Religi  

Hidup Damai di Tengah Perbedaan

Oleh : Pendeta Frank Sinarta

Avatar photo

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” – Roma 12:18

 

Kita hidup di dunia yang tidak pernah seragam. Sejak awal sejarah, manusia sudah hadir dengan bahasa, budaya, dan cara pandang yang berbeda-beda. Kini, di zaman global yang serba terhubung, perbedaan itu semakin terasa dekat — di kantor, di media sosial, bahkan di dalam keluarga sendiri.

 

Namun justru di tengah keberagaman inilah muncul pertanyaan penting: Bagaimana kita sebagai pengikut Kristus hidup di dunia yang plural? Apakah kita harus menolak perbedaan, atau justru menjadi saksi Kristus di dalamnya?

 

Alkitab memberi jawaban yang indah: Allah tidak memanggil kita untuk menarik diri dari dunia yang beragam, melainkan untuk menghadirkan kasih-Nya. Allah tidak pernah menginginkan manusia hidup dalam permusuhan, tetapi dalam keharmonisan yang memuliakan-Nya.

Allah yang Menciptakan Keberagaman

Keberagaman bukan kesalahan — itu adalah bagian dari rancangan Allah.
Kitab Kejadian 1:27 menegaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (imago Dei). Artinya, setiap manusia — apa pun latar belakang suku, bangsa, atau agamanya — memantulkan sebagian dari kemuliaan Allah dan karena itu, layak dihormati.

 

Mazmur 24:1 berkata, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya.” Hal itu jelas berarti bahwa dunia ini adalah milik Allah yang satu, dan kasih-Nya juga untuk semua orang.

 

Bahkan dalam kisah Menara Babel (Kejadian 11), ketika manusia ingin menyeragamkan diri, namun Allah justru menghadirkan keberagaman bahasa. Dalam peristiwa itu menyiratkan bahwa kesatuan sejati bukan berarti seragam — melainkan saling melengkapi.

 

Perjanjian Baru pun memperdalam hal ini: Paulus menulis bahwa tubuh Kristus terdiri dari banyak anggota (1 Korintus 12:12–14). Setiap bagian berbeda, tetapi justru di situlah keindahan kesatuan itu tampak. Prinsip ini berlaku bukan hanya dalam gereja, tetapi juga dalam kehidupan sosial: perbedaan adalah bagian dari rencana Allah yang indah.

Yesus dan Dunia yang Plural

Yesus hidup di tengah masyarakat yang sangat beragam: Yahudi, Samaria, Romawi, Yunani. Ada orang-orang saleh, ada pula yang dianggap berdosa. Tetapi Yesus tidak membangun tembok pemisah — Ia menyeberangi batas-batas itu dengan kasih.

 

Ketika Ia berbicara dengan perempuan Samaria (Yohanes 4), Yesus menembus sekat sosial dan agama. Ia tidak menghakimi, tetapi mendengarkan dan menghargai. Akibatnya, perempuan itu menjadi saksi bagi banyak orang.

 

Begitu juga dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10). Tokoh penolong bukan imam atau orang Lewi, melainkan orang Samaria — sosok yang dianggap dari golongan “seteru” oleh orang Yahudi.
Melalui kisah ini Yesus mengajarkan bahwa kasih sejati tidak mengenal batas identitas. Pertanyaan yang penting bukan “siapa yang seiman denganku?”, melainkan “siapa yang bersedia berbelas kasih?”

 

Yesus mengajarkan bahwa iman yang hidup selalu menumbuhkan kasih yang melampaui sekat budaya, sosial, dan agama.

Paulus dan Panggilan untuk Hidup Damai

Dalam dunia Romawi yang juga penuh perbedaan dan konflik, Paulus menulis:
“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18)

 

Paulus tahu bahwa hidup damai tidak selalu mudah. Akan ada penolakan, bahkan pertentangan. Tetapi ia menekankan: damai adalah tanggung jawab pribadi yang perlu diusahakan “sedapat-dapatnya.”

 

Hidup damai bukan berarti kompromi terhadap iman, melainkan kesaksian tentang iman.
Ketika orang percaya menolak membalas kejahatan dengan kejahatan, ketika mereka tetap lembut dan menghormati yang berbeda, dunia akan melihat wajah Kristus melalui hidup mereka.

 

Damai bukan berarti setuju dalam segala hal, tetapi memilih untuk tidak menghancurkan hubungan karena perbedaan.

Pluralisme: Panggilan untuk Hadir, Bukan Takut

Sering kali, istilah “pluralisme” disalahpahami. Pluralisme bukan berarti semua agama sama, melainkan pengakuan bahwa dunia memang beragam — dan kita dipanggil untuk hidup di dalamnya dengan kasih dan hormat.

 

Menjadi Kristen di tengah dunia plural bukan berarti kehilangan identitas. Sebaliknya, kita sedang meneladani Kristus yang datang bukan untuk menguasai, tetapi untuk melayani.
Kasih-Nya tidak menjadi alat ideologi, melainkan jembatan menuju hati manusia.

 

Kesaksian paling kuat bukan dari debat yang keras, melainkan dari kehidupan yang penuh kasih, jujur, dan rendah hati.
Seperti kata Yesus, “Hendaklah terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di sorga.” (Matius 5:16)

Gereja: Ruang Belajar untuk Hidup dalam Keberagaman

Gereja adalah tempat terbaik untuk belajar hidup dalam perbedaan. Di dalamnya ada beragam latar belakang, cara berpikir, dan tradisi — dan semuanya adalah latihan rohani untuk membangun kasih yang sejati.

 

Jika gereja dapat hidup rukun di tengah perbedaan internalnya, ia akan menjadi kesaksian yang kuat bagi dunia luar. Sebaliknya, jika gereja terjebak dalam sikap eksklusif dan saling menghakimi, maka wajah Kristus akan tertutupi.

 

Yesus sendiri berdoa agar para murid-Nya menjadi satu, “supaya dunia percaya bahwa Engkau telah mengutus Aku.” (Yohanes 17:21)
Kesatuan yang dimaksud bukan keseragaman, melainkan kasih yang mempersatukan di tengah perbedaan.

Hidup Damai: Buah dari Iman yang Sejati

Hidup damai bukan pilihan tambahan bagi orang Kristen — itu bagian dari panggilan utama kita.
Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Matius 5:9)

 

Menjadi pembawa damai berarti:
• Ketika kita mengasihi tanpa syarat, bahkan yang berbeda.
• Ketika Kita menghormati tanpa kehilangan iman.
• Ketika berdialog tanpa merasa paling benar.
• Ketika menjadi terang yang menuntun, bukan bersuara yang memekakkan.

Dunia tidak membutuhkan lebih banyak orang benar yang keras kepala, tetapi orang beriman yang berhati lembut.
Ketika kasih mengalir, damai menjadi mungkin, dan ketika damai hadir, dunia melihat kemuliaan Allah.

Damai sebagai Wajah Kasih Kristus

Pluralitas bukan ancaman bagi iman, melainkan ladang tempat kasih Kristus bertumbuh. Perbedaan bukan penghalang bagi Injil, tetapi kesempatan bagi kasih untuk bekerja. Maka dari itu, mari kita mulai dari hal-hal kecil:
• Belajar mendengarkan orang yang berbeda pandangan.
• Menghormati keyakinan lain tanpa rasa takut.
• Menjadi pembawa damai di lingkungan kerja, keluarga, dan dunia digital.

Hidup damai di tengah perbedaan bukan sekadar etika sosial — itu bukti bahwa Kristus sungguh hidup di dalam kita. (*)

Leave a Reply