INDUSTRI pariwisata saat ini mengalami transformasi besar, tidak hanya menjadi sektor unggulan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, pariwisata juga menjadi cermin kualitas hidup, tata kelola, dan daya saing suatu destinasi. Namun terdapat dua aspek yang sering kali luput dari perhatian dalam pengelolaan pariwisata yaitu Keamanan dan Keselamatan Wisatawan. Aspek ini seharusnya menjadi fondasi utama dalam pengembangan destinasi wisata yang berkelanjutan dan inklusif khususnya di provinsi tercinta Kepulauan Bangka Belitung.
Provinsi yang terkenal dengan banyak potensi wisata Bahari dengan pantai pasir putih, batu granit yang menarik, serta kearifan lokal yang masih Lestari. Potensi ini dapat menjadikan provinsi kita sebagai salah wisata unggulan salah satunya yaitu geopark. Namun, dibalik potensi tersebut tersembunyi risiko keamanan dan keselamatan yang perlu ditangani secara sistematis. Kesadaran kolektif akan pentingnya proteksi wisatawan menjadi krusial agar pariwisata tidak hanya tumbuh secara kuantitatif, tetapi juga berkualitas dan berkelanjutan.
Konsep pariwisata berkelanjutan atau biasa dikenal dengan sustainable tourism tidak hanya mengacu pada pelestarian lingkungan dan budaya lokal, tetapi juga mencangkup dimensi perlindungan terhadap manusia terutama wisatawan dan pelaku pariwisata itu sendiri. Keamanan (security) berkaitan dengan perlindungan dari kejahatan, gangguan sosial dan ancaman keamanan lainnya, sedangkan keselamatan (safety) lebih menekankan pada upaya pencegahan resiko kecelakaan, bencana alam seperti tenggelam di pantai, dan kondisi darurat lainnya. Tanpa keamanan dan keselamatan dapat menimbulkan kehilangan daya tarik terhadap destinasi, karena wisatawan semakin sadar resiko dan akan memilih destinasi yang menjamin kenyamanan dan perlindungan selama perjalanan atau kunjungan wisata.
Destinasi wisata berbasis alam yang dimiliki oleh provinsi ini seperti pantai, pulau-pulau kecil, geowisata atau bekas tambang timah, dan agrowisata. Namun, karakteristik geografis ini juga membuat destinasi rentan terhadap berbagai resiko diantaranya:
- Cuaca Ekstrem dan Gelombang Tinggi: Destinasi yang berada di wilayah perairan terbuka yang berisiko tinggi terhadap perubahan cuaca mendadak. Banyak wisatawan mengalami keterlambatan seperi gagal kembali dari pulau atau bahkan mengalami kecelakan laut seperti minimnya sistem peringatan dini dan protokol keselamatan. Seperti contoh yang sering terjadi yaitu wisata memancing dan transportasi laut antar pulau-pulau kecil.
- Kurangnya SOP dan Manajemen Resiko: Banyak pelaku wisata belum menerapkan standar operasional prosedur (SOP) keselamatan. Kapal wisata sering beroperasi tanpa alat pelampung yang memadai, pemandu wisata belum terlatih dalam first aid atau evakuasi darurat, dan belum tersedia petunjuk keselamatan di banyak lokasi wisata. Hal ini masing banyak di temukan di destinasi wisata yang ada di provinsi kita seperti yang sering ditemukan di destinasi mangrove dan pantai.
- Keterbatasan Akses Medis dan Sarana Evakuasi: Di pulau-pulau kecil dan destinasi terpencil, layanan kesehatan darurat sangat terbatas. Wisatawan yang mengalami kecelakaan atau gangguan kesehatan harus menunggu waktu lama untuk evakuasi, yang bisa berakibat fatal.
- Rendahnya Kesadaran Keamanan Personal dan Kesiapsiagaan Bencana: Baik wisatawan maupun penyedia jasa wisata sering mengabaikan resiko. Edukasi mengenai keselamatan jarang diberikan, dan simulasi kebencanaan masih minim.
Insiden yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan, sekecil apapun dapat berdampak besar terhadap persepsi publik. Di era digital, satu berita tentang wisatawan tenggelam, tersesat atau tidak tertangani dengan baik dapat viral dan merusak reputasi destinasi. Akibatnya yang terjadi yaitu minat kunjungan menurun, citra destinasi dianggap tidak professional, kepercayaan investor dan operator wisata menurun, pertumbuhan ekonomi pariwisata stagnan. Ketidakmampuan mengelola resiko juga berimplikasi pada tidak tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs), khususnya pada poin 3 yaitu kesehatan dan kesejahteraan, poin 8 yaitu pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi dan poin 11 yaitu kota dan komunitas berkelanjutan.
Rekomendasi yang dapat diterapkan dan strategis untuk pemerintah daerah dan stakeholder pariwisata, diantaranya:
- Integrasi Aspek Keamanan dalam Perencaan Destinasi, yaitu penyusunan rencana induk pengembangan pariwisata dearah (RIPPDA) harus memuat indikator keamanan dan keselamatan sebagai bagian dari kelayakan destinasi.
- Peningkatan Kompetensi SDM Pariwisata, yaitu pelatihan rutin kepada operator kapal, dan komunitas lokal terkait penanganan kondisi darurat, CPR dan pertolongan pertama, dan tanggap bencana alam dan non-alam.
- Pembangunan Infrastruktur Penunjang Keselamatan, yaitu terdapat posko keselamatan di setiap destinasi, jalur evakuasi dan titik kumpul bencana, papan informasi keselamatan dan titik darurat.
- Pemanfaatan Teknologi Digital, yaitu pengembangan aplikasi pelaporan dan informasi keselamatan wisatawan, pemantauan cuaca dan arus laut real-time untuk operator kapal.
- Edukasi dan Partisipasi Masyarakat Lokal, yaitu melalui sosialisasi. Masyarakat dapat dilibatkan dalam menjaga keamanan lingkungan wisata dan menjadi bagian dari sistem early response.
Pariwisata yang maju pada dasarnya tidak hanya dihitung oleh jumlah kunjungan wisatawan yang datang berkunjung, tetapi juga didukung oleh tingkat perlindungan dan kenyamanan wisatawan. Keamanan dan keselamatan wisatawan adalah hak asasi yang tidak bisa ditawar. Dengan memiliki banyak potensi keunikan geografis dan kekayaan alam, peluang besar menjadi model destinasi wisata aman dan berkelanjutan di Indonesia. Untuk menciptakan ekosistem pariwisata yang berorientasi pada keselamatan manusia dan keberlanjutan sumber daya dapat menimbulkan keamanan dan keselamatan yang terjamin terutama pariwisata di Provinsi Kepuauan Bangka Belitung yang berkelanjutan bukan hanya sekedar tren musiman. (*)
Leave a Reply