Sekolah Favorit: Cermin Ketimpangan atau Kurangnya Informasi?

Pengawasan langsung pelaksanaan SPMB 2025/2026 oleh Ombudsman Babel di SDN 15 dan SDN 6 Pangkalpinang, menjadi momentum refleksi untuk menghapus stigma sekolah favorit dan mendorong pemerataan kualitas pendidikan.

PANGKALPINANG, LASPELA – Di tengah pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun Ajaran 2025/2026, muncul sorotan penting dari Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Salah satu pesan kunci: pemerataan pendidikan tidak cukup hanya dengan kebijakan teknis, tetapi juga perlu kesadaran kolektif, terutama dari para orang tua.

Inspeksi lapangan ke SDN 15 dan SDN 6 Pangkalpinang oleh Kepala Ombudsman Babel, Shulby Yozar Ariadhy, mengungkap fakta bahwa masih banyak orang tua bersikeras mendaftarkan anaknya di sekolah favorit meski tidak lolos seleksi, atau bahkan tidak memenuhi syarat administratif.

“Kita tidak bisa bicara keadilan dalam pendidikan jika masih ada dorongan untuk mengakali sistem. Orang tua seharusnya menjadi mitra dalam menjaga integritas seleksi, bukan justru menciptakan beban tambahan,” kata Yozar, Jumat (13/6/2025).

Lonjakan pendaftar di sekolah tertentu menunjukkan bahwa masyarakat masih terjebak pada stigma “sekolah unggulan”. Padahal, seluruh sekolah negeri seharusnya memiliki standar mutu yang merata, sejalan dengan prinsip pemerataan pendidikan nasional.

 

“Favoritisme tak hanya membuat sekolah tertentu kelebihan kapasitas, tetapi juga menimbulkan kesenjangan persepsi kualitas antar sekolah. Ini harus dibenahi bersama,” tegas Yozar.

Menurutnya, perlu ada upaya kolaboratif antara Dinas Pendidikan, sekolah, dan masyarakat dalam mengedukasi bahwa semua sekolah memiliki potensi yang sama, tergantung dari peran aktif siswa, guru, dan lingkungan belajar.

 

SPMB Bukan Sekadar Seleksi, Tapi Cermin Budaya Pendidikan

Yozar menggarisbawahi bahwa sistem seleksi penerimaan siswa bukan sekadar urusan administrasi, melainkan mencerminkan budaya pendidikan.

 

“Kalau dari awal sudah ada manipulasi data, pendaftaran ganda, atau upaya memaksa masuk ke sekolah tertentu di luar aturan, bagaimana anak akan belajar tentang nilai kejujuran dan keadilan?” tanyanya.

 

Dengan tetap mengapresiasi kerja keras Tim SPMB di sekolah-sekolah, Yozar menambahkan pentingnya sosialisasi juknis secara masif untuk mencegah misinformasi yang sering kali menjadi pemicu konflik dan keresahan.

 

Solusi: Edukasi Publik dan Penguatan Sekolah Pinggiran

Sebagai langkah ke depan, Ombudsman mendorong Dinas Pendidikan untuk lebih aktif memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang distribusi zonasi dan kualitas sekolah yang merata. Penguatan citra sekolah non-favorit juga harus menjadi bagian dari agenda reformasi pendidikan.

 

“Pemerataan pendidikan tak cukup hanya di atas kertas. Harus ada gerakan kolektif, dari regulasi hingga pola pikir masyarakat,” tutup Yozar. (chu)

Leave a Reply