Cerpen  

Cinta yang Kupilih

Karya: Cristiano Rizky Pratama, Siswa SMAK Seminari Mario John Boen Pangkalpinang

Avatar photo
Ilustrasi (istimewa)

DI BALIK dinding kaca perpustakaan Florida State University yang tenang, Vira tengah menyusun catatan anatomi dengan teliti. Matanya fokus, namun pikirannya kerap melayang ke rumah di Los Angeles-ke pesta gala, bisnis keluarga, atau sekadar suara ibunya, Hanna, yang selalu terdengar percaya diri dan penuh ambisi.

 

Sebagai anak dari Jack, pengusaha properti kelas dunia, dan Hanna, direktur utama brand fashion global, hidup Vira seolah sudah digariskan untuk bersinar. Tapi di balik kemewahan itu, ia lebih suka menyepi dengan buku kedokteran dan tawa hangat tiga sahabatnya-Sissy, Lucy, dan Eline.

Hari itu, pertemuan takdir dimulai ketika sebuah buku terjatuh di hadapannya. Seseorang menjatuhkannya dari rak atas.

“Aduh, maaf banget. Aku nggak sengaja,” suara pria itu lembut, dengan aksen elegan yang menggoda rasa penasaran. Vira menatap sosok tinggi berambut cokelat dengan mata tajam penuh percaya diri.

“Gak masalah. Kamu cari buku anatomi juga?”
“Enggak sih,” pria itu tersenyum, “aku cuma nemani pamanku, Pastor Andrew. Aku Justin.”

Vira terdiam sejenak. Pastor Andrew adalah pembimbing spiritual di kampus—pria yang banyak membantunya melewati tekanan studi dan keluarga.

“Oh, kau keponakannya?”
Justin mengangguk. “Dan kamu pasti Vira. Kamu anak didik favorit Paman.” Vira tersenyum. Ada yang aneh dalam detik itu-seperti dunia luar berhenti sebentar, membiarkan dua jiwa menyapa lebih dalam.

Sejak hari itu, pertemuan demi pertemuan terasa alami. Di sela kelas, di kantin kampus, atau hanya sekadar obrolan santai di taman.

Justin, CEO muda dari jurusan manajemen, ternyata anak dari Luis—Rektor kampus, dan Helena, psikolog terkenal di Chicago. Mereka hidup dalam ekspektasi tinggi seperti Vira.
Sissy sempat menggoda,

“Kalian berdua itu seperti Romeo dan Juliet versi elite kampus.”
Lucy menimpali, “Cuma, semoga kisah kalian gak berakhir kayak mereka.”

Namun hubungan mereka tak berjalan semulus mimpi. Kedua keluarga memiliki pandangan berbeda soal cinta dan masa depan.

Jack ingin Vira menikah dengan rekan bisnis keluarga, Leon-pewaris properti dari Philadelphia. Sedangkan Helena, ibu Justin, lebih suka anaknya bersama Laura, psikolog muda dari Phoenix yang dianggap “ideal”.

Suatu malam, di balkon apartemen Vira di Houston, keduanya duduk berdua.
“Aku takut, Justin…” bisik Vira. “Semua orang seolah ingin mengatur arah hidup kita.”
Justin menggenggam tangannya.

“Kalau kamu percaya sama aku, kita bisa lewatin ini. Bukan mereka yang akan hidup dengan pilihan kita.”

Puncak konflik datang ketika sebuah foto tersebar di media sosial-Vira dan Justin sedang berlibur diam-diam ke Chicago. Keluarga mereka murka. Jack menekan Vira untuk fokus pada pendidikan dan rencana perjodohan dengan Leon. Sementara Helena menyuruh Justin segera memilih Laura sebagai tunangannya.

Vira dikurung di rumah keluarga di Los Angeles. Sissy dan Eline berusaha menemuinya, namun dijaga ketat. Lucy menyusupkan pesan dari Justin, “Tunggu aku di Philadelphia. Di tempat kita dulu bicara soal mimpi-mimpi.”
Hari itu juga, Vira kabur dari rumah dengan bantuan Masha, sepupunya yang selama ini diam-diam mendukung kisah cinta mereka. Ia menumpang pesawat malam menuju Philadelphia, menembus dingin dan resiko kehilangan segalanya. Di taman kecil dekat gereja tua, tempat biasa mereka bertemu diam-diam, Justin sudah menunggu. Di belakangnya berdiri dua sahabatnya, Willy dan Derry, tersenyum lebar.

