Opini  

Manusia dan Godaan Wujud Material Peradaban

Oleh: Prof. Dr. Rusydi Sulaiman, M.Ag. ( Direktur Madania Center & Guru Besar dalam Kepakaran Bidang Pengkajian Islam IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung).

Avatar photo
Editor: Iwan Satriawan
Prof. Dr. Rusydi Sulaiman, M.Ag.

Bila agama terlebih agama samawi (divine- religion) bersumber dari Tuhan, maka budaya bersumber dari manusia atas dasar karsa, cipta dan rasa sebagai pelaku budaya.

Agama melalui kitab sucinya memberlakukan norma atau nilai ajaran agama untuk meluruskan budaya, karena budaya adalah bagian dari agama.

Satu hal lain yang diciptakan Tuhan adalah alam (kosmos) yang secara kosmologis bersumber kepadanya manusia (mikro-kosmos). Maka dari itu, sebagai makhluk, manusia mesti bersinergi dengan makhluk lain; hewani dan nabati, juga makhluk ghaib (tidak alamiah). Dengan dua potensi, akal dan kalbu, manusia diberi otoritas kekhalifahan untuk membuktikan peran kemanusiaannya di muka bumi.

Apapun bentuknya, baik penyempurnaan maupun kerusakan, disengaja ataupun tidak disebabkan oleh hubungan yang tidak harmonis antar makhluk dan kelengahan penghambaan mereka kepada Tuhan, Allah Swt.

Dalam perspektif ekoteologis misalnya dan kaitannya dengan peran manusia, bahwa kelestarian alam menjadi tanggung jawab moral dan spiritual keagamaannya. “Inniy jaa’ilun fil-Ardhi Khalifah”, dalam QS.Al-Baqarah (2): 30.

Otoritas tersebut pastinya tidak disalahgunakan apalagi sampai bersikap zalim terhadap lingkungan sekitar. Begitu juga dalam perspektif keilmuan lain, diharapkan sikap positif manusia, lebih spesifik terhadap wujud benda atau wujud material peradaban.

Ketika wujud benda sebagai bagian dari kebudayaan mengalami inovasi bentuk sehingga fungsional, maka ia disebut wujud material peradaban (al-Imkaanat al-Maadina) yang tak lepas dari cipta, karsa dan rasa manusia sebagaimana disebut.

Benda-benda mati yang dibuat tidak sebatas ada atau sekedar ada (being) “wujuuduhu ka’adamihi”, melainkan meningkat menjadi bentuk yang bermakna–dari sebuah tanda (signal), lalu citra (dibanggakan) bahkan menjadi benda yang dikultuskan ( memiliki kekuatan magis tertentu), tinggal bagaimana peran manusia. Tergodakah manusia oleh wujud material peradaban tersebut?

Handphone misalnya secara fisik (material substance) terdiri dari bagian-bagian benda seperti plastik, kaca, almunium, butiran timah dan lain-lain, lalu dibentuk secara terstruktur, dilengkapi dengan suara, sinar dan program tertentu sehingga menjadi benda, bernama handphone yang difungsikan oleh manusia tidak hanya sebagai alat komunikasi.

Faktanya melampaui fungsi, benda tersebut menjadi sesuatu yang dicitrakan; benar-benar berkualitas, bermerek (branded) atau sangat digandrungi karena pengaruh pasar (marketing) dengan segala aksesoris yang melekat.

Begitu manusia tergoda bahkan terlena oleh wujud material peradaban buatannya sendiri; dari yang dicitrakan meningkat menjadi sesuatu yang dikultuskan; tergiring suasana kejiwaannya kepada benda mati tersebut sehingga mengesampingkan yang lain. Hand-phone dan benda mati lain tak sebatas dimiliki, tapi juga dicintai dan disayangi.

Bisa jadi benda mati tersebut diyakini bagaikan Tuhan–menjadi hand-phonisme bahkan Tuhan Handphone, Na’uudzubillah. Tiada waktu tanpa benda tersebut. Ingat, tujuan positif memberlangsungkan peradaban tidak lepas dari tanggung jawab moral dan spiritual keagamaan manusia yang pijakannya adalah agama.

Atas dasar fakta di atas, diurai tiga konsesi yang diemban manusia sebagai Khalifah di atas bumi, yaitu: pertama, al-Intifa’, memanfaatkan dan bermanfaat. Maksudnya seseorang tidak hanya mengambil manfaat dari sesuatu atau orang lain, melainkan ia harus buktikan bahwa dirinya bermanfaat.

Bila hal itu dilaksanakan secara intens dan penuh ketulusan, maka kebermanfaatan dirinya akan selalu dikenang. “khairun-Naas Anfa’uhum lin-Naas” wa Ahsanuhum khuluqan”

Pulpen misalnya sebagai wujud benda difungsikan untuk menulis bukan untuk tujuan selain itu. Begitu juga menulis secara digital dengan laptop. Pemanfaatan benda teknologi tersebut bermakna sangat positif apalagi seseorang mampu hasilkan banyak karya tulis. Artinya keberadaan dirinya bermanfaat bagi orang lain.

Kedua, al-I’tibaar. Maksudnya manusia perlu mencermati, menelaah, berpikir dan lakukan eksperimen yang menghasilkan pendapat, karya atau teori tertentu. Adanya benda teknologi canggih karena kekuatan nalar dan pengalaman tertentu. Akhirnya manusia tergoda oleh wujud material peradaban padahal mereka sendiri yang memproduksinya.

Adapun ketiga, al-Ihtifaazh (pemeliharaan). Tujuan penciptaan manusia, tiada lain kecuali untuk tujuan kebaikan; berbuat baik dan bersinergi dengan sesama juga makhluk lain. Tidak lakukan pengrusakan berarti menjaga atau memelihara hubungan baik yang sudah terjalin erat sebelumnya.

Simpulannya bahwa benda-benda yang diproduksi sehingga menjadi wujud material peradaban, melekat kepadanya ilmu pengetahuan dan teknologi modern sesungguhnya adalah fasilitas atau washilah yang bersifat melengkapi, bukan tujuan.

Boleh ada, dan seandainya tidak ada pun tidak mengurangi hakikat kehidupan. Mudah-mudahan kita yang beragama ( religius) tidak tergoda oleh wujud material peradaban tersebut. Wassalam.(*)

Leave a Reply