Hidup Itu Indah Tertawalah, Buku Humor Pastor Keuskupan Pangkalpinang Yang Mengisahkan Keberagaman Indonesia

Avatar photo
Berbagai komunitas dan masyarakat menyambut gembira peluncuran buku “Hidup itu Indah Tertawalah” karya Romo Hans Jeharut Pr, pastor Keuskupan Pangkalpinang di Gramedia Matraman, 7 September 2025.

PANGKALPINANG, LASPELA–Berbagai komunitas dan masyarakat menyambut gembira peluncuran buku “Hidup itu Indah Tertawalah” karya Romo Hans Jeharut Pr, pastor Keuskupan Pangkalpinang di Gramedia Matraman, 7 September 2025. Buku karya seorang pastor dari penggalan-penggalan tugasnya di berbagai daerah ini, dinilai segar, membumi, dan mudah dicerna oleh masyarakat.

Terlebih, buku karya Romo Hans yang sekarang menjabat Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam KWO ini hadir di tengah-tengah situasi politik dan ekonomi negeri kita yang sedang tidak baik-baik saja.

 

“Buku ini menjadi oase di tengah situasi negara kita yang tak menentu,” kata pekerja seni Olga Lidya.

Olga mengaku senang akhirnya Romo menulis cerita humor yang membawa kebahagiaan bagi umatnya. Dia percaya dalam setiap tawa, seseorang akan menemukan Tuhan.

 

“Jadi kalau suntuk, santai, bacalah buku ini. Olga bahkan menulis perasaannya ke dalam medsos X dengan caption, “Dalam situasi yang menyedihkan akhir-akhir ini, buku ini sungguh menyegarkan” sembari menambahkan emoticon orang tertawa terbahak-bahak.

Siapa saja yang membaca buku ini diajak tertawa terbahak-bahak, melupakan sejenak ketegangan dan urat syaraf kaku, rutinitas yang dirasa membosankan.

Sebagai penulis yang baru menerbitkan buku di Gramedia, Romo Hans mengaku dorongan menulis ini berasal dari Bernada Rurit yang sekaligus menjadi penyunting buku ini.

 

Dari diskusi mereka, muncullah kisah-kisah jenaka tapi disertai konteks. Biasanya buku-buku humor hanya menuliskan kisah lucu dua atau tiga paragrap.

 

“Rurit kemudian meminta ada konteks dalam setiap cerita sehingga tergambar budaya dan kebiasaan unik masyarakat tempat saya bertugas,” ujar Romo Hans yang juga Sekretaris Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ini.

Indonesia yang kaya budaya dan adat istiadat bisa tergambar dalam kisah-kisah seperti Virginia Anggreni Tak Mampir ke Belitung, Dana No Uang Yes, Apakah Singkong Perlu Didoakan?

 

“Misalnya ketika ada lahir dia menemukan bantuin tengki di daerahnya, nama anak itu kemudian diberi nama Banteng akronim dari bantuin tengki,” ujar Romo Hans.

 

Pada saat peluncuran buku, Romo Hans menceritakan kisah nama Tuhan di masyarakat Sibolga. Tuhan ini seorang sopir angkutan jalur Sibolga-Medan. Suatu hari mobil yang dikemudikan kecelakaan. Ada penumpang berteriak, “Tuhan tolong saya.” Si Tuhan pun menjawab. “Aku pun terjepit di sini.” Dan pembaca yang hadir tertawa terbahak-bahak.

Romo Hans menyadari tak mudah membuat pembaca tertawa melalui tulisan.

“Mereka lebih suka bercerita langsung,” katanya.

Tapi dengan menulis, ia merasa bahwa tradisi ini akan berkembang dan diikuti oleh umat.

Philipus Parera, wartawan sebuah media nasional yang menjadi penggemar buku humor dari berbagai negara mengakui buku humor ini berbeda dengan buku-buku sudah ia baca.

“Ada konteks yang menjelaskan budaya setempat,” kata Philipus.

“Dengan konteks itu, ke-Indonesia-an kita tergambar dalam berbagai cerita.”

Philip menemukan dalam kisah berjudul Virginia Anggaeni Tak Mampir ke Belitung, misalnya, ada banyak informasi yang ia baru tahu setelah membaca buku ini.

“Itu pembeda dari buku-buku humor yang ia temukan,” ujarnya.

Bernada Rurit sendiri mendorong Romo Hans menulis cerita humor berbasis pastoralnya karena masyarakat khususnya umat Katolik, sudah lelah dijejali buku-buku bertema berat. Ketambahan lagi literasi masyarakat sangat rendah.

“Ini makin membuat masyarakat tambah malas membaca,” ujarnya.

Sebagai penulis dengan tema-tema berat, seperti Tentara Kok Mikir, Indonesia Menuju 2045, Pancasila dari Indonesia untuk Dunia, Jakob Tobing, Sosok di Balik Milestone Indonesia Baru, Rurit mengaku bukunya tidak pernah meledak di pasaran. Karena itulah, dia memberikan pendekatan berbeda melalui Romo Hans. Dengan buku-buku segar dan jenaka, bertema ringan, bahasanya mudah dipahami, diharapkan masyarakat akan tergugah dan literasi masyarakat kian tumbuh.

Rurit mengaku sedih, tradisi intelektual yang dulunya aktif dibangun dari lembaga Katolik kian memudar. Setelah Romo Mangun dari Projo dan Romo Sindunata dan Romo Magnis dari Serikat Jesus, praktis, belum ada lagi pastor-pastor muda yang tulisannya tembus di level nasional dan diterima oleh semua umat.

“Inilah yang membuat saya gencar menggiatkan literasi di Indonesia dan mendorong mereka berkarya,” ujar Rurit yang sudah membuat 13 judul buku dengan tema-tema berat.

Buku Romo Hans ini, meski berbasis tugas pastoral, tetap bisa dinikmati oleh umat beragama lain. Tergambar dari judul, “Bodrex Dua Ribu, Tausiah Dua Ribu” tentang pertemanan Romo Hans dan Adi umat Muslim di Belitung, “Nggak Ada Kerugian, Hanya Kepala Pecah,”.

Harapannya kelak karya-karya Romo Hans akan diterima oleh semua umat beragama. (*/rel)

Leave a Reply