“Aku tahu kamu bakal datang,” kata Justin pelan.
Vira menatapnya penuh air mata. “Aku tinggalin semuanya.”
“Aku juga. Aku udah keluar dari proyek merger dengan keluarga Laura. Ayahku kecewa, tapi aku gak mau hidup dengan pilihan yang bukan milikku.”
Untuk pertama kalinya, mereka tak peduli pada silsilah, jabatan, atau nama besar keluarga. Yang mereka punya hanya cinta-dan keberanian. Beberapa bulan kemudian, sebuah acara pernikahan sederhana berlangsung di Houston, dihadiri oleh sahabat-sahabat sejati-Sissy, Lucy, Eline, Willy, Derry, serta saudara-saudara terdekat mereka seperti Felly, Billy, Hendrik, Gerry, Merlin, dan Cella.

Jack dan Hanna datang terlambat. Mereka berdiri di ujung ruangan, melihat putri mereka yang tersenyum tulus. Tak ada kemewahan, hanya kebahagiaan. Luis dan Helena pun akhirnya luluh. Mereka melihat, untuk pertama kalinya, anak mereka tersenyum seperti manusia biasa—bukan pewaris atau simbol kesuksesan. Vira kini menjadi dokter muda di Phoenix, sementara Justin memimpin yayasan pendidikan bersama Pastor Andrew, membangun sekolah gratis di berbagai kota.

Cinta mereka bukan tentang harta atau status. Tapi tentang keberanian melawan sistem, untuk memilih satu hal yang tak bisa dibeli—kebahagiaan sejati.
Dua tahun setelah pernikahan mereka yang sederhana di Houston, Vira dan Justin tinggal di pinggiran Phoenix. Rumah mereka tak megah seperti rumah masa kecil masing-masing, tapi penuh kehangatan-dindingnya dihiasi lukisan hasil karya anak-anak dari sekolah gratis yang mereka dirikan bersama.

Vira kini menjadi dokter anak di klinik komunitas. Setiap pagi, ia memulai harinya dengan secangkir kopi buatan Justin dan surat kecil berisi kutipan romantis di meja dapur. Sementara Justin, yang menolak banyak tawaran bisnis raksasa, memilih mendirikan yayasan sosial bernama “Hearts for All”.
Namun kehidupan setelah pernikahan tak selalu mudah. Tekanan datang saat klinik tempat Vira bekerja mengalami ancaman penutupan karena konflik izin lahan.

Ternyata perusahaan yang mencoba mengakuisisi lahan itu adalah milik Leon-mantan calon tunangan Vira-yang diam-diam ingin membalas penolakan masa lalu.

“Aku bisa selamatkan tempatmu bekerja,” kata Jack suatu malam lewat telepon. “Tapi dengan satu syarat—kembalilah ke Los Angeles dan warisi perusahaan keluarga.”
Vira terdiam.
Justin mendengar dari balik pintu. Ia masuk dan menatap Vira. “Ini ujian lagi buat kita. Tapi kamu gak harus memilih antara aku atau keluargamu. Pilih dirimu sendiri.”
Vira akhirnya bertemu langsung dengan Leon di Philadelphia.
“Jadi kamu benar-benar memilih hidup sederhana dan cinta remeh seperti itu?” ejek Leon.
“Lebih baik hidup sederhana dengan cinta tulus daripada hidup megah tapi jadi boneka dalam cerita orang lain,” balas Vira tenang.

Dengan bantuan Masha dan Justin, serta koneksi Helena di bidang hukum, mereka berhasil menyelamatkan izin klinik secara sah. Leon mundur.
Di hari ulang tahun pernikahan kedua mereka, Vira dan Justin duduk di beranda rumah mereka.

“Aku masih ingat saat kamu jatuhin buku di perpustakaan dulu,” ujar Vira sambil tersenyum.
“Dan aku masih ingat detik kamu bilang kamu siap tinggalin segalanya buat kita.”
Malam itu, mereka saling bertukar kado sederhana. Bukan berlian, bukan saham, tapi surat tulisan tangan.
Dalam surat Justin tertulis:

“Kita mungkin lahir di dua dunia yang penuh tekanan dan tuntutan. Tapi cinta yang kita pilih sendiri… itulah rumah sebenarnya.”
Vira tersenyum. Di dalam suratnya, ia juga menulis hal yang sama. (*)

 

Leave a Reply