodologis ini bisa berpotensi ‘melukai rasa keadilan’, menggerogoti kepastian hukum dan kredibilitas sistem peradilan korupsi kita, atau justru tidak kembalinya uang negara yang sudah dikorupsi tersebut.
Semoga berbagai ikhtiar dan orkestrasi pengungkapan praktik korupsi akhir-akhir ini tidak sekedar dramaturgi politik hukum kita dalam jangka pendek. Bagaimanapun juga, penegakan hukum korupsi kita mesti selalu berpegang serius pada dua komitmen moral: pertama, memutus secara struktural mata rantai sistemik korupsi anggaran daerah, jadi tidak sekedar bersemangat menghukum individu-individu, tapi bisa memberikan efek jera dan pengingat bagi siapapun yang memegang amanah publik rakyat; Kedua, yang tak kalah krusialnya yaitu bagaimana caranya mengembalikan uang negara yang dikorupsi tersebut agar kembali ke kas negara, terlebih di tengah membengkaknya defisit anggaran dan hutang negara akhir-akhir ini. (*)


Leave a Reply