“Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa.”
-Amsal 14:34-
Dalam setiap zaman, manusia selalu berusaha membangun sesuatu yang bertahan lama—kota yang lebih baik, masyarakat yang lebih sejahtera, ekonomi yang lebih kuat, dan kehidupan yang lebih nyaman. Kita melihat keseriusan pemerintah membangun infrastrukur, memperbaiki pelayanan publik, dan menggerakkan ekonomi. Kita melihat usaha masyarakat dalam dunia kerja, usaha kecil, pertanian, perikanan, pariwisata, dan tambang. Semua dilakukan karena ada kerinduan untuk melihat negeri berkembang dan dihormati.
Namun di tengah semua upaya itu, Alkitab mengingatkan sebuah kebenaran yang jauh lebih mendasar, sebuah prinsip yang menjadi fondasi bagi setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh:
“Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa.”
(Amsal 14:34)
Ayat yang singkat ini memuat sebuah rahasia yang sering dilupakan banyak orang. Kita tahu bahwa jalan menuju kemajuan bukan hanya ditentukan oleh seberapa besar sumber daya yang dimiliki, bukan ditentukan oleh kekayaan alam, jumlah proyek, atau kecanggihan teknologi. Kemajuan sejati dimulai dari karakter masyarakatnya. Sebuah bangsa ditinggikan bukan ketika gedung-gedungnya menjulang, tetapi ketika integritas, kejujuran, keadilan, dan moralitas menjadi napas hidup masyarakatnya.
Ayat ini menyatakan bahwa kebenaranlah yang mengangkat derajat suatu bangsa. Dalam bahasa Ibrani, “kebenaran” (tsedaqah) bukan sekadar moral pribadi, tetapi meliputi seluruh kehidupan: cara seseorang bekerja, bersikap, memperlakukan orang lain, mengelola sumber daya, dan menjalani tugas sehari-hari. Kebenaran berarti hidup sesuai dengan nilai-nilai Tuhan, baik di dalam terang maupun ketika tidak ada yang melihat. Sebaliknya, dosa disebut sebagai “noda” bangsa. Dosa tidak hanya menghancurkan hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga merusak sistem sosial, memutus kepercayaan, menghancurkan keharmonisan, dan membuat masyarakat kehilangan arah.
Ketika kita memikirkan ayat ini, kita bisa melihat bahwa firman Tuhan berbicara dengan begitu relevan kepada kita yang hidup di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Daerah ini adalah tanah yang diberkati Tuhan—dengan keindahan alam, kekayaan tambang, potensi pariwisata, dan keragaman budaya yang damai. Tetapi seperti setiap daerah lainnya, Babel juga menghadapi tantangan moral dan sosial yang nyata. Kita melihat bagaimana perubahan teknologi memengaruhi generasi muda, bagaimana tekanan ekonomi membuat sebagian orang tergoda untuk mengorbankan integritas, bagaimana isu lingkungan menjadi salah satu persoalan yang sering muncul akibat cara pengelolaan sumber daya yang tidak bijaksana, dan bagaimana nilai-nilai luhur mulai terkikis oleh gaya hidup instan dan pola pikir yang materialistis.
Di tengah semua itu, firman Tuhan mengajak kita merenungkan sebuah pertanyaan penting:
Apakah kita sedang membangun daerah ini di atas fondasi kebenaran?
Pembangunan sejati tidak hanya terlihat dari wajah luar tetapi dari hati masyarakatnya. Seorang pekerja tambang yang jujur, seorang guru yang setia dalam pelayanan, seorang pelaku UMKM yang tidak menipu kualitas barang, seorang anak muda yang menjaga integritas di dunia digital, seorang petani yang mengelola tanah dengan bijak, seorang pejabat yang menjalankan tugas dengan takut akan Tuhan—mereka semua sedang membangun daerah ini dengan kebenaran.
Kebenaran itu tidak bising. Ia tidak selalu tampak dramatis. Ia sering terjadi dalam hal-hal sederhana: memilih berkata jujur meski sulit, bekerja dengan sungguh-sungguh meski tidak ada yang mengawasi, menjaga tong sampah tetap tertutup, menahan diri dari menyebarkan kabar bohong, menghargai perbedaan budaya dan agama di lingkungan sekitar, memperlakukan sesama dengan hormat, dan menjalankan tanggung jawab sehari-hari dengan hati nurani yang bersih.
