BARU-baru ini, di waktu yang berbeda, penulis sempat berjumpa dengan beberapa warga luar Babel yang habis berpelancong ke berbagai destinasi wisata di bumi Serumpun Sebalai. Perbincangan pendek kami nyaris selalu didominasi oleh kisah pengalaman berkesan dan decak kagum mereka terhadap ragam model, bentuk dan citra rasa kuliner lokal yang membuat mereka selalu merindukan Babel, bahkan kebanyakan mereka merencanakan akan kembali berpelancong ke Babel sekedar menepi dari hiruk-pikuk pekerjaan dan sesaknya ruang kota tempat mereka tinggal.
Selama ini, kita mungkin sudah bosan mendengar narasi puja-puji soal daya tarik keindahan panorama alam Babel yang begitu unik, indah dan tak kalah mempesona dengan obyek dan daya tarik wisata (ODTW) lainnya yang tersebar di berbagai daerah.
Retorika yang berkembang terkait destinasi wisata yang terus-menerus mengagungkan keindahan panorama alam Babel tanpa disertai keseriusan menggarap berbagai sektor penopang penting lainnya dalam industri turisme lokal secara terintegrasi, tentu bisa menggiring para pengambil kebijakan di daerah untuk selalu terobsesi membangun proyek infrastruktur mahal dan mudah mendapatkan pujian publik. Padahal, berbagai proyek tersebut tidak jarang justru kurang berkontribusi langsung dalam mendongkrak partisipasi masyarakat lokal, termasuk belum berdampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat.
Secara konsep pariwisata yang paling ideal harus mengutamakan keterlibatan dan kepentingan warga sekitar agar menjadi yang terdepan merasakan langsung dampak ikutan dari industri hospitalitas tersebut (baca: Liburd et al., 2020).
Tentu hal ini juga terhubung kuat dengan kerangka teoritis pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism- CBT) yang mengedepankan pendekatan inovatif dan partisipatif, dengan menempatkan masyarakat lokal sebagai fokus utama dalam pembangunan pariwisata (Jackson, 2025; Tryasnandi, dkk., 2023).
Bagaimanapun juga, ide tersebut juga berkaitan erat dengan target pembangunan berkelanjutan PBB (SDGs) yang begitu perhatian terhadap upaya global dalam menuntaskan masalah kemiskinan, pekerjaan yang layak, dan pertumbuhan ekonomi.
Wisata Gastronomi Yang Inklusif
Salah satu sektor potensial yang tidak kalah strategisnya untuk melibatkan komunitas lokal dalam pembangunan pariwisata di daerah yaitu sumber daya wisata gastronomi. Pemaknaan terhadap konsep pariwisata gastronomi terus berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Gastronomi bisa didefinisikan sebagai semua hal yang berkaitan dengan kenikmatan dari makanan dan minuman.
Senada dengan pengertian ini, kuliner sudah menjadi identitas yang melekat pada suatu tujuan atau objek pariwisata karena di dalamnya terdapat refleksi tradisi dan identitas budaya yang menjadi data tarik wisatawan (Rijal et al., 2020).
Namun, secara umum dapat diartikan bahwa sektor ini sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat nilai pariwisata dengan menghadirkan hubungan antara budaya lokal, lanskap, dan ragam model bentuk, serta citra rasa lokal sehingga pada gilirannya bisa menciptakan pengalaman yang berharga dan begitu berkesan bagi para wisatawan (Prasongthan, 2022; Vukolic, 2020).
Narasi pemerintah pun terkait gastronomi telah beralih dari sekedar ‘wisata kuliner’ menjadi sebuah pendekatan strategis yang menyinggung aspek: ekonomi (pariwisata), budaya (identitas nasional), sosial (kesehatan dan gizi), serta lingkungan (keberlanjutan).
Hingga saat ini, kehadiran sektor ini telah berperan penting dalam menciptakan pengalaman yang berkesan bagi para wisawatan ketika melakukan perjalanan wisata sebagaimana cerita awal di atas terkait pengalaman beberapa wisatawan dari luar daerah yang sempat berwisata ke Bangka Belitung.
