Opini  

Birokrat Partisan Bahayakan Demokrasi 

Oleh : Rendy Hamzah, Dosen Ilmu Politik JSP Universitas Bangka Belitung

Avatar photo

POLITIK keberpihakan ASN dalam kontestasi Pilkada memang bukan hal baru. Terlebih dalam setiap momentum hajatan demokrasi lokal, nyaris birokrasi selalu dijadikan alat dan arena potensial untuk memenuhi kepentingan dan hasrat berkuasanya bagi elit politik tertentu. Dalam tiap momen kontestasi, nyaris selalu muncul berbagai bentuk mobilisasi dukungan dan politik partisan oknum birokrasi yang mencurahkan berbagai sumber daya energi dan jejaring yang dimilikinya. Termasuk yang baru-baru viral dan menyita perhatian publik Kota Pangkalpinang akibat adanya politik tidak netral seorang elit ASN yang memobilisasi dukungan untuk salah satu calon tertentu di sebuah mimbar masjid di pusat perkotaan Kota Pangkalpinang.

Yang mengemuka belakangan ini tentu bagian dari politik kebablasan dari seorang birokrat senior yang justru memanfaatkan masjid sebagai alat dan arena untuk memobilisasi dukungan bagi salah satu kandidat calon Walikota Pangkalpinang. Fenomena ini tentu semakin menambah paradoks watak birokrasi kita yang kerap betul dirundung berbagai persoalan kronis dan merugikan publik, mulai dari watak malas, lamban, oportunistik, boros, dan kurang profesional.

Logika berpikir netralitas birokrasi memang kompleks dan dilematis karena memahaminya tak cukup dengan logika normatif Weberian yang seolah mudah sekali membayangkan birokrasi steril dari kepentingan politik. Pun begitu, bukan berarti pula bahwa mereka tidak boleh sama sekali berpolitik aktif. Artinya, birokrasi mestinya juga harus menjadi salah satu aktor kunci dalam menjalankan politik netral-aktif bukannya malah netral-pasif (lihat: Purwo Santoso, 2013), namun tidak boleh sampai kebablasan mendukung secara membabi-buta salah satu kandidat tertentu apalagi secara terbuka pula. Birokrasi dengan berbagai sumber daya yang dimilikinya memang harus selalu mewaspadai dirinya dari berbagai ancaman dan potensi terkooptasi oleh kepentingan politik tertentu. Jika menyitir hasil riset Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Tahun 2021, setidaknya menemukan ada dua motif utama yang menjadikan ASN kerap tidak netral dan melanggar sehingga terjebak politik partisan, di antaranya: Pertama, karena alasan koneksi persaudaraan, dan Kedua, alasannya karena adanya hasrat agar karirnya naik kelas (Lihat: Kajian KASN, 2021). Mungkin, fenomena yang berlangsung di Kota Pangkalpinang baru-baru ini juga relevan untuk menggambarkan adanya gejala dari salah satu atau bahkan kedua motif yang dimaksud.

 

Politik Netral-Aktif yang Tak Berpihak

Sekilas, memang politik partisan seorang ASN senior di Kota Pangkalpinang memang terkesan hanya oknum, namun mengingat krusialnya posisi dan fungsi strategis sang birokrat, tentu sulit untuk menghindari dugaan bahwa birokrasi pemerintahan kita masih lemah iman dan mudah betul tergoda oleh bujuk rayu elit politisi. Tentu ini kondisi yang tidak sehat dan sangat membahayakan demokrasi kita. Bagaimana tidak? ketika elit birokrasi sibuk bergerilya menggalang dukungan politik untuk salah satu pasangan calon, terlebih sampai berani menggunakan instrumen masjid untuk mempengaruhi pilihan politik akar rumput, tentu mereka tidak hanya melanggar prinsip netralitas, tetapi juga mengeksploitasi posisi Istimewa mereka sebagai ASN yang harusnya lebih berpihak kepada kepentingan rakyat luas ketimbang terjebak dalam praktik oportunistik elit politik.

Baca Juga  BPJ Turun Tangan, Konsolidasikan Seluruh Jaringan Berjuang Menangkan Basit Cinda-Dede Purnama

Tentu ironis sekali jika seorang birokrat senior sampai terjebak politik partisan secara terang-terangan demi memuluskan struktur dan sistem kekuasaan politik yang hanya menguntungkan kelompok mereka saja. Ini tentu bagian dari pelanggaran terang-terangan yang mengganggu rasionalitas publik terkait politik netral-aktif seorang ASN dalam Pilkada. Akibatnya, tentu bisa dibayangkan betapa dilematisnya posisi birokrat akibat dilema struktural birokrasi di tingkat bawah yang terjepit antara tuntutan profesionalisme untuk menjadi pelayan publik rakyat tanpa pandang warna partai, dan juga di tengah kuatnya tekanan politik elit birokrasi yang melakukan praktik politik partisan secara melanggar aturan.

Bisa jadi salah satu yang jadi kealpaan kita semua selama ini dalam memahami duduk soal praktik partisan birokrasi dalam arena demokrasi prosedural membayangkan seolah-olah para ASN selama ini hanya menjadi obyek pasif yang diam dan tidak bergerak sehingga jadi lebih mudah dimobilisasi. Padahal praktik tidak netral seorang elit ASN di Pangkalpinang baru-baru ini membuktikan betapa sebenarnya elit birokrasi juga ternyata begitu aktif berpolitik dan berpihak kepada salah satu pasangan kandidat Pilwako. Padahal sudah berapa banyak himbauan, sosialisasi dan kerja-kerja promotif-supervisi Bawaslu yang dibiayai mahal oleh negara untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran Pemilu maupun Pilkada, termasuk memastikan birokrasi tetap steril dan tidak terkooptasi oleh kepentingan politik praktis.