Kebenaran seperti inilah yang pada akhirnya membuat suatu daerah dihormati. Ketika kebenaran menjadi budaya, masyarakat hidup dengan damai, ekonomi bergerak dengan sehat, lingkungan lebih terjaga, dan hubungan sosial menjadi kuat. Sebaliknya, ketika dosa dibiarkan, meskipun kekayaan melimpah, masyarakat akan tetap hidup dalam kesusahan karena moral yang rusak selalu menyeret suatu bangsa kepada kehancuran.
Bagi umat Kristen di Bangka Belitung, panggilan untuk hidup benar bukan sekadar tuntutan moral, tetapi sebuah misi Tuhan bagi tanah ini. Tuhan menempatkan kita bukan hanya untuk beribadah di gereja, tetapi untuk menjadi terang di lingkungan—di kantor, sekolah, kampung, medan tambang, ruang usaha, bahkan di media sosial. Sesuai Yeremia 29:7, kita dipanggil untuk “mengusahakan kesejahteraan kota”, karena ketika kota sejahtera, kita pun ikut merasakan berkatnya.
Kita dipanggil untuk menjadi umat yang hidup dengan integritas, bukan hanya berbicara tentang nilai-nilai tetapi menjalankannya; bukan hanya mengejar berkat, tetapi menjadi berkat; bukan hanya menuntut perubahan, tetapi menjadi bagian dari perubahan itu sendiri. Kita tidak bisa mengharapkan daerah ini maju jika kita sendiri tidak mau hidup dengan benar.
Kebenaran itu juga tampak dalam cara kita memperlakukan alam. Bangka Belitung memiliki keindahan dan kekayaan alam yang luar biasa. Tetapi keindahan itu mudah rusak jika manusia tidak bijaksana. Sampah yang dibuang sembarangan, penambangan yang tidak teratur, kebiasaan merusak lingkungan, dan sikap tidak peduli terhadap kebersihan akan meninggalkan luka yang dalam pada bumi yang Tuhan percayakan. Ketika kita mencintai tanah tempat kita tinggal, kita memuliakan Tuhan yang menciptakannya.
Selain itu, kebenaran harus hadir dalam cara kita mendidik generasi. Generasi muda adalah penentu masa depan Babel. Mereka hidup di era digital, era yang cepat dan penuh tantangan. Firman Tuhan memanggil orang tua dan gereja untuk mengajari mereka nilai-nilai moral yang kuat: kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, disiplin, sopan santun, dan takut akan Tuhan. Tanpa fondasi ini, teknologi dan modernisasi justru dapat menjadi batu sandungan yang merusak masa depan mereka.
Hidup benar bukan hanya urusan pribadi, tetapi sebuah kontribusi sosial. Ketika seseorang hidup benar, ia sedang menanam benih berkat dalam masyarakat. Ketika keluarga hidup benar, lingkungan sekitar ikut merasakannya. Ketika komunitas hidup benar, daerah pun ikut terangkat. Dan ketika umat Tuhan hidup benar, maka nama Tuhan ditinggikan di tanah itu.
Amsal 14:34 mengingatkan kita bahwa sebuah bangsa ditinggikan bukan hanya oleh kemajuan ekonomi, tetapi terutama oleh karakter moral. Kebenaranlah yang mengangkat bangsa, sedangkan dosa selalu membawa noda dan kehancuran. Karena itu, mari kita menjadi pribadi-pribadi yang memilih kebenaran setiap hari—di kantor, di rumah, di perjalanan, di pasar, di dunia digital, dalam hal-hal kecil maupun besar.
Mari kita bangun Bangka Belitung bukan hanya dengan pembangunan fisik, tetapi dengan membangun karakter dan moralitas. Mari kita menjadi masyarakat yang dikenal bukan hanya karena keindahan pulau-pulaunya atau kekayaan tambangnya, tetapi karena kejujuran, integritas, dan kasih sesama yang terpancar dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kebenaran menjadi fondasi hidup masyarakat, Tuhan sendiri yang akan meninggikan daerah ini.
Kiranya Tuhan menolong kita untuk hidup benar, agar tanah Bangka Belitung menjadi daerah yang penuh damai, penuh harapan, penuh berkat, dan penuh masa depan yang cerah—karena masyarakatnya memilih untuk membangun negeri ini di atas kebenaran yang berasal dari Tuhan. Amin. (*)


Leave a Reply