RAPAT Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia sepanjang 2025 menandai perubahan fase kebijakan yang jelas: setelah menahan suku bunga pada semester I, BI memangkas suku bunga kebijakan secara bertahap hingga berada di 4,75% pada RDG 16–17 September 2025 (Bank Indonesia, 2025).
Pelonggaran ini didukung oleh profil inflasi yang tetap terkendali dalam sasaran 2,5% ±1%. Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi year-on-year (yoy) September 2025 sebesar 2,65%, dengan inflasi inti 2,19% (BPS, 2025). Secara teori, biaya dana yang lebih rendah semestinya mengalir ke biaya kredit yang lebih murah, memantik konsumsi dan investasi, dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan.
Namun, data terkini menunjukkan bahwa transmisi moneter ke segmen UMKM masih lambat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan kredit UMKM pada Juli 2025 hanya 1,82% yoy, jauh di bawah kredit agregat perbankan yang tumbuh 7,03% yoy; sementara itu, kredit modal kerja indikator nadi operasional usaha hanya meningkat 3,08% yoy (OJK, 2025) Fenomena inilah yang memantik pertanyaan utama tulisan ini: mengapa dalam lingkungan “uang murah”, kredit produktif UMKM justru bergerak lamban?
Kebijakan Moneter BI
Serangkaian pemangkasan suku bunga kebijakan Bank Indonesia hingga 4,75% pada September 2025 menandai fase pelonggaran moneter yang terukur. Namun, likuiditas berbiaya rendah belum bermuara pada percepatan kredit UMKM. mengapa transmisi moneter tersendat dari sisi permintaan, sesuai dengan bukti empiris internasional (BIS, IMF, OECD, ADB) serta data terkini BI–BPS–OJK, dan menawarkan paket kebijakan pelengkap agar uang murah tidak menjadi uang diam.
Sejak paruh kedua 2025, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga kebijakan berturut-turut hingga 4,75% (17 September 2025). Secara teori, uang murah dengan biaya pinjaman lebih rendah semestinya mendorong konsumsi, investasi, dan pada gilirannya permintaan kredit. Namun data terbaru menunjukkan transmisi ke kredit UMKM masih tertahan menandakan bahwa problem kita kini lebih banyak bertumpu pada sisi permintaan dan friksi kelembagaan, bukan semata pada sisi suku bunga.
Argumen makro ekonominya sederhana, inflasi berada dalam rentang sasaran BI sehingga pelonggaran punya justifikasi yang kuat. BPS mencatat inflasi tahunan 2,65% (September 2025) level yang memberikan ruang kebijakan tanpa menimbulkan lonjakan harga. Dalam kerangka kebijakan, kombinasi inflasi yang terkendali dan stabilitas nilai tukar memberi alasan untuk “menurunkan pedal rem”. Namun, meredanya inflasi tidak otomatis mengubah perilaku kreditur maupun debitur, terlebih di segmen mikro dan kecil.
Realitas Kredit Usaha Kecil
Di lapangan, laju kredit UMKM hanya tumbuh 1,82% yoy (Juli 2025), jauh di bawah kredit korporasi dan juga di bawah pertumbuhan kredit perbankan agregat 7,03% yoy. Bahkan, kredit modal kerja yang menjadi nadi operasional usaha kecil baru naik 3,08% yoy. Angka-angka ini memberi sinyal jelas penurunan bunga acuan belum berujung pada akselerasi intermediasi ke segmen yang paling padat pelaku usaha. Ini memperkuat hipotesis bahwa mekanisme transmisi saat ini tertahan oleh faktor kualitas permintaan seperti order, prospek penjualan, margin dan faktor institusional seperti persyaratan agunan, biaya non-bunga, proses.
Beberapa literatur terbaru memberi lensa interpretatif yang penting, seperti Checo, Grigoli, dan Sandri (BIS WP No. 1170, 2024) menunjukkan bahwa transmisi moneter di negara berkembang bukan ilusi, tetapi heterogen dan kuat-lemahnya sangat bergantung pada struktur keuangan domestik, kedalaman pasar, dan saluran risiko. Dengan kata lain, pelonggaran BI memang bekerja tetapi efektivitasnya tak seragam lintas segmen; UMKM yang thin-file atau volatil permintaannya cenderung kurang merespons penurunan policy rate. Temuan ini konsisten dengan realitas di Indonesia saat ini, bahwa suku bunga acuan turun, tetapi kanal kredit UMKM berjalan tersendat.
IMF (2024) juga menemukan bukti yang kuat di Indonesia bahwa hambatan UMKM antara lain : agunan yang rigid, biaya transaksi tinggi, dan proses yang kompleks terutama bagi usaha muda dan domestik. Ini adalah friksi yang menahan appetite untuk berutang sekaligus menahan bank memperluas penyaluran ke segmen berisiko. Di sini letak paradoks “uang murah”, ketika neraca debitur rapuh, ketidakpastian permintaan tinggi, dan data historis usaha minim, penurunan suku bunga tak cukup untuk mengubah keputusan investasi.
Dari sisi desain kebijakan, Borio (BIS, 2024) mengingatkan bahwa efektivitas moneter abad-21 sangat ditentukan oleh kebijakan pelengkap. Moneter bisa menjaga harga dan mengelola siklus, tetapi bottleneck structural utang publik tinggi, friksi keuangan non-bank, dan asimetri informasi membatasi “jangkauan” transmisi. Bagi Indonesia, pesan kebijakan ini berarti pelonggaran suku bunga perlu “pasangan” berupa reformasi dari sisi mikro, seperti penjaminan berbagi risiko (partial credit guarantee) yang lebih luas, alternative data/credit scoring untuk mengatasi keterbatasan data UMKM, serta reduksi biaya non-bunga (administrasi, legal, appraisal) yang sering kali lebih menentukan daripada basis points penurunan suku bunga.
Solusi Kunci
Implikasinya untuk tahun 2025–2026 ada tiga. Pertama, fokuskan transmisi pada kredit produktif di hulu permintaan: proyek agregator rantai pasok (off-taker jelas harus jelas), pengadaan pemerintah yang memihak UMKM, dan fasilitasi purchase-order financing. Tanpa kepastian order, minat berutang akan tetap rendah. Kedua, perkuat penjaminan dan pembiayaan berbasis piutang (invoice financing) agar bank tidak menanggung seluruh risiko; desain yang baik menurunkan risk weight sehingga bunga efektif bisa benar-benar turun. Ketiga, percepat integrasi data (perpajakan, e-commerce, utilitas, POS) agar kualitas penilaian kredit naik; ketika informasi meningkat, spread risiko menurun, dan transmisi moneter menjadi lebih inklusif bukan hanya terasa oleh korporasi besar.
Pada akhirnya, narasi easy money Indonesia 2025 adalah kebijakan tepat momentum dari sisi makro BI-Rate turun, inflasi terkendali tetapi belum otomatis menjelma menjadi pertumbuhan kredit UMKM. Agar uang murah tidak menjadi “uang diam”, kita butuh arsitektur pelengkap: penguatan penjaminan, digitalisasi penilaian risiko, pemangkasan biaya non-bunga, dan orkestrasi permintaan lewat proyek yang bankable. Dengan paket semacam ini, pelonggaran moneter tak sekadar mengalir di pasar uang, tetapi benar-benar menggerakkan mesin produksi kecil yang menopang ketahanan ekonomi. Semoga di triwulan ke III dan IV tahun 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali melesat dan mencatatkan pertumbuhan sesuai target yaitu ditas 5%. (*)
Leave a Reply