Kerumitan birokrasi yang berpihak tentu tidak hanya akan memboroskan energi kita sebagai bangsa, namun juga membahayakan nasib demokrasi kita ke depan. Proses demokratisasi yang berlangsung pada akhirnya menjadi tidak sehat, birokrasinya timpang dan bekerja sesuai kepentingan warna dan pragmatisme elit tertentu. Pada gilirannya, publik wargalah yang akan dirugikan karena mesti menghadapi tarik-menarik kepentingan dan juga gerilya politik antar elit birokrasi yang saling berebut pengaruh, berebut posisi jabatan, dan bahkan kalkulasi politiknya hanya soal untung rugi untuk kepentingan politik personal ketimbang demi kepentingan yang lebih luas dan jangka panjang bagi publik rakyat.

Jangan pernah membayangkan birokrasi sebagai entitas yang pasif dan mudah dimobilisasi sebagaimana teori normatif yang nyaris selalu gagal memahami watak birokrasi yang plural dan kompleks. Tak heran jika muncul elit-elit birokrasi yang sibuk bergerilya saat momentum elektoral demi mempengaruhi pilihan-pilihan politik di akar rumput. Terfragmentasinya birokrasi ke dalam blok-blok politik partisan tentu akan membahayakan posisi dan nasib warga. Bagaimanapun juga, sejatinya posisi birokrasi adalah pelayan publik yang tidak boleh terganggu oleh kepentingan politik manapun. Apalagi jika diingat-ingat kurang cukup apalagi, ASN kita selama ini sudah difasilitasi gaji, tunjangan jabatan, dan fasilitas yang tidak ada kurang-kurangnya. Mestinya logika ‘kepublikan’ seorang ASN harus benar-benar mengarusutamakan kepentingan hajat hidup rakyat banyak tanpa perlu repot-repot harus ikut melakukan propaganda politik demi elit yang didukungnya.

Baca Juga  Nasib Pasangan Rato-Ramadian Tergantung Hasil Verifikasi Ulang KPU Bangka, Batas Waktu Sampai 9 Agustus 2025

 

Mengapresiasi Langkah Politik sang Pj Walikota

Memang tidak dapat dipungkiri jika pertarungan Pilwako Pangkalpinang 2025 pada gilirannya jadi bagian dari pertarungan habis-habisan elit politik pasca momentum gagalnya incumbent melawan gerakan politik kotak kosong di Pilwako Kota Pangkalpinang Tahun 2024 lalu. Ada pertaruhan gengsi dan modalitas politik yang tidak sedikit di antara para kontestan Pilwako. Namun, apapun alasannya tetap saja ASN harus netral-aktif. Netral tanpa berpihak sebelah, namun tetap berpartisipasi aktif memastikan proses politik dan demokratisasi di daerah tetap berlangsung adil dan demokratis. Bagaimanapun juga, birokrasi merupakan organisasi moderen yang menjadi andalan publik warga. Oleh karena itu, mestinya semua aktor birokrasi mesti mencurahkan seluruh kemampuan dan skill kompetensi yang dimilikinya demi memastikan publik warganya tetap terlayani dengan maksimal. Sementara juga memastikan proses kontestasi politiknya berlangsung demokratis dan bermutu tinggi.

Tentu publik Kota Pangkalpinang perlu mengapresiasi langkah politik sang Pj Walikota; M.Unu Ibnudin yang segera mengambilkan langkah taktis dan cepat memproses sanksi untuk sang oknum ASN di lingkungan Sekretariat Daerah (Setda) yang terindikasi melakukan politik tidak netral dalam tahapan Pilwako Pangkalpinang Tahun 2025. Langkah tersebut juga bagian dari kekesalan politiknya akibat dari adanya model ASN yang cenderung menganggap aman saja karena belum adanya keputusan dari Bawaslu. Tentu, Bawaslu sebagai ujung tombak sekaligus juru kunci dari penjaga moral demokrasi elektoral harus bekerja secara lebih cepat-akurat, agar praktik-praktik demokrasi kita benar-benar semakin substansial, dan terjauh dari kesan sekedar ritual rutin, prosedural dan menghabis-habiskan anggaran puluhan bahkan ratusan milyar rupiah secara sia-sia. Nau’zubillah…

Apalagi, secara regulasi dan dasar hukum, Bawaslu sudah memiliki landasan hukum yang kuat dan cukup memadai untuk menindak pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilu or Pilkada melalui instrumen regulasi utama yang saling menguatkan. UU No. 20/2023 tentang ASN dan UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota secara eksplisit menegaskan kewajiban ASN untuk menjaga netralitas dan tidak berpihak pada kepentingan partisan manapun dalam kontestasi politik elektoral. Kedua undang-undang tersebut kemudian dioperasionalisasikan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN yang memberikan panduan teknis dan mekanisme konkret bagi pengawasan serta pembinaan netralitas birokrasi. Dengan kerangka regulasi yang komprehensif tersebut, Bawaslu seharusnya memiliki ruang politik yuridis yang cukup memadai untuk segera merespon sekaligus mengambil sikap tegas terhadap ASN yang terbukti melanggar prinsip netralitas dalam suksesi politik Pilwako Kota Pangkalpinang. (*)

 

 

Leave a Reply