Salah satu hasil riset Alifah & Podung (2024) mengungkapkan bahwa di Bangka terdapat posisi dan potensi yang sangat kuat dan menguntungkan untuk pengembangan wisata gastronomi secara lebih serius. Begitu juga penelitian Ratnasari, dkk (2020) yang menemukan bahwa terdapat potensi besar terkait ragam sumber daya wisata gastronomi yang khas dan otentik untuk terus dikembangkan dalam rangka meningkatkan mobilitas kunjungan wisatawan ke Pulau Belitung.
Dari hal tersebut bisa membuktikan bahwa sektor pariwisata gastronomi tidak bisa dipandang sebelah mata karena begitu penting perannya dalam menopang industri pariwisata.
Wisata gastronomi merupakan salah satu sektor alternatif harapan ekonomi masyarakat lokal ke depan. Ini tentunya akan berdampak luas bagi kesejahteraan masyarakat lokal, mulai dari nelayan, ibu-ibu juru racik bumbu, seni pembuatan, serta penyajian cita kuliner khas lokal warga kepulauan, serta semakin berkembangnya inovasi kreatif dari berbagai bisnis restoran khas lokal. Seperti saya jelaskan di atas, bahwa gastronomi juga tak sekedar wisata yang urusannya makan dan minum, namun juga ada entitas seni dan kultur budaya, serta cita rasa lokal yang bisa menggambarkan begitu kuatnya tradisi masyarakat kepulauan dalam memanfaatkan sumber daya pangan lokal mereka dari hasil laut Babel yang bermutu.
Keterlibatan warga lokal dalam memoles wisata gastronomi di Babel merupakan kunci utama dalam membangun wisata gastronomi berkelanjutan. Warga lokal atau masyarakat akar rumputlah yang memiliki peran mencakup seluruh rantai nilai, mulai dari memproduksi bahan pangan sampai menjadi pelaku utama yang menghidupkan pengalaman wisata gastronomi bagi wisatawan.
Warga lokal didefinisikan sebagai perpustakaan hidup yang mewarisi resep turun temurun. Warga lokal sebagai inovator yang terus berinovasi untuk mengolah, membuat, serta menciptakan produk yang memadukan bahan lokal dengan selera modern.
Penelitian Suroto (2023) menunjukkan bahwa pelaku kuliner lokal berperan penting dalam mewujudkan wisata gastronomi yang berkelanjutan melalui komitmen untuk menggunakan berbagai bahan lokal yang diproduksi di wilayah sekitar. Mereka tidak hanya menyajikan hidangan, tetapi juga aktif menguasai narasi cerita di balik setiap sajian, misalnya mengutamakan biota-biota laut pilihan dan bermutu (ikan, udang, kepiting, cumi, dan kerang), lalu memanfaatkan produk pertanian organik, seperti sayuran, buah-buahan, dan rempah-rempah alami.
Dalam hal ini, kolaborasi antara pemangku kepentingan sangat diperlukan karena menjadi kunci utama untuk mewujudkan ekosistem wisata gastronomi yang berkelanjutan. Kolaborasi model Pentahelix (ABCGM) yang mengikutsertakan Akademisi, Bisnis, Komunitas, Pemerintah, dan Media menjadi model yang cukup efektif untuk menyinergikan semua potensi. Jika kolaborasi dari pemangku kepentingan ini bisa diwujudkan dengan solid tentu banyak manfaat yang bisa berdampak selain pengembangan sektor pariwisata antara lain dapat mendukung sektor ketahanan pangan, pelestarian budaya, pemberdayaan ekonomi lokal, dan pelestarian lingkungan. Untuk itu, dalam mewujudkan wajah wisata gastronomi berkelanjutan tidak bisa dilaksanakan dengan konsep jalan sendiri-sendiri tetapi harus saling bersinergi sehingga cita-cita serta harapan bisa berjalan efektif dan berkelanjutan.
