“Sepanjang Januari hingga Oktober 2025, sebanyak 15 Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Bangka tercatat mengajukan perkara perceraian di Pengadilan Agama (PA) Kelas 1B Sungailiat”, demikian catatan Harian Laskar Pelangi, 31 Oktober 2025 mengutip pernyataan Juru Bicara Kehumasan PA Sungailiat.
Kasus 15 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bercerai mungkin terbilang kecil, jika dibandingkan dengan jumlah PNS total di Kabupaten Bangka. Namun tidak demikian, jika dicoba untuk disorot dari dimensi status PNS sebagai orang dengan latar belakang berpendidikan dan pengetahuan yang mumpuni. Mereka idealnya memiliki kemampuan pertimbangan yang matang dan dewasa untuk menikah sekaligus kemampuan mengelola dan mengatasi masalah perkawinan mereka secara bijaksana.
Jika kita menilik lebih jauh perihal pertumbuhan kasus perceraian yang dialami oleh keluarga-keluarga pada umumnya di wilayah Kepulauan Bangka Belitung, maka akan sangat mencengangkan dan mencemaskan untuk kita. Sepanjang Januari hingga Oktober 2025, terdapat sebayak 868 kasus perceraian (catatan harian Laspela, 31 Oktober 2025). Apabila kita mencermati secara lebih mendalam akan hal ini, maka kita akan menemukan banyak pihak terdampak atas persoalan ini yang berkorelasi langsung dengan masa depan seseorang atau generasi, karena menyentuh isu ekonomi, pendidikan dan kesehatan fisik maupun mental.
Kita bisa berasumsi bahwa dari perceraian ini akan ada ratusan bahkan ribuan anak-anak yang bertumbuh dengan pola asuh dan perhatian yang timpang. Akan ada juga anak-anak yang hidup dalam kesejahteraan yang terbatas karena kesulitan kebutuhan pangan, sandang dan papan yang layak. Kita juga akan menemukan suatu generasi yang terancam putus sekolah dan pendidikan yang berkualitas karena keterbatasan atau kegagalan pembiayaan hidup. Kondisi ini semakin diperparah dengan tekanan sosial dan psikologis anak-anak yang menjalani hidup dalam keluarga yang terpecah dengan berbagai macam stigma masyarakat.
Ketahanan Pribadi dan Kontribusi Lingkungan
Aneka dampak buruk yang muncul di atas tentu menggugah hati kita untuk bertanya kembali lebih empatik, apa alasan pasangan suami istri bercerai dan apakah bercerai adalah jalan satu-satu menyelesaikan masalah. Apa pula cara-cara yang memungkinkan dilakukan untuk meminimalisasi laju pertumbuhan prosentase kasus perseraian keluarga-keluarga di wilayah Kepulauan bangka Belitung yang kita cintai ini. Secara psikologis, menurut saya ada dua faktor yang sangat berpengaruh pada keputusan perceraian keluarga (PNS) maupun keluarga pada umumnya. Kedua faktor yang dimaksud adalah daya tahan pribadi dan pengaruh lingkungan sosial.
Daya tahan pribadi dapat kita pahami sebagai daya resilience atau daya lentur dan adaptatif setiap pasangan (suami-istri) untuk menghadapi masalah-masalah hidup berkeluarga secara matang dan dewasa. Daya resiliensi atau ketahanan pribadi ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat kita terutama keluarga-keluarga kita dewasa ini. Dengan paradigma hidup dan budaya masyarakat kita yang semakin pragmatis dan instan, tidak jarang ikut mempengaruhi mentalitas suami-istri yang rapuh dan mudah menyerah ketika menghadapi persalan keluarga yang pelik.
