Ketika penduduk yang berkebun ume harus membuat rumah di kampung (akibat dari kebijakan kolonial di pertengahan abad ke-19 Masehi), maka di setiap hari Jum’at (sayyidul-Ayyaam) mereka berkumpul dan menunaikan shalat Jum’at berjama’ah di masjid tersebut. Laki-laki dewasa (baligh) kesemua berada di masjid.
Hampir pasti setiap kegiatan keagamaan ditempatkan di masjid kampung atau di sebuah balai dekat masjid tersebut. Masjid merupakan keniscayaan bagi penduduk kampung di Pulau Bangka. Hal lain yang membedakannya adalah hutan kelekak, Aek (sungai), lelap dan pemakaman; kesemuanya memiliki peran dalam sejarah kampung.
Berikutnya masjid menjadi sangat fungsional bagi penduduk kampung bahkan intensitas kehadiran seseorang dalam ibadah di masjid menjadi indikator religiusitasnya.
Ada syarat tertentu bagi siapapun yang dapat diangkat menjadi imam dan khatib Jum’at selain kekuatan moral dan integritas diri. Sekalipun marbot (orang yang terikat dengan masjid atau yang mengurusi masjid) terkadang diberlakukan syarat tertentu. Begitu masjid kampung sangat bernuansa religius dan identik dengan otoritas keagamaan tertentu.
Leave a Reply