Opini  

Algoritma Media Sosial: Dilema Etis Jurnalis Antara yang Viral dan yang Valid

Arifah, S.I.Kom., M.A. (Dosen Prodi Jurnalistik Islam IAIN SAS BABEL)

Avatar photo
Editor: Iwan Satriawan
Arifah, S.I.Kom., M.A

Di tengah lautan informasi yang membanjiri media sosial setiap detik, jurnalis dihadapkan pada dilema yang semakin rumit: memilih antara berita yang viral atau berita yang valid.

Media sosial seperti Facebook, Instagram, dan TikTok telah menjadi jalur distribusi utama bagi berita-berita lokal. Namun, di balik kemudahan dan luasnya jangkauan itu, terdapat kekuatan tak terlihat yang mengatur aliran informasi—yakni algoritma.

Algoritma inilah yang menentukan konten mana yang muncul di beranda pengguna, bukan berdasarkan nilai jurnalistik, tetapi berdasarkan potensi keterlibatan (engagement): jumlah klik, komentar, dan reaksi.

Kecanggihan algoritma media sosial—yang awalnya diciptakan untuk menyajikan konten sesuai minat pengguna—kini secara tidak langsung memengaruhi cara kerja jurnalis dalam mengemas, memilih, dan menyebarkan berita. Algoritma tidak peduli pada kebenaran. Ia hanya peduli pada klik, like, share, dan waktu tonton.

Ketika sebuah berita mengandung unsur kontroversial, sensasional, atau memicu emosi, kemungkinan besar ia akan mendapatkan jangkauan lebih luas. Di sinilah dilema etis jurnalis dimulai. Haruskah jurnalis mengikuti arus algoritma demi engagement, atau tetap memegang teguh prinsip validitas dan verifikasi informasi?

Banyak media, terutama media daring, akhirnya tergoda. Judul-judul clickbait bermunculan. Tak jarang, judul-judul berita dibuat sensasional, mengedepankan konflik, atau mengangkat isu yang sedang viral, meskipun belum sepenuhnya diverifikasi. Ini tentu menjadi persoalan etis yang serius.

Kecepatan menyampaikan berita lebih diutamakan daripada kedalaman dan ketepatan. Verifikasi kadang dikorbankan demi menjadi yang pertama. Dalam kondisi inilah etika jurnalistik diuji.

Fenomena filter bubble dan echo chamber pun memperkeruh keadaan. Pengguna media sosial hanya akan menerima informasi yang sesuai dengan preferensi atau pandangan mereka, yang diperkuat oleh algoritma. Ini menyebabkan berita yang bertentangan dengan pandangan mereka akan tenggelam, meskipun berita tersebut valid dan penting.

Akibatnya, hal ini membuat jurnalis harus berpikir dua kali: menyampaikan yang benar, atau yang disukai?

Padahal, dalam Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Pasal 1 menegaskan bahwa jurnalis wajib memberitakan secara faktual, akurat, dan tidak mencampuradukkan fakta dengan opini.

Namun tekanan algoritmik dari media sosial membuat batas itu semakin kabur. Jurnalis bisa tergoda untuk menyesuaikan isi berita dengan “selera algoritma”, bukan dengan standar profesi.

Jurnalis bukan hanya sekadar penyampai informasi, tapi juga penjaga kebenaran. Menyerah pada logika viral sama artinya dengan mengabaikan misi utama jurnalistik: mencerdaskan publik.

Jurnalis di Bangka Belitung sejatinya juga adalah penjaga nalar publik. Dalam konteks daerah kepulauan dengan keberagaman sosial dan tantangan pembangunan yang kompleks, fungsi kontrol media menjadi krusial. Jangan sampai arus algoritmik membuat media hanya mengejar viralitas, sementara isu-isu strategis yang menyangkut kepentingan publik justru terabaikan.

Diperlukan keberanian dan keteguhan profesionalisme dalam menghadapi dilema ini. Media lokal harus mampu merumuskan ulang strategi distribusi kontennya—bukan untuk tunduk pada algoritma, tetapi untuk memanfaatkannya secara etis. Tentu, tidak mudah menolak tuntutan industri media yang juga butuh traffic untuk bertahan hidup.

Namun tetap harus ada keberanian untuk menyeimbangkan antara tuntutan pasar digital dan panggilan moral profesi.

Sebagai solusi, penting bagi media dan jurnalis untuk mengembangkan strategi distribusi konten yang etis namun tetap relevan.

Edukasi literasi media bagi publik juga tak kalah penting agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi yang pasif, tetapi juga kritis terhadap apa yang mereka baca dan bagikan.

Akhirnya, pilihan antara yang viral dan yang valid bukan sekadar pilihan redaksional, tapi pilihan etis yang menentukan masa depan jurnalisme itu sendiri. Di tengah era algoritma, jurnalis harus menjadi penyeimbang yang bijak—bukan sekadar korban dari sistem yang mereka tidak kendalikan.(*)

Leave a Reply