RENCANA pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Desa Batu Beriga, Pulau Gelasa, Bangka Tengah, kembali mengemuka sebagai isu kritis dalam diskursus pembangunan energi nasional. Namun kasus ini memperlihatkan hal yang berulang dalam sejarah pembangunan Indonesia negara terlalu cepat bicara teknologi, tetapi terlambat memastikan legitimasi sosial. Ketika komunikasi publik lemah, struktur politik daerah tidak solid, dan masyarakat pesisir menyimpan memori panjang ketidakadilan, maka resistensi menjadi sebuah keniscayaan.
Secara teknis, PT Thorcon Power Indonesia mengusulkan pengembangan reaktor TMSR-500 berbasis thorium, yang digadang lebih aman dan efisien. Pemerintah pusat memasukkan proyek ini ke dalam agenda transisi energi rendah karbon. Thorcon menyebut tengah berada pada tahap evaluasi tapak BAPETEN, sebuah fase penting sebelum desain dan konstruksi. Namun kerap kali, narasi teknokratis semacam ini tidak bersentuhan dengan realitas sosial di akar rumput.
Politik Lokal: Fragmentasi di Elite, Kebingungan di Warga
Dinamika di Bangka Tengah memperlihatkan bahwa elite politik daerah tidak memiliki sikap yang konsisten. DPRD Kabupaten Bangka Tengah beberapa kali menuntut ke Dinsos PMD terkait untuk memperbaiki kualitas sosialisasi terkait dengan Thorcon , karena masyarakat belum memahami betul apa saja risiko dan dampak jangka panjang PLTN. Di tingkat provinsi, legislator Bangka Belitung, Rina Tarol, menegaskan bahwa Thorcon belum memiliki tiga lisensi fundamental, izin sosial, izin konstruksi, dan izin desain. Ia juga mengingatkan bahwa Pulau Gelasa merupakan bentang ekologis sensitif.
Di sisi lain, publik sempat dihebohkan kabar mengenai dugaan pemberian dana Rp 500 juta kepada Bupati Bangka Tengah terkait lobi proyek, meski Thorcon telah membantah. Namun, persepsi publik terbentuk bukan oleh bantahan resmi, tetapi oleh pengalaman bahwa proyek besar biasanya menguntungkan untuk elit saja. Bagi masyarakat Beriga, rumor semacam itu memperkuat keyakinan bahwa informasi penting tidak diberikan secara jujur.
Sikap pemerintah daerah yang terlihat ambigu mengatakan MoU hanya riset, tetapi tidak pernah memberikan klarifikasi yang memadai membuat warga semakin bingung. Beberapa kepala dusun menyebut tidak ada satupun pertemuan resmi pemerintah desa untuk menjelaskan proyek. Sebagaimana diungkapkan seorang warga, “Pemerintah itu susah. Kiri iya, kanan iya. Kalau soal ini, masyarakat yang lebih kuat.” Fragmentasi elite ini berimplikasi pada hilangnya otoritas informasi di mata warga. Ketika pemerintah tidak tegas, maka ruang interpretasi publik terbuka luas bagi spekulasi dan kecurigaan.
Resistensi Masyarakat: Dari Laut sebagai Ruang Hidup hingga Trauma Keadilan
Sebagian besar warga Batu Beriga bekerja sebagai nelayan, Laut adalah ruang hidup dan identitas. Karenanya, kekhawatiran atas PLTN tidak berdiri sendiri ia terhubung dengan trauma lama terhadap tambang inkonvensional (TI) yang merusak wilayah tangkap, memecah solidaritas sosial, dan membuat warga merasa berulang kali “dikalahkan” oleh PT Timah maupun kelompok berpengaruh.
Dalam wawancara lapangan, warga berulang kali menegaskan bahwa masalah utama mereka bukan soal modernitas teknologi, tetapi soal pola pembangunan yang sejak dulu tidak adil. Salah satu masyarakat Batu Beriga Bapak jumarid menyebutkan :
“Kalau laut dibuka TI, cuma masyarakat Beriga yang mati. Kalau PLTN, semua mati. Jadi dianggap lebih adil.”
Kutipan ini tidak menunjukkan dukungan pada PLTN, melainkan bentuk satir yang menggambarkan betapa dalam rasa ketidakpercayaan itu. Dibanding TI yang merusak laut untuk kepentingan segelintir pihak, risiko PLTN dianggap menimpa semua orang secara setara. Ini menegaskan bahwa resistensi bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah keadilan.
