Di tengah dinamika politik lokal yang semakin terbuka dan penuh pertarungan narasi, kepala daerah tidak hanya dituntut untuk menjalankan fungsi administrasi, tetapi juga menjaga integritas diri dan institusi yang diembannya.
Dalam konteks ini, langkah Gubernur Hidayat Arsani melaporkan pihak-pihak tertentu ke Aparat Penegak Hukum (APH) atas dugaan fitnah dan tuduhan tidak berdasar layak dianalisis secara lebih jernih.
Apalagi ketika muncul pandangan sebagian orang yang menyebut bahwa gubernur “belum selesai dengan diri sendiri”, emosional, dan senang “lapor melapor”.
Narasi tersebut bukan hanya kurang berdasar, tetapi juga menyesatkan. Ia gagal memahami prinsip negara hukum, tata kelola pemerintahan modern, struktur sosial masyarakat, serta etika kepemimpinan.
Justru, jika ditelaah serius dalam perspektif hukum, sosiologi politik, antropologi kekuasaan, teori kebijakan publik, dan etika pemerintahan, tindakan gubernur dapat dikategorikan sebagai perbuatan konstitusional, proporsional, dan terpuji.
Hukum sebagai Rumah Peradaban Pelaporan Gubernur adalah Hak Konstitusional
Dalam negara hukum, penyelesaian sengketa melalui instrumen hukum adalah wujud tertinggi peradaban. Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap warga negara untuk melaporkan dugaan tindak pidana.
Dan gubernur meski memegang jabatan publik tidak kehilangan kapasitasnya sebagai subjek hukum.
Pelaporan oleh Gubernur Hidayat Arsani bukanlah kriminalisasi. Ia bukan intimidasi. Ia bukan bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk membungkam kritik.
Andaikan ada indikasi kesewenang-wenangan misalnya tekanan politik, perintah informal kepada aparat, atau ancaman hukum secara sepihak tentu publik punya alasan untuk mengkritiknya.
Namun dalam kasus ini langkah gubernur ditempuh melalui mekanisme hukum yang formal dan prosedural, tidak ada penggunaan kekuasaan administratif untuk memaksa pihak tertentu,
tidak ada “jalan pintas” ala premanisme, dan prosesnya bersifat terbuka, dapat diawasi publik dan diuji secara objektif oleh sistem peradilan
Artinya, yang dilakukan gubernur adalah jalur yang paling sah, paling bersih, dan paling demokratis. Seorang pejabat negara yang memilih hukum sebagai penyelesaian konflik adalah pejabat yang menghormati konstitusi.
Sebaliknya, dibiarkannya fitnah tanpa penindakan justru bisa mengganggu stabilitas politik lokal, merusak legitimasi pemerintah, dan mengaburkan orientasi pelayanan publik.
Itulah sebabnya tindakan gubernur bukan hanya legal, tetapi juga perlu.
Fitnah Menggerus Kepercayaan Publik
Dalam sosiologi politik, fitnah tidak hanya menyerang seseorang, tetapi juga menyerang struktur kepercayaan (trust structure) dalam masyarakat.
Kepala daerah adalah figur simbolik. Ia menjadi representasi pemerintah secara keseluruhan.
Ketika seorang gubernur difitnah publisitas negatif dapat menciptakan erosi legitimasi, muncul polarisasi dan fragmentasi sosial, administrasi pemerintahan terganggu oleh disinformasi, dan fokus publik teralih dari substansi kebijakan menuju drama politik.
Membiarkan konstruksi fitnah berkembang adalah bentuk kelalaian sosial. Maka, langkah gubernur yang memilih jalur hukum adalah tindakan untuk memulihkan modal sosial.
Ia menyampaikan pesan bahwa demokrasi tidak boleh dikendalikan oleh rumor, agitasi, dan pembunuhan karakter.
Perspektif ini penting melawan fitnah bukan tindakan pribadi, tetapi tindakan menjaga kesehatan struktur sosial politik.
Martabat Pemimpin Adalah Martabat Komunitas
Dalam kultur Indonesia, kepemimpinan bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga persoalan kehormatan. Pemimpin adalah figur simbolik yang memikul harapan kolektif. Ketika kehormatan pemimpin diserang, komunitas turut terdampak.
Secara antropologis kehormatan adalah sumber legitimasi, legitimasi adalah syarat pengaruh, dan pengaruh adalah prasyarat bagi efektifitas kebijakan.
Dalam banyak masyarakat, pemimpin yang tidak merespons fitnah dianggap lemah, bukan bijak. Sikap diam bukan selalu kebesaran jiwa; terkadang ia dibaca sebagai ketidakmampuan menjaga marwah jabatan.
Laporan hukum yang ditempuh Gubernur Hidayat Arsani adalah bagian dari ritual sosial untuk menegakkan marwah (restorative authority).
Itu bukan tindakan emosional. Itu tindakan cultural leadership.
