Opini  

Ketika Bahasa Kantor Tak Lagi Berbahasa Indonesia

Oleh: Uky Eji Anggara (Dosen Bahasa Indonesia Universitas Bangka Belitung)

Avatar photo

“Ada deck-nya enggak?”
“Kita align dulu ya biar on track.”
Dialog seperti itu kini akrab terdengar di ruang-ruang kerja urban, khususnya yang diisi generasi muda. Kata-kata serapan seperti jump in, align, deck, reach out, hingga follow up seolah menjadi standar baru dalam komunikasi profesional. Bahasa Inggris bukan lagi sekadar pelengkap dalam laporan atau dokumen resmi, tetapi telah menyusup ke dalam struktur sehari-hari bahasa lisan di kantor termasuk di antara penutur Bahasa Indonesia.

 

Fenomena ini tidak bisa dipandang remeh. Di satu sisi, ia mencerminkan realitas dunia kerja global dan kebutuhan efisiensi dalam berkomunikasi. Namun di sisi lain, tren ini mulai menimbulkan jarak antargenerasi dan berisiko menjauhkan Bahasa Indonesia dari habitat resminya: dunia profesional.

Bahasa Sebagai Gaya, Bukan Fungsi
Bukan hal baru jika dunia kerja mengadopsi istilah asing untuk kebutuhan teknis. Dunia teknologi, manajemen proyek, hingga keuangan sering kali menuntut akurasi istilah yang sulit dicari padanannya dalam bahasa lokal. Akan tetapi, yang kini mengemuka bukan lagi masalah teknis, melainkan kebiasaan berbahasa yang lebih bertumpu pada gaya dibanding fungsi.
Ketika seseorang lebih memilih mengatakan “izin jump in dulu ya” alih-alih “izin masuk dan memberi masukan ya”, atau “ada deck-nya enggak?” daripada “sudah ada materi presentasinya belum?”, maka bahasa tidak lagi menjadi alat komunikasi, tetapi simbol keanggotaan. Bahasa menjadi semacam kode kelompok, penanda identitas generasi, dan secara tidak sadar menciptakan batas: siapa yang masuk dan siapa yang tertinggal.

 

Situasi ini dapat menjadi eksklusif, terutama bagi rekan kerja yang berasal dari generasi berbeda, atau dari latar non-urban dan non-korporat. Bahasa yang seharusnya menjembatani justru berubah menjadi pagar simbolik. Di sinilah kita perlu berefleksi: apakah kita sedang membangun komunikasi, atau menciptakan sekat dalam diam?

Etika Berbahasa di Ruang Kerja

Bahasa Indonesia bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga bagian dari jati diri profesionalisme di negeri ini. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, dijelaskan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen dan komunikasi resmi di instansi pemerintah, swasta, dan lembaga pendidikan.

Namun realitasnya, penggunaan Bahasa Indonesia dalam ruang profesional justru semakin dipinggirkan oleh praktik internal sendiri. Padahal, etika komunikasi profesional bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga soal keberterimaan lintas usia, latar, dan budaya organisasi. Ketika terlalu banyak istilah asing digunakan tanpa kejelasan makna bagi semua pihak, maka etika komunikasi itu sendiri menjadi bias.

 

Kita tentu tidak menafikan bahwa generasi muda terutama generasi Z adalah kelompok yang tumbuh dengan literasi digital dan jejaring global. Namun globalisasi tidak seharusnya membuat kita kehilangan akar. Apalagi ketika bahasa ibu justru mulai terasa asing di tanah sendiri.

Solusi: Bijak, Bukan Kaku

Kita tidak sedang menyerukan pelarangan istilah asing dalam kantor. Dunia kerja memang menuntut fleksibilitas dan kecepatan. Namun, kita bisa mengupayakan keseimbangan: menggunakan istilah asing yang memang tidak terwakili dalam Bahasa Indonesia, sekaligus tidak menggunakannya secara berlebihan.
Etika berbahasa profesional perlu menekankan prinsip kejelasan, keberterimaan, dan inklusivitas. Jangan sampai gaya komunikasi yang tampak canggih justru mengalienasi kolega, menimbulkan salah paham, atau mempersempit partisipasi.

Mungkin sudah waktunya kantor-kantor di Indonesia menyusun glosarium internal yang menjelaskan istilah-istilah kerja populer agar dapat diakses semua kalangan. Atau bahkan lebih jauh, menghadirkan pelatihan komunikasi lintas generasi, agar bahasa benar-benar menjadi alat kolaborasi, bukan pemisah.

Menjaga Rumah Bahasa

Jika ruang profesional di negeri ini semakin nyaman berbahasa asing dan semakin asing terhadap Bahasa Indonesia, maka kita patut bertanya: di manakah rumah sejati Bahasa Indonesia hari ini?

Ruang kerja, sebagai tempat orang dewasa menghabiskan sebagian besar waktunya, mestinya menjadi benteng sekaligus jembatan penggunaan Bahasa Indonesia yang profesional, lugas, dan beretika. Bahasa Indonesia tidak akan berkembang jika ditinggalkan di rumah dan hanya dipakai di sekolah. Ia harus dihidupkan di ruang-ruang strategis termasuk dalam percakapan profesional sehari-hari.

Menggunakan Bahasa Indonesia secara tepat bukan berarti ketinggalan zaman. Justru dari situ kita menunjukkan kedewasaan berbahasa bahwa kita tahu kapan harus sederhana, kapan perlu teknis, dan kapan harus kembali pada akar. Sebab, pada akhirnya, identitas tidak hanya ditentukan oleh apa yang kita kerjakan. Ia juga ditentukan oleh bahasa apa yang kita pilih untuk mengatakannya. (*)

 

Leave a Reply