Bila disebutkan masjid, maka istilah tersebut sangatlah familiar bagi kita. Masjid adalah tempat ibadah (Shalat Lima Waktu) bagi umat Islam. Namun bila ditambahkan satu kata lagi yaitu: kampung, menjadi “Masjid Kampung”, mungkin orang masih bertanya. Mengapa?
Kampung adalah wilayah kecil yang awalnya didiami oleh sekelompok orang, kemudian secara bertahap bertambah jumlahnya hingga ratusan bahkan ribuan orang.
Dalam konteks sejarah Bangka, sejumlah bubung membentuk kampung. Kampung besar berjarak lebih dari 6 km, dan adapun kampung kecil berjarak kurang dari 3 km.
Sangat mungkin berikutnya, kampung kecil menyatu dengan kampung besar karena bertambahnya penduduk masing-masing. Terkait dengan masjid, di setiap kampung dipastikan berdiri sebuah masjid, disebut,” Masjid Kampung”, lantaran penduduknya beragama Islam (malay-moslem); orang- orang Melayu yang beragama Islam, disebut,”Urang Lah” (sudah berkhitan atau sudah beragama). Sebaliknya, Urang Lom, berarti belum beragama atau belum memeluk Agama Islam.
Ketika penduduk yang berkebun ume harus membuat rumah di kampung (akibat dari kebijakan kolonial di pertengahan abad ke-19 Masehi), maka di setiap hari Jum’at (sayyidul-Ayyaam) mereka berkumpul dan menunaikan shalat Jum’at berjama’ah di masjid tersebut. Laki-laki dewasa (baligh) kesemua berada di masjid.
Hampir pasti setiap kegiatan keagamaan ditempatkan di masjid kampung atau di sebuah balai dekat masjid tersebut. Masjid merupakan keniscayaan bagi penduduk kampung di Pulau Bangka. Hal lain yang membedakannya adalah hutan kelekak, Aek (sungai), lelap dan pemakaman; kesemuanya memiliki peran dalam sejarah kampung.
Berikutnya masjid menjadi sangat fungsional bagi penduduk kampung bahkan intensitas kehadiran seseorang dalam ibadah di masjid menjadi indikator religiusitasnya.
Ada syarat tertentu bagi siapapun yang dapat diangkat menjadi imam dan khatib Jum’at selain kekuatan moral dan integritas diri. Sekalipun marbot (orang yang terikat dengan masjid atau yang mengurusi masjid) terkadang diberlakukan syarat tertentu. Begitu masjid kampung sangat bernuansa religius dan identik dengan otoritas keagamaan tertentu.
Menyikapi hal tersebut, orang tua di kampung Bangka sejak dini membekali putra-putri nya pengetahuan dasar agama Islam terutama baca Al-Qur’an dan mengenal huruf Arab. Mengaji ba’da maghrib adalah rutinitas harian yang mencirikan kampung di Bangka.
Setelah itu di usia remaja, baru mereka diajak ke masjid untuk tujuan ibadah sambil berharap putra-putrinya menjadi anak-anak shaleh; mendoakan kedua orangtuanya (waladun shaalihun yad’uu lahu).
Beginilah cara penduduk kampung di Bangka memakmurkan masjid. Tidak hanya tempat ibadah shalat wajib, melainkan juga tempat kegiatan lain yang bernuansa religius.
Bila ada yang wafat (meninggal dunia), berbunyilah bedug masjid. Tidak ada satupun laki-laki dewasa yang tidak ke masjid untuk men-shalat-kan jenazah tersebut.
Itulah masjid kampung di Bangka, bahkan ia sangat berpengaruh terhadap etika masyarakat setempat (di kampung); berperilaku, berbahasa dan juga berpakaian.
Bagaimana kondisi masjid saat ini dengan segala yang melekat kepadanya? Masihkah ia eksis atau sebaliknya, kelembagaannya mulai melemah; tidak memiliki daya gugah terhadap penduduk setempat? Berharap masjid difungsikan seoptimal mungkin, dan juga eksistensinya selama ini dijaga.
Sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan keagamaan, masjid harus pure, bebas dari tendensi apapun. Tidak boleh ada atribut tertentu termasuk sepanduk beraroma politik menempel di dinding dan pagar masjid. Kelembagaan masjid tidak diwarnai apalagi dikooptasi, melainkan (ia) mewarnai dan mencerahkan masyarakat disekitarnya.
Menjaga eksistensi masjid kampung berarti memakmurkannya, sesuai dengan motto DMI (Dewan Masjid Indonesia), ” Memakmurkan dan Dimakmurkan oleh Masjid”. Dalam QS. At-Taubah (9): 18),artinya:
“Sesungguhnya yang (pantas) memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari akhir, juga orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidaklah takut (kepada siapapun) kecuali Allah. Mereka itulah golongan yang diharapkan mendapatkan hidayah dari Allah Swt.”
Masjid juga dengan pola pengelolaan yang baik dan fisik serta lingkungan asri bisa menjadi destinasi wisata. Sekali lagi mari kita menjaga eksistensi masjid kampung dan juga melestari nilai kearifan lokal di sekitarnya.
Wassalam. (*)
Leave a Reply