Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia tidak hanya ingin ada (being), sekedar hidup di atas biosfir bumi; hadir, berkembang secara fisik dan kemudian mati, melainkan hidup bermakna (eksis), keberadaan dirinya menjadi berkualitas hingga diakui dan kemudian dihargai oleh orang-orang disekitarnya.
Bila tidak, maka ia bukan manusia sesungguhnya, sama halnya dengan makhluk lain, hewani dan nabati.
Filosofi tersebut tidak juga berbanding lurus dengan fakta empirik kehidupan sebagian manusia, lebih spesifik sikap sebagian manusia terhadap alam. Mereka kurang bersahabat bahkan lalai–zhalim terhadap dirinya sendiri dan juga orang lain serta alam disekitarnya.
Hakikatnya secara kosmologis, semua makhluk hidup sama, diciptakan dari tiada (cretio exnihilo) lalu ada, tak terkecuali manusia.
Manusia secara substansial merupakan bagian dari alam (kosmos besar) yang mengandung beberapa unsur, yaitu: tanah, air, api dan udara. Hanya saja dua potensi berupa akal (logika) dan kalbu yang membedakannya dengan makhluk bumi lainnya.
Fungsionalisasi dua potensi tersebut menjadikan manusia lebih mulia. Adapun Tuhan, Allah Swt adalah realitas tertinggi (The ultimate reality) membawahi seluruh alam semesta ciptaan-Nya dan mengemanasikan Nur Ilahi kepada manusia yang dikehendaki-Nya.
Allah menegaskan dalam QS.An-Nuur (24): 35–artinya: “Cahaya diatas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Ia kehendaki”.
Tidak ada kata terlambat, sudah saatnya manusia bersyukur; menghaturkan penghambaan dirinya kepada Tuhan, Allah Swt. dalam bentuk penunaian nilai ajaran agama; berbuat baik dan berempati dengan sesama manusia; dan bersikap lembut (soft approach) terhadap alam.
Sinergitas Tuhan, alam dan manusia berimplikasi terhadap keberlangsungan kehidupan sebagai pijakan menuju alam akhirat.
Sebagai Khalifah di bumi, manusia diharapkan mengemban amanat otoritas kekhalifahan, sebagai berikut: pertama, al-Intifa” (kebermanfaa diri).
Sejak masa kecilnya, seseorang sudah dikenalkan kepada orang-orang dan lingkungan disekitarnya, diantaranya agar ia memiliki kepedulian terhadap sesama.
Tanpa alam, manusia mustahil ada karena sebagaimana diurai, bahwa ia berasal dari unsur-unsur dalam alam ciptaan Tuhan. Maka dari itu sebagai makhluk hidup yang sempurna, manusia mesti berperan aktif dengan cara mengoptimalkan kebermanfaatan dirinya bagi yang lain.
“khairun-Naas Anfa’uhum lin-Naas wa Ahsanuhum Khuluqan” (sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia, dan yang baik akhlaknya).
Dalam hal kepemilikan hak penuh terhadap sesuatu ( haqqut-Tamliik) sekalipun karena proses tertentu, hal itu ada hak orang, al-Ashnaaf ats-Tsamaaniyah (kelompok delapan) misalnya. Artinya ada manfaat bagi orang lain untuk tujuan kemaslahatan sosial.
Kedua, al-I’tibar. Ketika akal dan kalbu menjadi potensial dalam diri seseorang, maka ia dianggap lebih berkualitas. Teori yang dihasilkan menjadi pijakan bagi akademisi untuk lakukan pendalaman dan kajian ilmiah berikutnya.
Alam semesta adalah objek yang mesti dicermati melalui tahapan ilmu pengetahuan sehingga dapat diambil manfaatnya untuk keberlangsungan hidup di bumi.
Butir timah di kepulauan ini yang menjelma produk teknologi tertentu adalah bentuk penguatan peran manusia pada amanat otoritas kekhalifahan kedua tersebut.
Adapun ketiga, al-Ihtifazh (pemeliharaan). Manusia dilarang merusak apapun dan siapapun di bumi, sebaliknya ( manusia) harus memelihara semuanya. Antar sesama, mereka mesti menyatu, saling menjaga diri dan tingkatkan kepedulian satu sama lain.
Dalam QS.Al-Isra'(17):37–artinya:”Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong. Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi, dan tidak akan sampai setinggi gunung”.
Otoritas kekhalifahan tersebut tidak boleh disalahgunakan oleh manusia. Bumi dan seisinya dalam keadaan pasrah demi keberlangsungan hidup manusia, tinggal bagaimana cara mereka menyikapinya.
Dalam QS.Al-Mulk (67):15–Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya, dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali setelah dibangkitkan”.
Ketiga hal tersebut adalah bentuk kecerdasan– menggiring kita sebagai makhluk hidup agar mengambil peran dalam kehidupan di bumi. *Waajib wujuuduna”, keberadaan diri kita adalah wajib bagi yang lain, bukan sebaliknya, tidak dikehendaki. Mari mencerdasi alam.Wassalam.(*)







Leave a Reply