Opini  

Mengingat Kembali PILKADA Bangka dan Pangkalpinang

Oleh: Rusydi Sulaiman, Direktur Madania Center & Guru Besar dalam Kepakaran Bidang Pengkajian Islam IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung

Avatar photo
Editor: Iwan Satriawan
Rusydi Sulaiman

Ketika seorang beberapa hari lalu mengajak berdiskusi tentang Pilkada ulang di Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang yang berlangsung pada 27 Agustus 2025 lalu, mengingatkan saya kembali ke perhelatan politik tersebut.

PILKADA pasca kemenangan “Kotak Kosong” dengan segala yang melekat merupakan fenomena tersendiri di negeri ini, walaupun penduduk setempat menganggapnya biasa saja.

Terasa tidak begitu serius dan berlalu begitu saja. Mudah-mudahan tidak demikian, karena sebuah daerah mesti dipegang sosok pimpinan atau pemimpin yang memiliki niat memajukan daerahnya.

Terlepas dari siapapun terpilih sebagai kepala daerah, baik Bupati dan Wakil Bupati ataupun Walikota dan Wakil Walikota, seorang akademisi berharap agar sebuah PILKADA lahirkan pemimpin atau pimpinan ideal, terpilih secara demokratis dan kemudian mampu jalankan kepemimpinannya dengan amanah dan penuh tanggung jawab.

Mudah-mudahan rakyat memilih atas dasar kekuatan hati nurani sehingga menentukan pilihannya, bukan pesanan apalagi karena faktor politik uang; godaan money politics .

Orang bijak mengingatkan: idealisme tidak boleh tergadaikan, karena memilih pimpinan/ pemimpin adalah suatu hal yang prinsip. Bila salah, maka hal tersebut akan memberi dampak yang tidak baik.

Sekali lagi, akademisi menginginkan niat dan proses yang baik ( shahiihun fin-Niyyah wa shahiihun fit-Tahshiil )–dua indikator baiknya sebuah perbuatan.

Faktanya seringkali tidaklah demikian walaupun tidak sepenuhnya benar. PILKADA yang semestinya diidealisasi kemudian menjadi sangat pragmatis keduniaan.

Maka dari itu tidaklah salah bila muncul gugatan atau protes karena ketidakpuasan pihak tertentu atas proses yang diduga menyimpang dari yang semestinya.

Sejak jalur legal formal yang terdiri dari 3 bidang; eksekutif, legislatif dan yudikatif–diperkuat dengan sistem birokrasi pemerintahan–hal tersebut menjadi sangat diminati oleh masyarakat umumnya.

Sikap euforia terhadap tiga bidang tersebut menguat; sistemik bahkan meng-ideologis–mengusik suasana kejiwaan masyarakat. Sangat menggoda apalagi dalam perspektif para calon.

Apapun akan ditempuh oleh pihak tertentu dan atau seseorang untuk gapai posisi tertentu di jalur legal formal tersebut sebagai birokrat.

Sepertinya hal tersebut yang semata-mata diobsesikan dalam hidup ini–sangat-sangat pragmatis keduniaan. Namun kita tetap berharap semangat tersebut diniatkan untuk ibadah.

Bila sudah terpilih, maka dibenak kepala daerah adalah jabatan yang dipegang untuk tujuan kemaslahatan sosial.

Dari sebuah jabatan muncullah otoritas atau kekuasaan ( authority ), polesi ( policy ) dan semacamnya yang tidak boleh disalah gunakan.

Ia adalah amanat yang mesti dipertanggungjawabkan. Sekedar memimpin sangatlah mudah, tapi memimpin dengan tujuan perubahan ke arah yang lebih baik pastinya tidaklah mudah.

Setidaknya ada empat syarat bagi pimpinan atau pemimpin, yaitu: hikmah (bijaksana), ‘adaalah ( keadilan), ‘iffah (kelembutan hati, pemaaf, s oft approach ) dan syajaa’ah (keberanian moral).

Bila hal tersebut melekat pada kepala daerah terpilih, maka apa yang masyarakat inginkan akan terwujud. Mudah-mudahan terbukti. selamat memimpin. Wassalam.(*)

Leave a Reply