AWAL tahun 2025 ditandai dengan langkah besar dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Selain komitmen efisiensi anggaran melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2025, muncul pula regulasi lain yang tak kalah strategis: Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.
Sekilas, kebijakan ini tampak seperti ikhtiar pemerintah dalam merapikan sengkarut tata kelola kawasan hutan yang selama ini penuh konflik.
Hal pertama yang menarik perhatian publik adalah struktur Satuan Tugas (Satgas) yang diberi kewenangan untuk menertibkan kawasan hutan. Satgas ini diketuai langsung oleh Menteri Pertahanan, dengan tiga wakil kuat: Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri. Susunan ini menunjukkan bahwa pendekatan utama yang diambil adalah pendekatan keamanan dan penegakan hukum.
Memang, anggota satgas juga berasal dari kementerian teknis seperti KLHK, ESDM, ATR/BPN, dan Keuangan. Tapi susunan pimpinan menunjukkan bahwa penertiban kawasan hutan bukan lagi sekadar urusan administratif, melainkan telah naik level menjadi urusan strategis nasional.
Tujuan dari Perpres ini cukup jelas: menyelesaikan masalah pertambangan ilegal, perkebunan tanpa izin, dan kegiatan lainnya yang berada di kawasan hutan namun tidak memiliki kelengkapan izin sesuai aturan kehutanan.
Langkah penertiban akan dilakukan melalui tiga instrumen: penagihan denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset negara. Secara teori, ini akan membantu negara menertibkan praktik-praktik semrawut yang selama ini dibiarkan menggantung.
Kekhawatiran lain muncul dari sisi koordinasi antar instansi. Dengan dikuasainya kewenangan oleh sebuah satgas lintas sektor dan dikomandoi oleh unsur pertahanan dan penegak hukum, ada potensi terjadi tumpang tindih dengan kewenangan kementerian teknis. Peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), misalnya, bisa jadi termarginalkan, padahal institusi ini yang memiliki peta jalan teknis dalam pengelolaan hutan.
Di sisi lain, dunia usaha juga tidak lepas dari dampaknya. Investasi di sektor kehutanan, perkebunan, maupun pertambangan bisa terpengaruh jika pelaksanaan aturan ini tidak berjalan transparan dan akuntabel.
Memang tidak bisa disangkal bahwa tata kelola kawasan hutan di Indonesia perlu dibenahi. Namun, Perpres Nomor 5 Tahun 2025 seharusnya bukan hanya menjadi alat penertiban, tapi juga peluang memperkuat prinsip inklusivitas, keberlanjutan, dan keadilan.
Pemerintah perlu membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan masyarakat adat, kelompok sipil, hingga akademisi. Tanpa partisipasi publik yang kuat, kebijakan sehebat apa pun berisiko kehilangan legitimasi sosial.
Di tengah semangat “membenahi” kawasan hutan, semestinya kita tidak lupa bahwa hutan bukan sekadar aset negara—melainkan ruang hidup bagi banyak pihak, terutama mereka yang selama ini tak bersuara namun terdampak paling besar.
Perpres 5 Tahun 2025 bisa menjadi tonggak penting dalam penataan kawasan hutan. Tapi bila tidak dilaksanakan dengan hati-hati dan berlandaskan keadilan ekologis serta sosial, kebijakan ini justru berpotensi memantik konflik baru. Pemerintah punya PR besar: memastikan bahwa penertiban tak berarti penggusuran, dan bahwa penegakan hukum tak mengorbankan hak-hak dasar warga. (*)
Leave a Reply