Opini  

Aspirasi Nelayan Matras Didengar, Namun Tidak Diakomodasi (Analisis Partisipasi Publik Masyarakat yang Menolak Pertambangan Laut di Pantai Matras, Sungailiat )  

Oleh : Tata Dwi Syintia, Suci Aprilia, Sanda Pratama ( Mahasiswa Universitas Bangka Belitung , Prodi Ilmu Politik)  

Avatar photo

KAWASAN Pantai Matras, Sungailiat, Bangka Belitung, telah menjelma menjadi barometer  kegagalan  negara dalam  mengawal  kedaulatan rakyat. Konflik  berkepanjangan  ini bukan sekadar  isu lingkungan, melainkan cerminan tantangan sistemik terhadap jaminan hak konstitusional warga negara di hadapan kepentingan ekonomi ekstraktif. Matras adalah ujian nyata kualitas demokrasi lokal.

 

Dampak di Matras sudah pada tingkat krisis. Aktivitas pertambangan laut telah menimbulkan dampak ekologis yang parah, yang secara langsung menghancurkan fondasi ekonomi  nelayan  Matras. Berdasarkan  temuan  wawancara mendalam, dampak ini sangat terasa pada hasil tangkapan: salah satu nelayan  melaporkan bahwa dulu mereka bisa mendapatkan belasan  kilo di wilayah pinggir, namun sekarang untuk mencari 3 kilogram saja sudah sulit. Konsekuensi kerugian ini memicu kesulitan berlipat ganda: nelayan kini harus melaut semakin jauh untuk mencari hasil, yang secara langsung menaikkan biaya operasional dan memperparah kesulitan hidup.

 

Akar  masalah  ini diperparah  oleh inkonsistensi regulasi  yakni Perda No. 3 Tahun 2020 yang menetapkan  Matras sebagai zona pariwisata sekaligus zona tambang.  Kebijakan  yang ambigu ini menghambat terciptanya keberlanjutan dan memicu konflik kepentingan. Konflik  ini semakin kompleks seiring masuknya Kapal Isap Produksi, yang kemudian diikuti oleh Ponton Isap Lokal  yang pada akhirnya dinaungi oleh mekanisme perizinan resmi.

 

Keterbatasan Implementasi Partisipasi Publik

Masyarakat  Matras telah  menggunakan hak konstitusional mereka yang dijamin Pasal 28 UUD 1945. Mereka menempuh jalur demokratis, termasuk demonstrasi, petisi, dan audiensi ke DPRD.  Namun,  kendala implementasi  muncul  ketika respons kebijakan yang substantif tidak kunjung terwujud.

Keterangan  yang  dihimpun dari  lapangan menguak adanya kegagalan substansi demokrasi dalam  proses  konsultasi. Sumber di masyarakat menyebutkan, pihak perusahaan  tidak pernah  mengundang  pihak penolak untuk sosialisasi. Jika adapun, pihak perusahaan  hanya menyampaikan: “setuju atau tidak setuju, kami mau menambang.”. Pernyataan  ini menunjukkan  bahwa partisipasi publik sejak awal hanya bersifat formalitas, bukan mekanisme untuk mencapai konsensus.

Inisiatif  perjuangan ini dilakukan atas swadaya masyarakat sendiri. Fakta bahwa penolakan mayoritas (90%) dapat dikalahkan oleh suara minoritas di awal proses perizinan menjadi celah bagi dimulainya operasi, yang menimbulkan kepasrahan di tengah masyarakat.

 

Perlunya Optimalisasi Peran Institusi Teknis

Data wawancara menunjukkan adanya kelemahan signifikan dalam dukungan pemerintah daerah kepada nelayan. Masyarakat mengeluhkan bahwa institusi yang berwenang dalam lingkungan hidup tidak pernah turun langsung untuk sosialisasi atau inspeksi di lapangan. Sementara itu, institusi yang berwenang dalam  perikanan dinilai tidak memiliki peran yang cukup kuat untuk membela nelayan dan menjadi wadah pengaduan efektif. Temuan ini mengindikasikan bahwa perlu adanya penguatan mandat, fungsi, dan koordinasi antar instansi untuk memastikan kepentingan publik terlindungi.

 

Terakhir, risiko yang dihadapi oleh tokoh-tokoh yang vokal saat menyampaikan kritik patut menjadi perhatian.  Terdapat laporan mengenai adanya kekhawatiran dan risiko tertentu yang dirasakan oleh tokoh masyarakat saat menyampaikan aspirasi. Hal ini menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk menjamin ruang aman bagi setiap warga negara agar dapat menyampaikan kritik tanpa rasa khawatir. (*)

 

Leave a Reply