Opini  

Sikap Humanis untuk Berpikir Moderat dan Progresif; Refleksi Hari Santri

Oleh: Endang Kusniati, M.A. (Alumni YPP. Darul Ulum Pulau Rimau, Sumsel dan Dosen IAIN SAS Babel)

Avatar photo
Editor: Iwan Satriawan
Endang Kusniati, M.A.

Hari Santri, yang diperingati pada setiap tanggal 22 Oktober, bukan hanya sekedar momentum/mengenang peran santri dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, melainkan menjadi refleksi mendalam tentang peran strategis santri dalam menjawab tantangan zaman.

Dalam konteks kekinian, peringatan ini semestinya menjadi pijakan humanis untuk melahirkan generasi santri yang inklusif, berpikir moderat, dan berpikir progresif, serta memiliki kiprah nyata di tengah masyarakat, bahkan sampai menjadi tokoh nasional dan internasional.

Santri: Pilar Inklusivitas dalam Keberagaman

Pesantren sebagai rumah besar bagi para santri sejatinya adalah ruang multikultural dan inklusif. Santri tumbuh dalam lingkungan yang penuh perbedaan latar belakang sosial dan ekonomi.

Hal tersebut kemudian membentuk karakter santri yang terbuka dan inklusif, menghargai perbedaan, serta mampu menjembatani keragaman.

Inklusivitas ini sangat penting di tengah ancaman polarisasi dan intoleransi yang berkembang di ruang-ruang publik.

Lebih dari itu, inklusivitas santri juga membuka ruang yang adil bagi perempuan untuk tampil setara dalam pendidikan dan kepemimpinan.

Banyak pesantren kini membuka peluang besar bagi santri perempuan untuk belajar, menulis, berdakwah, bahkan menjadi pemimpin umat.

Moderasi Berpikir: Warisan Ulama Nusantara

Santri dididik untuk berpikir moderat—yakni tidak ekstrem kiri maupun kanan. Moderasi ini tidak hanya dalam hal akidah dan fiqih, tetapi juga dalam menyikapi persoalan sosial, politik, dan budaya di Tengah Masyarakat yang plural.

Para kiyai dan ulama pesantren mengajarkan pentingnya tasammuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan) dalam hidup bermasyarakat.

Moderasi adalah jalan tengah yang menjadikan santri sebagai penjaga harmoni sosial.

Moderasi berpikir ini menjadi fondasi penting bagi santri di era digital yang rawan hoaks, ujaran kebencian, dan narasi keagamaan yang sempit.

Santri yang dibekali sikap kritis dan pemahaman teks yang mendalam dapat menjadi penangkal radikalisme berbasis agama dan menghadirkan wajah Islam yang damai, toleran, dan solutif.

Santri Progresif: Menjawab Tantangan Zaman

Selain inklusif dan moderat, santri juga harus tampil sebagai sosok progresif—mampu membaca realitas zaman dan meresponsnya secara adaptif.

Di era digital dan globalisasi, tantangan tidak lagi sekadar mempertahankan tradisi, tapi juga bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin ke dalam kehidupan modern, baik di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, hingga lingkungan hidup.

Sebagai Santri harus mampu mengisi ruang-ruang strategis tanpa kehilangan identitas keilmuannya.

Santri progresif adalah mereka yang mampu berdialog dengan masa depan tanpa tercerabut dari akar.

Banyak santri kini tampil sebagai inovator sosial, pendidik digital, hingga pengusaha muda berbasis nilai-nilai etika Islam. Santri perempuan pun tidak ketinggalan dalam menggerakkan perubahan.

Misalnya, melalui gerakan literasi, kampanye lingkungan berbasis pesantren, hingga pengembangan ekonomi mikro di kalangan ibu-ibu pesantren dan Masyarakat secar aluas.

Dengan begitu, progresivitas santri menjadi nyata dan relevan untuk kebutuhan zaman.

Dari Pesantren ke Panggung Nasional dan Internasional

Bukti konkret peran santri dalam masyarakat dapat dilihat dari banyaknya tokoh besar yang lahir dari rahim pesantren, antara lain:

Pertama. KH. Hasyim Asy’ari, ia adalah sosok yang memiliki pengaruh penting sekaligus sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pelopor pendidikan pesantren dan pejuang kemerdekaan.

Ketokohannya pun tidak diragukan di kancah dunia.

Kedua. KH. Ahmad Dahlan, yang tak kalah penting dari tokoh lainnya, ia juga sebagai pendiri Muhammadiyah, secara nasional ia pun dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam. Selain itu gaungnya pun dikenal ke kancah dunia.

Ketiga. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sekaligus anak dari K.H. Hasyim Asy’ari, merupakan Presiden RI ke-4, ia juga sebagai simbol pluralisme, demokrasi di Indoensia, dan pemikirannya tentang Islam yang mendunia.

Keempat. KH. Ma’ruf Amin, sebagai Wakil Presiden RI 2019–2024, juga sebagai ulama fikih ekonomi Islam yang produktif.

Kelima. KH. Sahal Mahfudh, ia adalah Ulama dan intelektual pesantren yang dikenal moderat dan berpikiran maju.

Keenam. KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), kiprahnya sebagai Budayawan, sastrawan, dan tokoh spiritual yang menjadi panutan banyak kalangan lintas agama.

Ketujuh. Khofifah Indar Parawansa, ia adalah Santri perempuan yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur, menunjukkan bahwa perempuan pesantren juga bisa berperan diranah politik menjadi seorang pemimpin dan menginspirasi.

Kedelapan. Alissa Wahid , merupakan anak dari Gus Dur. Ia jiga dipersepsikan sebagai tokoh pluralisme seperti ayahnya dan sebagai tokoh perdamaian, aktif dalam gerakan sosial, dan pelopor Moderasi Beragama dari kalangan santri perempuan.

Nama-nama tersebut menunjukkan bahwa santri bukan hanya pelajar agama, tetapi agen perubahan yang membawa nilai-nilai Islam ke dalam arus utama pembangunan bangsa, tanpa membedakan jenis kelamin, latar belakang sosial, atau pilihan jalur pengabdian.

Mereka menjadi bukti nyata bahwa dari pesantren bisa melahirkan para tokoh besar dan pemimpin dengan pemikiran yang visionir dan akhlak menjadi pondasi utama.

Refleksi Hari Santri harus melampaui seremoni dan nostalgia. Ini adalah momentum untuk membumikan nilai-nilai humanisme Islam yang melekat dalam tradisi pesantren: inklusif, moderat, dan progresif.

Santri masa kini harus tampil sebagai kekuatan sosial yang membawa perubahan, membangun bangsa dengan semangat kebhinekaan, dan menjadi cahaya di tengah zaman yang penuh tantangan.

Dari pesantren, lahirlah peradaban—melalui peradaban itu akan tumbuh kekuatan.

Kekuatan itu akan tercapai ketika santri laki-laki maupun perempuan berjalan bersama, setara dalam membawa cahaya ilmu dan akhlak bagi Indonesia dan dunia.(*)

Leave a Reply