Opini  

Ekologi Berkelanjutan : Urgensitas Pencapaian Transformasi Kebijakan Ekologis

Oleh : Muhammad Syaiful Anwar (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung / Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto)

Avatar photo

PERISTIWA alam yang terjadi di Indonesia, menjadi sebuah tragedi yang cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia. Kerusakan hutan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem dan lingkungan alamiah membawa bencana yakni banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Secara khusus, peristiwa tersebut bukan hanya sekedar peristiwa alam biasa namun sebuah dampak atau efek pada kegiatan atau aktivitas manusia yang mencoba mendominasi alam secara destruktif sehingga mengakibatkan bencana yang menelan banyak korban jiwa.
Kerusakan infrastruktur, sarana kesehatan, pendidikan, adanya kelaparan, dan keruntuhan tata sosial yang terjadi adalah konsekuensi logis dari sebuah sistem pengelolaan lingkungan yang telah lama dan terus mengabaikan prinsip keberlanjutan ekologis.

 

Kegagalan struktural dalam menjalankan amanat konstitusional perlindungan lingkungan hidup, serta dominannya paradigma pembangunan yang menempatkan ekonomi ekstraktif sebagai panglima.

Dalam perspektif kenegaraan, kajian atas pertanggungjawaban negara dan aktor non-negara, serta menawarkan rekonstruksi kebijakan berbasis ekosentrisme konstitusional. Kebijakan pengelolaan lingkungan yang lebih pada peningkatan devisa daripada keberlanjutan ekosistem, salah satu unsur pendorong rusaknya lingkungan yang ada. Dalam tataran konstitusi, kerangka hukum tertinggi dalam pengelolaan lingkungan, termaktub dalam Konstitusi yakni pada Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Frasa “dikuasai oleh negara” bukan sekadar hak mengelola, melainkan mandat tanggung jawab pengelolaan yang bersifat kepercayaan dan kemampuan negara dalam mengelola lingkungan.

Negara sebagai penerima mandat pengelolaan, wajib menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya alam tidak merusak fungsi ekologisnya ataupun merusak baku mutu lingkungan. Eksploitasi yang menyebabkan bencana ekologis massif jelas merupakan pelanggaran terhadap mandat konstitusional ini. Jika berkaca pada konsep pertanggungjawaban negara, maka akan muncul pertanggungjawaban negara berbasis pada pertanggungjawaban negara sebagai regulator; Pertanggungjawaban Korporasi sebagai pelaksana; dan Pertanggungjawaban Peradilan sebagai gerbang terakhir dalam penegakan hukum lingkungan.

 

Pertanggungjawaban Negara (State Responsibility)

Otoritas penerbit izin (pusat dan daerah) gagal melakukan due diligence ekologis yang ketat. Penerbitan izin tambang, perkebunan, dan kehutanan di daerah resapan air (hulu) tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang kredibel dan penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggaran, merupakan bentuk kelalaian negara yang menciptakan kondisi kerentanan bencana.

Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability)

Perusahaan pemegang izin, baik yang sah maupun yang bermasalah, harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Prinsip “polluter pays” dan “strict liability”, dalam Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berisi bahwa Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya. Hal tersebut menunjukan bahwa tindakan kerusakan lingkungan harus dilakukan penegakan hukum dan diterapkan secara maksimal untuk menuntut ganti rugi dan pemulihan lingkungan secara mutlak.

Pertanggungjawaban Peradilan (Judicial Responsibility)

Peran hakim sangat krusial dalam penegakan hukum lingkungan. Pengadilan harus bergerak dari paradigma antroposentris-legalistik formal (hanya melihat kepatuhan formal prosedur) menuju ekosentris-substansial yang memprioritaskan keadilan ekologis (green justice). Putusan harus mencerminkan perlindungan terhadap ambang batas daya dukung lingkungan sebagai syarat mutlak. Hal ini menjadi sebuah pintu gerbang atas terjaga lingkungan yang mendasarkan pada putusan hakim yang berorientasi pada perlindungan lingkungan.

Berkaca pada permasalahan pengelolaan lingkungan tersebut, diperlukan langkah-langkah transformatif yang bersifat sistemik, yakni,
Pertama, Hadirnya Moratorium dan Evaluasi Total Perizinan Ekstraktif di Daerah Sensitif Ekologis; Pemerintah harus segera menerbitkan moratorium penerbitan izin baru untuk usaha ekstraktif (tambang, perkebunan skala besar) di kawasan hutan lindung, daerah tangkapan air, dan lereng curam Bukit Barisan. Selanjutnya, dilakukan audit ekologis independen terhadap semua izin yang telah diterbitkan. Izin yang terbukti melanggar ketentuan, berada di kawasan yang salah, atau telah menyebabkan kerusakan, harus dicabut tanpa kompensasi penuh karena diterbitkan secara cacat hukum.

Kedua, Penegakan Hukum yang Integral; Membentuk Satuan Tugas Khusus Penegakan Hukum Lingkungan Hidup untuk daerah-daerah rawan dan rentan rusak lingkungan dengan melibatkan Polri, Kejaksaan, Kementerian yang beririsan dengan lingkungan dan kehutanan ataupun sejenisnya, dan masyarakat sipil. Prioritas pembentukannya yakni menyelidiki, proses hukum dan menuntut baik pelaku ilegal maupun pemegang izin legal yang melakukan pelanggaran. Proses hukum harus transparan dan melibatkan partisipasi para korban terdampak bencana lingkungan sebagai pihak yang dirugikan.

Ketiga, Reformasi Peradilan Lingkungan; Mendorong Mahkamah Agung untuk menerbitkan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (SEMA) yang berperspektif ekosentris dan green justice. Hakim lingkungan perlu diberikan pelatihan intensif tentang ekologi dan prinsip strong sustainability. Putusan harus dapat memerintahkan pemulihan lingkungan secra menyeluruh sebagai bentuk ganti rugi utama.

Tragedi di beberapa wilayah Indonesia merupakan tanda panggilan mendesak untuk mengembalikan kedaulatan ekologis bangsa secara umum di berbagai belahan wilayah Indonesia, yang telah tergerus oleh jalan pikiran atas eksploitasi jangka pendek. Pilihan sekarang, bukan antara ekonomi dan ekologi, melainkan antara kehancuran sistemik dan ketahanan berkelanjutan. Otoritas negara, dengan segala instrumen yang dimilikinya, harus memiliki keberanian politik untuk memenuhi mandat konstitusi, yakni menjadi para pihak-pihak yang berkepentingan sehingga secara serius dan benar-benar melindungi bumi, air, dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat yang sesungguhnya, dalam mencapai transformasi kebijakan ekologis yang berkelanjutan. (*)

Leave a Reply