Menilai Kepemimpinan Publik On the Track dan Berbasis Akuntabilitas
Ada anggapan bahwa pemimpin yang melapor berarti pemimpin yang emosional. Ini jelas keliru.
Dalam teori kepemimpinan publik pemimpin yang akuntabel adalah yang mampu membedakan kritik dari fitnah, pemimpin berkualitas melindungi ruang kritik, tetapi tidak membiarkan ruang fitnah berkembang, pemimpin berkarakter berani menempuh jalur hukum, bukan jalur kekerasan atau intimidasi.
Gubernur Hidayat Arsani sejauh ini tidak menunjukkan gejala abuse of power.
Tidak ada pemanfaatan aparat untuk membungkam pendapat. Ia tidak pernah menutup ruang kritik kebijakan.
Yang dilakukan adalah menindak tuduhan kriminal yang tidak berdasar.
Ini bukan pemimpin yang “belum selesai dengan diri sendiri”. Ini pemimpin yang selesai dengan nilai-nilai kepemimpinan itu sendiri.
Respon Terukur Terhadap Krisis Informasi
Dalam teori kebijakan publik, pemimpin memiliki pilihan antara non-decision (diam dan tidak merespons), atau policy response (mengambil langkah korektif).
Fitnah dan hoaks merupakan krisis informasi yang dapat menghambat efektivitas kebijakan.
Pemimpin yang tidak merespons akan dilihat sebagai pemimpin pasif, dan situasi krisis akan didefinisikan oleh aktor-aktor politik yang tidak bertanggung jawab.
Dengan membawa perkara ini ke jalur hukum, gubernur melindungi ruang publik dari disinformasi, mengirim sinyal bahwa demokrasi tidak boleh dijadikan panggung hoaks, menegaskan bahwa pemimpin harus bertanggung jawab atas ketertiban informasi.
Secara kebijakan, tindakan ini adalah langkah preventif untuk melindungi stabilitas pemerintahan.
Tata Kelola Pemerintahan Rule of Law, Bukan Rule of Men
Dalam prinsip good governance, terdapat pilar utama penegakan hukum (rule of law). Pelaporan gubernur menguatkan pilar itu. Tidak ada penyimpangan.
Tidak ada balas dendam politik. Tidak ada modus intimidasi. Semua berjalan di rel yang benar.
Yang lebih penting, tindakan tersebut mencegah munculnya pola premanisme politik.
Jika pejabat daerah memilih membalas fitnah dengan fitnah, atau membalas tekanan dengan tekanan, maka institusi publik akan runtuh. Dengan memilih jalur hukum, gubernur menunjukkan bahwa
pemerintah daerah bekerja berdasarkan prosedur, konflik diselesaikan secara beradab, dan kekuasaan tetap dikendalikan oleh prinsip legalitas, bukan emosi.
Inilah bentuk kepemimpinan transformatif mengalihkan konflik dari jalan gelap ke jalan hukum.
Membantah Tuduhan Tanpa Dasar Menunggangi Demonstrasi, Korupsi,Persoalan Hukum Wakil Gubernur dan Fitnah Penipuan
Beberapa tuduhan terhadap gubernur yang muncul di ruang publik terbukti tidak berdasar
Tuduhan “dalang demo” jelas tidak logis, karena demonstrasi adalah hak konstitusional warga negara dan tidak bisa dinisbahkan kepada gubernur tanpa bukti hukum.
Tuduhan korupsi tidak dapat diperlakukan sebagai fakta karena tidak ada proses hukum, tidak ada penyelidikan, dan tidak ada laporan resmi.
Tuduhan penipuan yang sumir tidak dapat dikategorikan sebagai dugaan pidana tanpa unsur-unsur hukum dan relasi keperdataan yang jelas.
Isu penipuan wakil gubernur pun tidak terkait dengan gubernur jika tidak ada hubungan hukum atau tanggung jawab bersama.
Maka, langkah gubernur melapor justru merupakan upaya meluruskan informasi, bukan menghalangi kebebasan berpendapat.
Pelaporan Gubernur Adalah Tindakan Terpuji dalam Negara Hukum
Dalam situasi demokrasi yang rentan manipulasi, pemimpin harus berani memilih jalur hukum dibanding jalur konflik.
Pelaporan Gubernur Hidayat Arsani terhadap fitnah yang diarahkan kepadanya adalah tindakan konstitusional, proporsional, non intimidatif, anti premanisme, berbasis moralitas jabatan, dan mendidik masyarakat bahwa hukum adalah jalan penyelesaian yang beradab.
Pemimpin yang menempuh hukum adalah pemimpin yang menghormati hukum. Pemimpin yang melawan fitnah melalui proses legal adalah pemimpin yang melindungi demokrasi.
Dan pemimpin yang menjaga martabat jabatannya adalah pemimpin yang juga menjaga martabat daerahnya.
Langkah gubernur bukan tanda kelemahan. Itu tanda integritas.
Dan integritas adalah kualitas yang seharusnya diapresiasi, bukan disalah pahami.(*)







Leave a Reply