Opini  

Suku Bunga BI Turun: Upaya Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Mempertahankan Stabilitas Rupiah

Oleh Arief Setyowidodo, Ekonom Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bangka Belitung

Avatar photo

KETIDAKPASTIAN ekonomi global kembali mencuat, seiring rencana penerapan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah mitra dagang mulai 1 Agustus 2025. Kondisi ini terjadi di tengah tren perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara maju seperti AS, Eropa, Jepang dan Tiongkok. Perkembangan ini berpotensi menimbulkan tekanan bagi perekonomian Indonesia, utamanya melalui jalur perdagangan.

Dari sisi ketahanan eksternal, Indonesia perlu awas terhadap dampak langsung tarif AS seiring pangsa ekspor non-migas yang masih menjadi penopang. Kendati demikian, hasil positif perundingan pemerintah yang menyepakati tarif resiprokal sebesar 19 persen berhasil meredam risiko ketidakpastian menjadi lebih moderat dari sebelumnya.

Dari sisi permintaan domestik, pertumbuhan kinerja sektoral masih memerlukan dorongan, salah satunya melalui pembiayaan. Kredit perbankan pada Juni 2025 tumbuh 7,77 persen, melandai dibandingkan bulan sebelumnya 8,43 persen.

Dorongan terhadap pertumbuhan kredit menjadi krusial untuk mengakselerasi pemulihan dan ekspansi sektor utama dalam perekonomian.

Dinamika Bangka Belitung
Sebagai provinsi dengan ketergantungan tinggi terhadap ekspor, Bangka Belitung juga berada dalam bayang-bayang dampak tarif AS. Dalam struktur PDRB, ekspor barang dan jasa menyumbang 34,9 persen, menjadikannya komponen terbesar kedua. Komoditas unggulan seperti timah dan crude palm oil (CPO) menjadi kontributor utama ekspor daerah.

Meski demikian, dampak langsung tarif AS terhadap ekspor Bangka Belitung diperkirakan relatif terbatas, seiring rendahnya pangsa ekspor ke AS yang hanya 1,05 persen. Namun, Bangka Belitung tetap mesti cermat terhadap potensi dampak tidak langsung, mengingat Tiongkok – negara dengan pangsa ekspor terbesar Bangka Belitung sebesar 28,5 persen – berpotensi ikut terdampak perang dagang ini.

Dari sisi pembiayaan, sejalan dengan nasional, kredit perbankan di Bangka Belitung pada Juni 2025 tumbuh 7,13 persen, melambat dari bulan sebelumnya 8,92 persen.

Perlambatan ini terjadi di tengah likuiditas perbankan yang justru lebih longgar, tecermin dari penurunan rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) menjadi 91,30 persen.

Artinya, bank sebenarnya memiliki ruang untuk menyalurkan kredit lebih besar. Peluang ini perlu dimanfaatkan oleh perbankan untuk mendorong penyaluran kredit yang lebih produktif guna pemulihan ekonomi daerah.

Respon Kebijakan Bank Indonesia
Merespon dinamika ini, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Juli 2025 memutuskan untuk menurunkan BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen. Keputusan penting ini bukan tanpa alasan. Ada tiga pertimbangan utama yang melatarbelakangi langkah Bank Indonesia ini.

Pertama, perkiraan inflasi di tahun 2025 dan 2026 semakin rendah dan sesuai target, yang berarti bahwa daya beli masyarakat lebih terjaga.

Kedua, nilai tukar Rupiah tetap stabil dan kuat terhadap mata uang asing, kondisi yang sangat baik untuk kegiatan ekspor dan impor Indonesia. Dan pertimbangan yang paling penting, keputusan ini diambil untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan suku bunga yang lebih rendah, diharapkan biaya bagi dunia usaha dan masyarakat jadi lebih rendah, sehingga mereka lebih semangat untuk investasi, produksi, dan konsumsi.
Langkah pelonggaran moneter ini juga diperkuat dengan kebijakan makroprudensial yang akomodatif. Implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) terus ditingkatkan untuk mendukung pertumbuhan kredit sektor prioritas. Hingga minggu pertama Juli 2025, total insentif KLM yang disalurkan telah mencapai Rp376 triliun.

Seiring pelonggaran likuiditas, Bank Indonesia akan terus memperkuat efektivitas transmisi penurunan suku bunga. Meski suku bunga kredit perbankan pada Juni 2025 tercatat sebesar 9,16 persen (hanya sedikit menurun dari 9,18 persen pada Mei), diharapkan penurunan lanjutan dapat terjadi sehingga dapat mendorong permintaan dan investasi.

Selain itu, Bank Indonesia akan mempererat koordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mendorong pertumbuhan kredit yang sehat dan inklusif. Sinergi kebijakan dengan pemerintah juga akan terus diperkuat dalam rangka menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan agenda transformasi dan program Asta Cita Pemerintah. (*)

 

 

Leave a Reply