Seorang ayah nelayan lain menuturkan bahwa ia mengetahui risiko PLTN dari WALHI dan diskusi dengan anaknya. Ia takut kehilangan mata pencaharian, apalagi Dusun Berikat dikenal memiliki wilayah tangkap ikan yang sangat subur. Di tengah ketidakjelasan informasi, warga lebih percaya pada jaringan advokasi lingkungan daripada kepada institusi formal negara.
Sosialisasi yang Tidak Setara: Bantuan di Sekolah, Bukan Dialog Publik
Temuan menarik dari wawancara adalah bahwa sebagian warga hanya mengetahui keberadaan Thorcon melalui kegiatan di SD yang disertai pembagian bantuan seperti laptop dan handphone. Namun kegiatan itu tidak berisi penjelasan apa pun soal nuklir, risiko, ataupun rencana jangka panjang.
Bapak Jumarid juga mengatakan :
“Mereka memberikan bantuan. Tapi tidak memberitahukan apa-apa.”
Sosialisasi semacam ini tidak hanya gagal, tetapi justru dianggap mencurigakan. Masyarakat menilai bantuan dilakukan untuk membangun penerimaan simbolik, bukan dialog substantif. Sebaliknya, LSM seperti WALHI hadir di desa memberi informasi tentang risiko nuklir dan urgensi melindungi Pulau Gelasa. Ketika negara tidak hadir dengan informasi kredibel, legitimasi sosial berpindah ke aktor lain yang dinilai lebih jujur.
Konflik yang Memperkuat Solidaritas
Melihat dari perspektif teori konflik Lewis Coser, PLTN Bangka Tengah menjadi contoh bagaimana ancaman eksternal mampu memperkuat kohesi sosial internal. Warga Beriga yang sebelumnya terbelah dalam soal TI, bantuan sosial, hingga politik desa kini bersatu menolak PLTN. Konflik ini menjadi sarana mempertahankan identitas kolektif mereka sebagai masyarakat pesisir.
Namun Coser juga mengingatkan bahwa konflik dapat menjadi destruktif jika tidak dimediasi secara efektif. Ketidakhadiran pemerintah daerah sebagai mediator membuat potensi eskalasi semakin besar. Bahkan beberapa warga yang menolak PLTN dilaporkan pernah dipanggil aparat, menandakan bahwa konflik ini mulai menyentuh ranah hukum.
Social License to Operate yang Belum Terbentuk
Thorcon menekankan bahwa manfaat ekonomi akan dijelaskan dalam dokumen AMDAL serta kontrak, mulai dari lapangan kerja hingga prioritas listrik. Namun social license to operate tidak diperoleh melalui dokumen, melainkan melalui penerimaan moral dan psikologis masyarakat.
Hingga kini, lisensi sosial itu belum ada.
Tidak ada dialog publik yang memadai. Tidak ada kejelasan posisi pemerintah daerah. Tidak ada transparansi tentang risiko dan mitigasi. Tanpa fondasi kepercayaan, semua manfaat yang dijanjikan akan dianggap sebagai retorika teknokratis.
Saran : Pembangunan Energi Harus Dibangun di atas Kepercayaan
Jika pemerintah pusat tetap ingin melanjutkan proyek PLTN, ada langkah-langkah yang harus segera dilakukan:
- Transparansi penuh mengenai risiko, jalur evakuasi, limbah, serta kompensasi jangka panjang.
- Partisipasi bermakna sejak tahap perencanaan, bukan sekadar sosialisasi formalitas.
- AMDAL independen yang melibatkan ahli kelautan, sosiologi pesisir, dan lembaga kredibel.
- Sikap tegas pemerintah daerah, agar warga tahu posisi dan tanggung jawab pemerintah sendiri.
- Distribusi manfaat yang adil bagi kelompok paling rentan, terutama nelayan kecil.
PLTN di Bangka Tengah bukan sekadar proyek teknologi energi masa depan. Ia adalah cermin dari persoalan mendasar demokrasi lokal: komunikasi yang rapuh, elite yang tak solid, serta masyarakat yang menanggung biaya sosial-ekologis dari pembangunan. Selama negara belum mampu membangun kepercayaan, resistensi akan terus menguat.
Energi masa depan tidak bisa dibangun di atas fondasi legitimasi sosial yang keropos. PLTN bukan sekadar ujian teknologi, tetapi ujian integritas negara terhadap warganya. (*)







Leave a Reply