Kasus Kekerasan Anak Masih Banyak Terjadi di Bangka, Dinas P2KBP3A Diminta Tingkatkan Sosialisasi dan Edukasi

Editor: Iwan Satriawan
Boy Yandra

SUNGAILIAT, LASPELA – Pemerintah Kabupaten Bangka menaruh perhatian serius terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak yang masih terus terjadi.

Staf Ahli Bupati Bangka Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Boy Yandra meminta Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (P2KBP3A) Bangka untuk memperkuat upaya preventif melalui edukasi dan sosialisasi yang lebih luas di masyarakat.

Sejak Januari hingga Juli 2025, tercatat sudah 12 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Bumi Sepintu Sedulang itu.

Sementara pada 2024 lalu tercatat sebanyak 41 kasus.

Fakta ini menjadi peringatan agar semua pihak meningkatkan kepedulian dan pengawasan terhadap lingkungan sekitar.

“Kami minta Dinas P2KBP3A melalui PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana) di setiap kecamatan lebih aktif melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan pondok pesantren. Masyarakat perlu terus diberi edukasi soal batasan hak individu dan bahaya kekerasan seksual,” tegas Boy Yandra, melalui pesan singkat WhatsApp, Kamis (10/7/2025).

Ia menekankan perlunya penguatan sistem pelaporan yang aman dan aktif untuk para korban, serta peningkatan layanan dukungan dan konseling. Bahkan ia menyarankan agar mobil layar tancap milik dinas kembali diaktifkan sebagai sarana penyuluhan dan pendidikan publik.

Selain itu, mantan Kadiskominfotik Bangka ini juga mengatakan pentingnya kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan kepolisian, lembaga swadaya masyarakat perlindungan anak, lembaga adat, hingga pondok pesantren.

“Jadi kalau di Bangka masih ada ponpes yang belum memiliki izin dan belum terdaftar, Kemenag harus menindaklanjuti pengawasan baik terhadap guru atau pengasuh yang berinteraksi langsung dengan anak,” ujarnya.

Menurutnya, kasus pelecehan seksual kerap dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, pimpinan hingga rekan kerja, yang memiliki akses langsung dan otoritas terhadap korban.

Boy juga menyoroti akar masalah seperti kurangnya edukasi, norma sosial yang timpang, serta lemahnya akuntabilitas yang memungkinkan pelecehan terjadi tanpa konsekuensi hukum yang jelas.

“Kita perlu menciptakan lingkungan yang sadar hukum dan peduli terhadap hak-hak anak. Semua pihak harus bersinergi dalam menciptakan ruang aman bagi anak-anak kita,” tukasnya. (mah)

Leave a Reply