Religi  

Damai di Tengah Badai:  Pengharapan dalam Kristus di Saat Krisis

Oleh : Pendeta Frank Sinatra (Bamag LKKI)

Avatar photo
Markus 4:35-41
35 Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang.” 36 Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. 37 Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. 38 Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” 39 Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. 40 Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” 41 Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?”
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia telah menyaksikan krisis global yang berdampak luas—dari pandemi yang melumpuhkan sendi sendi sosial Masyarakat, problem kesehatan mental, konflik sosial, krisis iklim, dan perang terjadi dimana-mana, hingga tekanan ekonomi yang menggerus harapan banyak orang.
Di tengah realitas ini, umat percaya pun tidak luput dari rasa cemas, kebingungan, dan kehilangan arah. Banyak jemaat bergumul dengan kehilangan pekerjaan, ketidakstabilan keluarga, atau pertanyaan eksistensial tentang masa depan. Dalam situasi seperti ini, pertanyaannya adalah: di mana kita dapat menemukan ketenangan sejati?
Perikop ini terjadi pada awal pelayanan Yesus di Galilea. Yesus dan murid-murid-Nya menyeberangi Danau Galilea—sebuah danau yang dikenal dengan badai mendadak karena letak geografisnya yang rendah dan dikelilingi oleh pegunungan. Para murid, beberapa di antaranya adalah nelayan berpengalaman (seperti Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes), menunjukkan bahwa badai tersebut bukan badai biasa, melainkan sesuatu yang sangat mengancam jiwa mereka.
Menariknya, Yesus sedang tidur di buritan perahu—sebuah gambaran kemanusiaan-Nya yang penuh kedamaian bahkan dalam bahaya. Ketika dibangunkan, Yesus menegur badai dan badai itu pun reda seketika. Ini adalah salah satu dari sedikit peristiwa dalam Injil Markus yang secara eksplisit menunjukkan otoritas Yesus atas alam semesta—suatu atribut yang secara teologis hanya dimiliki oleh Allah dalam pemahaman Yahudi kuno (bdk. Mazmur 107:29).
Peristiwa ini tidak sekadar menunjukkan mukjizat Yesus secara spektakuler, tetapi mengungkapkan dua hal penting: (1) identitas ilahi Yesus yang berkuasa atas ciptaan, dan (2) tantangan terhadap iman para murid yang belum memahami siapa Yesus sepenuhnya. Pertanyaan Yesus—”Mengapa kamu takut?”—mengarah pada inti persoalan: iman yang rapuh dalam menghadapi realitas hidup. Ketakutan mereka adalah reaksi manusiawi, tetapi juga mencerminkan kegagalan mereka untuk mempercayai bahwa Yesus, yang bersama mereka dalam perahu, adalah Tuhan yang sanggup menenangkan badai.
Perikop ini berbicara kuat kepada jemaat masa kini yang sedang “terombang-ambing” oleh badai kehidupan—baik itu tekanan ekonomi, ketidakpastian pekerjaan, masalah keluarga, atau krisis identitas rohani. Seperti para murid, kita sering merasa Yesus “tidak peduli” ketika badai datang. Kita bertanya-tanya, “Tuhan, di mana Engkau saat aku menderita?” Namun teks ini mengingatkan bahwa Yesus ada di perahu yang sama dengan kita. Ia tidak hanya menyaksikan dari jauh, tetapi hadir dan mampu bertindak.
Lebih dari itu, badai dalam hidup bukanlah bukti bahwa Tuhan absen, melainkan kesempatan bagi iman kita untuk bertumbuh. Dalam budaya yang sangat mengandalkan kontrol dan kepastian, iman menuntut kita untuk menyerahkan kendali kepada Tuhan dan percaya bahwa Ia berdaulat, bahkan ketika kita tidak mengerti jalan-Nya.
Sebagaimana Yesus menantang murid-murid untuk mempercayai-Nya di tengah badai, demikian juga kita diajak untuk memperdalam iman kita dalam situasi sulit.  Diantaranya:
1. Mengenali kehadiran Kristus di tengah krisis—bahwa Dia tidak tidur terhadap penderitaan kita.
2. Menumbuhkan kepercayaan kepada kuasa-Nya—bahwa Ia sanggup menenangkan badai kapan pun Ia kehendaki.
3. Menanggapi krisis bukan dengan ketakutan, tetapi dengan iman—sebagai kesaksian bahwa kita memiliki pengharapan yang kokoh di dalam Kristus.
Mari kita belajar melihat krisis bukan sebagai akhir, tetapi sebagai tempat perjumpaan dengan Tuhan yang hidup. AMIN. (*)

Leave a Reply