Memperingati 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia menjadi momentum reflektif untuk meninjau kembali peran strategis perempuan dalam pembangunan nasional, khususnya dalam bidang literasi.
Literasi, sebagai kemampuan dasar dalam membaca, menulis, dan berpikir kritis, merupakan prasyarat bagi partisipasi aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Dalam konteks ini, literasi perempuan bukan sekadar isu pendidikan, tetapi merupakan persoalan struktural yang berkaitan erat dengan kualitas demokrasi dan kemajuan bangsa.
Perempuan Indonesia telah menunjukkan kontribusi penting dalam sejarah perjuangan literasi.
Tokoh-tokoh seperti R.A. Kartini dan Dewi Sartika telah memelopori akses pendidikan bagi perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial dan patriarki.
Gagasan-gagasan mereka menegaskan bahwa literasi bukan hanya alat pemberdayaan individu, tetapi juga instrumen transformasi sosial. Oleh karena itu, literasi perempuan tidak dapat dipisahkan dari agenda nasional dalam memperkuat fondasi kemerdekaan yang sejati.
Meskipun telah terjadi kemajuan signifikan dalam akses pendidikan, kesenjangan literasi berbasis gender masih menjadi tantangan, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Laporan nasional maupun internasional menunjukkan bahwa perempuan di wilayah tersebut cenderung memiliki tingkat literasi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor struktural, termasuk kemiskinan, norma budaya, serta minimnya infrastruktur pendidikan yang responsif gender.
Literasi perempuan memiliki implikasi multidimensional terhadap pembangunan. Perempuan yang literat lebih mampu mengakses informasi, memahami hak-haknya, serta berkontribusi dalam pengambilan keputusan di ranah domestik maupun publik.
Selain itu, literasi perempuan juga berdampak langsung terhadap kualitas generasi berikutnya, mengingat peran sentral perempuan dalam pendidikan anak usia dini.
Dengan demikian, peningkatan literasi perempuan merupakan investasi sosial jangka panjang yang strategis.
Kemajuan teknologi digital memberikan peluang baru untuk memperluas akses literasi bagi perempuan, terutama melalui platform pembelajaran daring, perpustakaan digital, dan komunitas literasi berbasis komunitas.
Namun demikian, digital divide atau kesenjangan akses terhadap teknologi juga menjadi tantangan baru. Oleh karena itu, program literasi digital yang inklusif dan berbasis gender menjadi kebutuhan mendesak agar perempuan tidak semakin tertinggal dalam era transformasi digital.
Dalam konteks kebijakan publik, upaya peningkatan literasi perempuan harus terintegrasi dalam strategi pembangunan nasional.
Pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, serta sektor swasta perlu membangun kolaborasi untuk menciptakan ekosistem literasi yang adil dan berkelanjutan.
Pendekatan interseksional yang memperhatikan faktor-faktor seperti kelas sosial, etnisitas, dan disabilitas juga penting agar intervensi literasi benar-benar inklusif.
Dengan memberdayakan perempuan melalui literasi, Indonesia tidak hanya menghormati nilai-nilai kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pendiri bangsa, tetapi juga mewujudkan visi masyarakat yang berpengetahuan, setara, dan berkeadilan.
Oleh karena itu, dalam semangat kemerdekaan yang ke-80, afirmasi terhadap hak literasi perempuan harus menjadi bagian integral dari narasi pembangunan nasional.
Perempuan yang membaca adalah simbol bangsa yang merdeka dalam arti yang sesungguhnya.(*)
Leave a Reply