Begitu banyak orang yang memimpin sehingga disebut pimpinan dalam ruang lingkup kecil ataupun besar. Pastinya mereka adalah orang-orang terpilih karena ada syarat-syarat tertentu untuk menjadi pimpinan.
Artinya tidak semua orang bisa menjadi pimpinan apalagi pemimpin. Pimpinan maksudnya kepala kantor atau yang mengepalai lembaga atau instansi tertentu.
Seseorang yang diangkat sebagai pimpinan karena ia dinilai memenuhi kualifikasi tertentu dan dipertimbangkan mampu memimpin–mengendalikan sebuah lembaga, baik formal maupun non-formal, seperti kepala sekolah, pimpinan perusahaan dan semacamnya.
Selain pengalaman, syarat-syarat administratif dianggap penting. Jabatan pimpinan ditetapkan kepada seseorang secara periodik dan dibatasi waktu.
Setelah ditetapkan sebagai pimpinan, seseorang dituntut menjaga amanah yang dipertanggungjawabkan kepadanya. Seabrek pekerjaan mesti diselesaikan.
Kepemimpinan yang dipegang tidak semata-mata jabatan yang dibanggakan. Boleh saja hal itu sebagai prestise karena orang-orang pilihan dan terpilih yang sandang.
Ingat, jabatan itu tidak lama apalagi yang agak politis, bisa jadi sekejap disebabkan oleh suatu hal, baik sengaja ataupun tidak sengaja. Sesama rekan kerja pun bisa saling mengusik bahkan menjerumuskan.
Sekedar memimpin dan atau memimpin sekedarnya tidaklah diinginkan karena hal tersebut tak akan memberi bekas kepada para bawahan.
Kalaulah sebatas untuk keterpenuhan syarat administratif, maka hal yang demikian itu sangatlah mudah. Namun apapun bentuk dan gaya serta pola kepemimpinan setiap orang, yang terpenting memenuhi dua hal, yaitu: pertama, niat baik ( shahiihun fin-Niyyah); kedua, shahiihun fit-Tahshiil ( baik proses atau pencapaiannya).
Selanjutnya langkah strategis harus dilakukan sebagai bentuk realisasi ide-ide besar yang mengacu pada visi dan misi kepemimpinan. Aspek pengakuan atas kepemimpinan seseorang adalah yang utama.
Ketika jabatan pimpinan bersifat formal, bersentuhan dengan administratif perkantoran, maka tidak demikian dengan pemimpin. Ia tidaklah formal, melekat kepadanya aspek moral dan juga spiritual keagamaan.
Maka dari itu tidak heran bila pemimpin lebih tinggi “kelas”nya daripada pimpinan. Hubungan pimpinan dan bawahan bersifat normatif, namun berbeda dengan hubungan pemimpin dan publik yang tidak terikat apapun.
Ketokohan seorang pemimpin dengan segala yang dimiliki memberikan daya tarik tersendiri bagi komunitas tertentu. Ia tidak diminta, melainkan hadir secara bertahap lebih disebabkan oleh proses persentuhannya dengan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Dalam sebuah riwayat Muslim terkait dengan keinginan kuat seorang Sahabat, bernama Abu Dzar untuk menjadi pimpinan, lalu Rasulullah menegurnya agar tidak lakukan hal tersebut, “Abu Dzar mempertanyakan””Mengapa Engkau tidak memberikan ku jabatan?”
Maka Rasulullah meletakkan tangannya diatas kedua bahu saya. Seraya berkata: ” Kamu lemah! Sesungguhnya jabatan itu amanah dan ia rendah dan penyesalan di hari kiamat, kecuali bagi orang yang memegang amanah dengan haknya ( memenuhi kompetensi), dan juga orang yang menjalankan amanah tersebut dengan penuh tanggung jawab)( HR.Muslim).
Simpulannya bahwa pimpinan terlebih pemimpin harus kuat baik secara fisik ataupun kejiwaan. Bila tidak, maka amanah jabatan tersebut akan menjadi beban baginya bahkan penyesalan.
Teguran Rasulullah kepada Abu Dzar yang ambisi menjadi ‘ibrah bagi generasi sesudahnya.
Pimpinan dan atau pemimpin dengan segala kekuatan dan keterbatasan dirinya akan dihadapkan dengan begitu banyak masalah, dan ia kemudian diharapkan mampu mengatasinya berikut langkah strategis.
Kepastian diri dalam memimpin adalah keniscayaan. Artinya pimpinan berbeda dengan bawahan, dan juga pemimpin berbeda dengan komunitas kebanyakan.
Menjadi pimpinan atau pemimpin tentunya tidak sebatas ingin, karena beberapa hal mencirikannya. Sebelum diniatkan oleh seseorang, komunitas sekitar pun sudah menilai bahwa ia dianggap layak dan mampu atau sebaliknya.
Rekaman akan jejak setiap calon sedikit-banyak sudah ada. Maka dari itu, sangat diharapkan perubahan signifikan dari seorang pimpinan sebagai bentuk penegasian stigma tertentu terhadap dirinya sebelumnya. Pada dasarnya setiap orang mampu memimpin–menjadi pimpinan dan juga pemimpin.
Disebutkan dalam QS.al-Baqarah (2):30)–Artinya: “Wa idz qaala Rabbuka lil-Malaaikati, Inniy jaa’ilun fil-Ardhi Khalifah” (Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku telah jadikan di bumi seorang pimpinan atau pemimpin”).
Terlepas dari beberapa statemen di atas dan lebih spesifik dalam hal memilih pimpinan di lingkungan kita, marilah kita dukung siapapun yang mencalonkan diri untuk menjadi pimpinan.
Kita berharap terpilihnya sosok yang kuat, tegar, visioner– melangkah pasti untuk tujuan kelangsungan lembaga–satu-satunya PTKIN di Bumi Serumpun Sebalai. Begitu banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.
Tidak sekedar memimpin. Wassalam.(*)




Leave a Reply