Kita menyadari bahwa tidak pernah tidak ada masalah dalam hidup kita, atau dengan kata lain, tidak pernah tidak ada masalah dalam keluarga-keluarga yang hasus disikapi secara positif oleh suami-istri dalam mengarungi hidup perkawinan mereka. Dalam situasi demikian, daya resiliensi atau daya tahan pribadi suami-istri adalah hal mutlak yang perlu dimiliki. Jika daya tahan pribadi suami-istri melemah, tentu masalah-masalah rumah tangga yang dihadapi gagal diselesaikan dan terus bertumpuk sampai berpuncak pada keputusan bercerai atau berpisah.
Selain daya relisiensi, kontribusi lingkungan masyarakat juga menjadi tantangan untuk dikritisi secara bijaksana. Sikap masayarakat yang mengafirmasi pasangan suami-istri untuk bercerai, tidak jarang menjadi faktor penguat positif secara psikologis bagi suami-istri untuk melakukan hal yang sama. Kontrol masyarakat yang lemah atas kelanggengan hidup berkeluarga, tidak jarang berpengaruh pada sikap suami-istri yang permisif terhadap keputusan bercerai. Selain itu juga persitiwa perceraian dari keluarga dengan status figur publik juga punya potensi kuat menjadi teladan dan referensi suami-istri lain untuk mengambil sikap yang sama.
Konteks sosial seperti di atas berkontribusi kuat pada keputusan para suami-istri untuk bercerai. Kontribusi ini tentu tidak secara langsung terjadi, tetapi secara tidak langsung melalui keteladanan dan proses belajar yang spontan dan alamiah. Perceraian dari pasangan suami istri yang memiliki peran sosial tertentu, keluarga, sahabat atau teman dekat tidak jarang membangkitkan sikap komformitas pasangan bermasalah untuk mengambil sikap yang sama. Hal inilah yang dimaksudkan dengan kontribusi lingkungan yang turut memperkuat keyakinan setiap pasangan suami-istri untuk terus merawat hidup perkawinannya atau sebaliknya menyerah dan memutuskan untuk bercerai.
Masa Persiapan Pernikahan yang Berkualitas
Keputusan untuk bercerai atau atau melanjutkan hidup perkawinan adalah prilihan privat dan prerogative setiap pasangan yang hidup berkeluarga. Meskipun demikian, dengan disposisi dasar dimana kita melihat hidup perkawinan sebagai pilihan dan cara hidup yang suci dan luhur, barangkali perlu kita memikirkan juga kemungkinan-kemungkinan alternatif yang dapat melindungi keluarga-keluarga dari bahaya perceraian.
Hal yang menurut saya, paling mendasar dapat dilakukan oleh masyarakat dan terutama institusi yang punya otoritas untuk membantu keluarga-keluarga bertahan dalam beraneka ragam problem hidup rumah tangga adalah persiapan hidup perkawinan. Dewasa ini rasanya sangat mendesak bagi kita untuk mendesign program-program persiapan perkawinan (hidup berkeluarga) bagi orang-orang muda secara dini sehingga mereka lebih siap memasuki masa perkawinan dengan langgeng dan bahagia. Program persiapan ini dapat dilakukan secara holistik menyentuh seluruh dimensi hidup berkeluarga menyangkut aspek ekonomi, spiritual, sosial, psikologi maupun manajemen hidup berkeluarga serta hal lain yang relevan dengan kehidupan berumah tangga.
Program persiapan dini yang dilakukan dapat mengatisipasi setiap calon suami-istri atau pasangan hidup untuk memilih dan membuat keputusan menikah secara tepat dan bebas serta menjalani hidup berumah tangga dengan dewasa. Program persiapan ini juga seyogyanya memberikan ketrampilan-ketrampilan teknis pengolahan diri calon untuk dapat mengahadapi masalah hidup bersama dengan hati yang tenang dan damai, sekaligus mampu mengendalikan konflik yang berkelanjutan dalam relasi sebagai suami-istri. Dengan cara demikian, kita turut membantu menekan lonjakan kasus perceraian sekaligus mendorong keluarga-keluarga menata hidup bersama yang lebih bahagia dan menyenangkan sebagaimana tujuan sebuah rumah tangga dibangun. (*)

Leave a Reply