Puisi  

Puisi-Puisi RD Martinus Handoko

Avatar photo
RD Martinus Handoko

(1)  Belajar

 

Dulunya merangkak dan bergeming

Sekarang berceloteh dan berdendang

Dulunya kosong dan tuli

Sekarang berlimpah tuah dan berdedikasi

 

Dulunya sering bercermin dan meredup

Kini sering menjadi cermin dan cemerlang

Dulunya bingung dan linglung

Kini penuh fantasi dan cita-cita

 

Dulu dan sekarang terus berlawanan

Dulu dan kini terus menjadi pelajaran

Ini bukan wacana atau rencana!

Aku belajar. (*)

 

(2)  Cinta Anak Dusun

 

Masih berbaring di atap beralas jerami

Sambil memandang awan hitam bertabur bintang

Matanya enggan terlelap memandang rembulan yang berpendar

Mengusik hati yang kian hari bertabur aroma rindu

 

Secarik kertas usang terukir lambang cinta menyebar

Hampir tiap hari singgah di rumah si Putri

Yang berselimut bulu domba dan berhias permata

Yang seringkali mengecilkan tekad si anak dusun untuk mencinta

 

Lagi-lagi pekatnya aroma cinta menggusur kekecilannya

Rasa menggebu mengitari isi kepala dan hasrat sang anak

Mencinta tanpa memiliki menjadi semboyan

Selama rembulan masih menggenang di gelapnya malam. (*)

 

(3)  Pesan dari Masa Lalu

 

Aku bukanlah aku yang dulu

Meski aku selalu mengulang menjadi seperti yang dulu

Selalu memikirkan yang sudah berlalu

dan parahnya mengungkit jejak yang hampir musnah

 

Kata-kataku hebat tapi itu dulu

dan terus kukatakan walau semua t’lah usang

Tanpa mau tahu zaman kini sudah lebih maju

Enggan bertolak walau diri terus menahan malu

 

Masa lalu adalah kenangan

Biarlah itu menjadi ingatan

Catatan-catatan usang adalah aset kehidupan

Menjadi pesan abadi yang sampai saat ini masih terngiang. (*)

 

(4)  Suara Tanpa Tulisan

 

Suaranya lembut menyanjung jiwa

Keluar dari hati yang tak mampu mengukir

Andalan suara yang sering memusingkan pikiran

Namun, manis terkenang di waktu kemudian

 

Matanya bersinar namun tak sanggup menatap dunia

Kedua tangan mungilnya tak berjari

Membuat hatiku terenyuh menurunkan ego

Melihat diri tak lebih baik dari ananda

 

Sorotan hati yang tajam membuat hati mencuat

Suara yang tadinya samar kini kutampung erat

Walau pelan namun tajam dalam pesan dan harap

Memintaku berdiam sejenak menemani sampai matahari mendarat. (*)

 

 

 

 

Leave a Reply