Aktivitas wisata gastronomi menekankan tentang pengalaman di mana interaksi sosial terbentuk dalam kegiatan tersebut sehingga meningkatkan produksi hormon oksitosin (hormon kebahagiaan) dengan ragam keotentikannya. Menurut penulis, ragam hasil laut Babel begitu unik dan memiliki kandungan gizi alami sehingga bisa menjadi nilai daya tarik wisata yang kuat untuk memoles wisata gastronomi Babel yang tak sekedar memanjakan wisatawan untuk menikmati makanan, namun juga mampu menawarkan nilai pengalaman yang autentik, serta nilai edukasi tentang makanan yang sehat dan bergizi secara berkelanjutan.
Destinasi Super Prioritas (DSP)
Memang tidak dapat dipungkiri dan begitu disayangkan ketika Kepulauan Bangka Belitung tidak masuk kategori sebagai destinasi superprioritas (DSP) nasional untuk menjadi ‘Bali baru’ seperti; Sumatera Utara, NTT, NTB, Sulawesi Utara, dan Jawa Tengah (Kompas, 21/8/2024). Namun, bukan berarti sektor pariwisata di Babel dibiarkan berkembang begitu saja. Semua pihak perlu memiliki semangat dan komitmen yang sama untuk tetap konsisten mengembangkan sektor pariwisata sebagai sektor alternatif masa depan daerah.
Tentu, kita perlu mengapresiasi upaya-upaya yang telah dilakukan pihak pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten untuk terus mengoptimalkan kesiapan daerah, khususnya dari aspek insfrastruktur penopang kepariwisataan lokal. Terlebih, Babel memang menyimpan banyak sekali ragam jenis daya tarik wisata alam, sejarah, dan keunikan daya tarik wilayah kepulauannya yang jadi salah satu daya tarik pembeda dengan daerah lainnya di Indonesia, terlebih secara akses penerbangan jarak tempuh Jakarta- Babel, Jogja-Babel, atau Singapore- Babel relatif lebih dekat dan cepat sehingga secara rentang waktu penerbangannya tidak memakan waktu lama.
Walaupun pada kenyataannya, daya tarik keindahan alam itu selalu dibayang-bayangi ancaman ekonomi pertambangan timah yang kerapkali begitu ngotot dan dipaksakan. Tidak jarang bahkan harus bersitegang dan berlawanan dengan kehendak masyarakat lokal yang tetap ingin lingkungan lautnya tetap asri dan lestari sebagaimana sejak zaman baheulak ketika nenek moyang mereka begitu setia menjaga, merawat dan memanfaatkan sumber daya perikanan bergizi tinggi secukupnya demi kebutuhan lokal. Sayangnya, kita selama ini kerap terhenti hanya pada isu-isu infrastruktur fisik destinasi saja, namun budaya lokal yang kuat dan mengesankan kurang jadi perhatian serius bagi para pemangku kepentingan. Pengembangan wisata gastronomi salah satunya bisa dilihat dari seberapa kuat upaya pemerintah daerah dalam menjaga sumber daya penghasil dari produk-produk makanan yang sehat, aman, dan memiliki kandungan protein yang bernilai tinggi. Mestinya, antara kehendak warga dengan pemerintah daerah harus sejalan demi keberlanjutan jangka panjang ke depan.
Oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta harus sama-sama berkomitmen untuk menjaga ekosistem laut dengan ragam kekayaan sumber daya biotanya. Bagaimanapun juga, itu semua merupakan sumber daya penting bagi kekuatan wisata gastronomi khas Kepulauan Bangka Belitung. Memang sangat sedih jika ada oknum-oknum pengambil keputusan di pemerintah maupun perusahaan justru mudah sekali menyudut-nyudutkan setiap upaya warga lokal untuk tetap menjaga kelestarian lautnya agar tetap terawat dan terjaga kualitasnya.
Ini tentu akan mempengaruhi citra dan kualitas wisata gastronomi lokal ke depannya. Jangan sampai terjadi potensi pencemaran terhadap aneka biota laut dari zat dan elemen partikel berbahaya akibat pertambangan. (*)
Leave a Reply