Pulau Bangka dan Belitung merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dan erat kaitannya dengan pertambangan timah.
Sejak masa kolonial, timah telah menjadi komoditas utama yang membentuk struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di kawasan ini.
Timah bukan sekadar mineral, melainkan nadi kehidupan ekonomi masyarakat Bangka Belitung.
Industri ini telah menciptakan lapangan kerja, membangun kota-kota pelabuhan, serta membuka akses modernisasi di wilayah kepulauan Bangka belitung
Namun, ketergantungan yang tinggi terhadap timah juga menghadirkan tantangan besar.
Kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan ketidakpastian ekonomi menjadi konsekuensi dari eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Penambangan timah ilegal semakin marak, memperburuk kondisi ekosistem laut dan darat, serta menimbulkan masalah tata kelola.
Hal ini menegaskan bahwa meskipun timah telah menjadi tulang punggung ekonomi, keberlanjutan pengelolaan menjadi isu krusial yang harus segera ditangani.
Dari sisi sosial, timah telah membentuk identitas masyarakat Bangka Belitung. Generasi demi generasi tumbuh dengan pekerjaan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pertambangan.
Pendapatan dari timah digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sehari-hari.
Namun, ketergantungan ini juga menimbulkan kerentanan sosial ketika harga timah dunia turun atau ketika regulasi pemerintah membatasi aktivitas penambangan.
Peristiwa Demonstrasi pada tanggal 6 Oktober 2025 di Pangkal Pinang yang lalu dapat menjadi cermin bagaimana eratnya keterkaitan timah dengan penghidupan masyarakat Bangka Belitung.
Peristiwa tersebut sekaligus menjadi sorotan publik seluruh Indonesia terkait isu aktivitas pertambangan dimana adanya insiden kurang mengenakan antara masyarakat yang bermata pencaharian timah dengan pihak PT. Timah itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, peistiwa tersebut dimulai dengan tuntutan terhadap ketidak sesuaian harga pasir timah yang menurut versi penambang dihargai dengan sangat murah.
Warga menuntut kenaikan harga pasir timah tersebut. Sebenarnya Gubernur Bangka Belitung Hidayat Arsani telah melarang para warga untuk unjuk aksi demo karena akan dilakukan perundingan dengan pihak PT. Timah terkait tuntutan para warga.
Namun para warga tetap melakukan aksi demo yang dilakukan bertepatan dengan Presiden Prabowo Subianto datang ke Bangka Belitung untuk melihat smelter sitaan dan serah terima aset rampasan terkait kasus timah 2024 dari Jaksa Agung.
Pelaksanaan demo tersebut sebagaimana kita ketahui sempat berlangsung ricuh dan memanas sehingga aparat menembakan gas air mata ke para demonstran yang menjebol masuk ke dalam kantor PT. Timah.
Para pendemo sendiri sempat melakukan pembakaran di seputaran areal PT Timah.
Tembakan gas air mata memaksa para demonstran mundur sementara,namun kembali lagi memadati kantor tersebut.
Dalam aksi ini para warga menuntut kenaikan harga timah dan keleluasaan dalam melakukan aktifitas penambangan di dalam IUP PT. Timah.
Penyebab utama mengapa demo bisa terjadi dan menjadi ricuh, adalah demi kepentingan ekonomi sementara. Persoalan ekonomi tentu menjadi alasan kuat sehingga demo dilakukan.
Menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk melalui demonstrasi, adalah hak konstitusional warga negara Indonesia yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E dan 28F.
Namun, pelaksanaannya harus mengikuti aturan perundang-undangan seperti UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta memperhatikan etika agar aspirasi tersampaikan tanpa melanggar hukum atau merugikan masyarakat.
Dalam sistem demokrasi Indonesia, kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Lebih lanjut, Pasal 28F menegaskan hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Dengan demikian, demonstrasi sebagai bentuk penyampaian pendapat di muka umum adalah bagian dari hak konstitusional warga negara.
Hak menyampaikan pendapat diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU ini memberikan kerangka hukum agar demonstrasi dapat dilakukan secara tertib, aman, dan bertanggung jawab.
Beberapa poin penting:
Pemberitahuan kepada aparat keamanan minimal 3 x 24 jam sebelum aksi.
Larangan membawa senjata tajam atau benda berbahaya.
Kewajiban menjaga ketertiban umum dan menghormati hak orang lain.
Sanksi pidana bagi pihak yang menghalangi atau membubarkan demonstrasi secara melawan hukum.
Selain itu, KUHP dan peraturan daerah juga dapat berlaku jika demonstrasi menimbulkan kerusakan fasilitas umum atau mengganggu ketertiban.
Selain aspek hukum, etika menjadi faktor penting agar demonstrasi tidak berubah menjadi tindakan anarkis. Prinsip etika yang perlu dijunjung:
Mengutamakan dialog dan penyampaian aspirasi secara damai.
Menghormati hak masyarakat lain yang tidak ikut berdemo, misalnya dengan tidak menutup akses jalan secara total.
Menghindari provokasi yang dapat menimbulkan kekerasan.
Menggunakan simbol dan bahasa yang santun, sehingga pesan lebih mudah diterima oleh pemerintah maupun publik.
Dalam praktiknya, demonstrasi di Indonesia sering kali menghadapi tantangan berupa benturan kepentingan antara kebebasan berpendapat dan ketertiban umum.
Kasus demonstrasi anarkis menunjukkan perlunya penegakan hukum yang tegas sekaligus pendidikan politik masyarakat agar aspirasi tersampaikan tanpa melanggar aturan.
Dengan demikian, demonstrasi dapat menjadi sarana demokratis yang efektif untuk menyuarakan aspirasi tanpa menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas.(*)







Leave a Reply